Mudik dalam Spiritualisme Masyarakat Jawa (1)
Oleh Anwar Hudijono
Dipermaklumkan jika ada di antara warga masyarakat Jawa yang didera rasa sedih yang sangat mendalam tidak bisa mudik Idul Fitri karena adanya larangan pemerintah. Saking sedihnya sampai stres. Tidak doyan makan. Tidak bisa tidur. Akhirnya daya tahan tubuhnya turun.
Saat daya tahan tubuh merosot itulah justru rentan terhadap Covid-19. Karena Covid-19 itu aslinya dungu. Dia tidak melakukan seleksi orang mudik apa bukan. Tidak bisa membedakan orang stress apa orang gembira.
Bagi masyarakat Jawa mudik itu buka kepulangan biasa. Bukan layaknya perjalanan piknik. Bukan sejenis perjalanan dinas. Beda dengan touring.
Episode mudik itu memiliki landasan spiritualisme yang sangat kuat dan menggenerasi. Artinya tertanam dari generasi ke generasi. Sejak dulu ya begitulah adanya. Layaknya memakai sarung ya begitu adanya. Tidak ada sarungan dengan suwelan di belakang. Seperti cara minum kopi. Sejak nenek moyang ya disruput. Tidak ada minum kopi digelogok seperti minum air putih di kendi.
Maka, mohon dipermaklumkan jika ada yang sampai nekat mudik jauh sebelum larangan berlaku 6-17 Mei 2021. Ada yang nekad kucing-kucingan dengan petugas negara. Kucing-kucingan tapi melewati jalur tikus. Ada yang nekad bersembunyi di balik terpal truk sehingga mirip dengan gelondongan jerami.
Kalau saja ada yang menyewakan genderuwo yang bisa membawa mudik tanpa kepergok petugas, kemungkinan laris manis. Kecuali jika ada genderuwo petugas juga. Hal ini menjadi tidak mudah. Kecuali mengikuti aturan main tak tertulis bahwa sesama genderuwo harus salam tempel alias cincai. Podo ngertine.
Beginilah penjelasannya. Mudik itu merupakan momentum mengingatkan dan membangkitkan kembali kesadaran hakikat penciptaan. Sangkan paraning dumadi (asal muasal mahluk). Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, sesungguhnya milik Allah dan akan dikembalikan kepada-Nya.
Jadi orang-orang di perantauan ini ibarat orang yang hidup di dunia. Kalau dibalik, hidup di dunia ini sebenarnya hanya perantauan. Asalnya dari surga. Karena mengikuti jejak leluhur kita Nabi Adam lantas diturunkan ke bumi. Tapi di bumi ini hanya sementara. Pasti akan dikembalikan ke surga jika catatan hasil perjuangan di perantauan ini baik. Pulang membawa iman dan amal shaleh.
Kalau catatannya buruk ya dibakar neraka. Diberi minum nanah yang mendidih. Diberi makan buah zakum yang membakar isi perut.
Berjuanglah di perantauan. Siapkan bekal yang memadai untuk mudik. Kalau mudik Idul Fitri tentu saja bekalnya uang, pakaian, kue kaleng, dan sebagainya.
Sedang mudik kepada Allah bekal terbaik yaitu taqwa. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS 2: 197).
Agar mudik Idul Fitri bisa mudah, lancar selamat sampai tujuan patuhilah peraturan, rambu-rambu sepanjang perjalanan. Agar mudik kepada Allah selamat dan penuh suka cita maka patuhilah peraturan dan rambu-rambu Allah.
Hanya sementara
Mengapa leluhur Jawa menggunakan momentum Idul Fitri ini untuk mengingatkan falsafah sangkan paraning dumadi? Karena ada kecenderungan, manusia itu lupa bahwa dunia itu hanya sementara, koyo wong mampir ngombe (seperti orang yang singgah minum).
Lupa bahwa semua akan dikembalikan ke asalnya. Saking cintanya dunia sampai lupa akhirat, meski sudah diberi tahu bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dan kekal, wa lal akhiratu khairu wa abqa. (QS 87:17).
Saking asyiknya dengan kesibukan urusan dunia sampai lengah bahwa kesenangan dunia ini hanya mainan dan lelucon. “Wa ma hadhihil hayatut dunya illa lahwun wa laibun. Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan.” (QS 29:64).
Lupa bahwa jika ajal menjemput, itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja. Saat tidur enak-enak mati karena tertimpa paku yang menancap di belandar. Lagi asyik medsosan mati. Sialnya saking asyiknya medsosan sambil ketawa-ketiwi sendiri lupa sembahyang.
Maka para sesepuh Jawa selalu mengingatkan bahwa semua manusia bakal mulih mring mula mulanira (kembali ke asal muasalnya). Yaitu Allah.
Jaman dulu, orang Jawa menyebut orang yang mati dengan istilah “mulih”. Artinya orang yang mati itu justru sedang menempuh perjalanan kepada kehidupan abadi kembali kepada Allah.
Kalau sekarang macam-macamlah sebutan untuk orang mati. Ada yang disebut sedo artinya tugase wis bakdo (tugasnya sebagai khalifah/pengatur di bumi sudah selesai). Istilah ini oleh masyarakat ditujukan kepada orang-orang yang dianggap baik semasa hidupnya seperti ulama, guru, kolumnis, wartawan dsb.
Ada juga yang disebut matek. Artinya nikmate wis entek (nikmatnya sudah habis). Sebutan itu ditujukan kepada jenazah yang semasa hidupnya hanya untuk mendapat kenikmatan dunia. Pokoknya apapun dilakukan yang penting dirinya hepi. Tidak peduli orang lain. Tidak peduli menerjang hukum dan moral. Nah, sejak berstatus jenazah, tidak bisa lagi dugem, mabuk, korupsi, nilep pajak dsb.
Yang paling seram itu jika disebut bongko. Artinya diobong neng neroko (dibakar di neraka). Sebutan ini karena saking jengkelnya masyarakat terhadap jenazah tersebut. Bisa jadi dia semasa hidupnya jadi ulat masyarakat seperti koruptor, politisi busuk, bromocorah, pemerkosa, rentenir dan sejenisnya.
Rabbi a’lam (Tuhan lebih tahu).
*1Anwar Hudijono, Kolumnis tinggal di Sidoarjo