Mudik Balik, Tradisi Terinspirasi Agama
Masa itu telah usai. Masa untuk berkumpul dengan keluarga yang biasa dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri. Atau yang biasa disebut dengan Lebaran.
Biarlah ada pendakwah yang berfatwa mengharamkan silaturahmi di saat Lebaran. Biarkan saja jika ada yang membid’ahkan sungkeman kepada orang tua di Hari Raya Idul Fitri.
Toh, semua itu –sungkeman dan silaturahmi– bukan lagi sebagai ritual agama. Kecuali salat sunnah Idul Fitri dan perbanyak takbir dan tahmidnya. Tapi sudah menjadi tradisi yang membumi.
Bahkan, halal bi halal adalah tradisi yang menyertai Hari Raya Idul Fitri, hanya ada di Indonesia. Ini merupakan tradisi yang diciptakan untuk suatu kebaikan.
Halal bi halal merupakan tradisi yang diciptakan Bung Karno atas nasehat salah satu pendiri NU KH A Wahab Hasbullah. Tradisi itu semula diciptakan untuk menyatukan para elit politik di Indonesia.
TRADISI BUKAN RITUAL
Jadi, tidak semua kebaikan adalah ritual keagamaan. Ia bisa disebut sebagai bagian dari amal saleh yang dianjurkan agama. Kalau kebaikan yang diinspirasi ajaran agama disalahkan, lantas bagaimana?
Kesalahan mereka yang menyalahkan amalan itu karena ditafsirkan sebagai ritual agama. Sebagai ibadah yang harus merujuk kepada perkataan dan apa yang dilakukan Nabi Muhammad.
Demikian pula: Mudik.
Mana yang benar dari dua arti mudik ini? Mulih dhisik (pulang duluan) atau mulih nang udik (pulang ke desa atau kampung)?
Yang pasti, mulih berakar dari dari bahasa Jawa. Yang artinya pulang atau kembali. Demikian juga dhisik yang berarti lebih dulu.
Kecuali kata udik yang berasal dari bahasa Melayu. Yang berarti ujung atau hulu. Atau di sini dikenal desa atau kampung.
Apapun asal atau akar dari kata mudik, yang pasti mudik selalu berasosiasi dengan tradisi lebaran di Hari Raya Idul Fitri. Tradisi pulang kampung dari rantau.
Karena itu, mudik selalu diasosiasikan orang yang sedang pulang ke desa atau kampung. Biasanya dari kota atau kota besar yang menjadi tempat rantau.
Karena itu, saya merasa aneh untuk menyebut anak-anak saya yang mudik dari Jakarta ke Surabaya. Juga dari Jogjakarta ke ibukota Propinsi Jawa Timur ini.
Saya merasa mudik kalau lebaran pulang ke desa tempat kelahiran saya di Blitar. Atau ke Purwokerto yang menjadi asal usul istri saya.
Tapi saya merasa tidak mudik kalau pulang ke Yogyakarta. Kota yang pernah menempa saya selama 14 tahun sejak kuliah sampai kerja di sana.
Tahun ini, saya memang memutuskan tidak ke mana-mana. Lebaran di Surabaya. Tahun lalu lebaran di Jogja. Dua kota ini menjadi jujugan lebaran setelah orang tua kami telah tiada.
Mengapa Jogja?
Karena berada di tengah. Adik-adik dari Purwokerto yang ingin bersilaturahmi lebih dekat dibanding harus ke Surabaya. Demikian juga adik-adik yang ada di Blitar. Menjadi suadara tertua, hal seperti ini perlu dipertimbangkan.
AGAMA MENGINSPIRASI TRADISI
Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri memang bukan semata sebagai kegiatan ritual keagamaan. Tapi menjadi sebuah realitas sosial yang berkembang dari kebutuhan warga bangsa ini untuk saling menyapa.
Agama menginspirasi tradisi baru untuk membangun soliditas sosial. Momentum lebaran melahirkan tradisi halal bi halal, unjung-unjung atau silaturahmi kepada handai taulan, dan mudik. Yang terakhir ini merupakan tradisi kembali ke kampung untuk bertemu orang tua dan sanak saudara. Setelah sebulan penuh berpuasa.
Dari tradisi yang bersumber dari Hari Raya Keagamaan terus berkembang menjadi peristiwa sosial-budaya. Kemudian menjadi berkembang lagi menjadi aksi sosial ekonomi. Sebab, banyak transaksi yang menyertainya.
Ketika lebaran, uang mengalir ke desa-desa. Dibawa para pemudik yang berasal dari kota. Peredaran uang bertambah kencang. Pusat perbelanjaan berjejal sebulan sebelum lebaran.
Lebaran jadilah sebagai peristiwa kebudayaan. Momentum pertukaran berbagai budaya dalam tradisi saling bersilaturahmi. Ajang ekspresi unjuk diri tentang pencapaian orang-orang desa di perkotaan. Mereka yang berhasil naik status sosialnya.
Mudik akhirnya tidak bisa dilihat sebagai arus perjalanan orang-orang yang sedang pulang kampung. Ia menjadi ekspresi pencapaian sosial dan ekonomi, momentum distribusi ekonomi, dan momentum konsolidasi negara bangsa.
Mudik juga bukan sekadar peristiwa sederhana. Semata perjalanan jutaan orang dari kota ke desa. Tapi juga menjadi peristiwa sosial berupa transfer dan distribusi inspirasi. Distribusi mimpi-mimpi baru yang menggugah banyak orang untuk berubah.
Mudik pada akhirnya bukan semat peristiwa keagamaan. Ia menjadi peristiwa sosiologis yang berupa akso dan reakso dari berbagai kelompok dan status sosial. Tindakan sosial yang bisa menghasilkan harapan-harapan baru dari mereka yang tertinggal.
Pemfatwa agama, mestinya tak hanya melihat setiap tindakan sosial secara tekstual. Apalagi teks yang dimaknai secara kaku sesuai dengan konteks masa lalu. Padahal, secara sunnatullah, dunia ini jelas terus berubah. Karena itu, perlu pemaknaan secara kontekstual setiap teks di dalam agama.
Misalnya, memaknai sungkem kepada orang tua sebagai bentuk penyembahan kepada orang tua. Apalagi kemudian dimaknai sebagai penyekutuan Tuhan dengan makhluk dan seterusnya. Atau tradisi silaturahmi di Hari Raya Idul Fitri dianggap salah karena hal itu tak dilakukan oleh Nabi.
Membuka perspektif yang lebih luas terhadap berbagai fenomena keagamaan semestinya menjadi kebiasaan bagi umat beragama. Bukan perspektif kacamata kuda menurut aliran penafsiran agama seperti yang dianutnya. Apalagi menganggap yang tidak sesuai dengan mereka sebagai pihak yang salah.
Rasanya, perlu menjadikan tradisi mudik yang terinspirasi ajaran agama sebagai sebuah hikmah. Sebuah maslahah, bukan masalah.