Mu’ti (2): Orang Kampung yang Kosmopolit
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Kadang, orang mengkaitkan wawasan seseorang dengan kapasitas berpikir, plus sensitivitas sosialnya. Ehsan Sehgal merupakan salah satu sosoknya. Penyair Belanda keturunan Pakistan ini pernah berkata: “A jealous and a narrow-minded person stay empty of feeling and thought-ability.; it is a natural penalty”. Tapi, sanksi alam ini tak berlaku bagi Abdul Mu’ti. Pasalnya, meski orang kampung, pemikirannya tak terkungkung.
Selain wawasannya luas, gagasannya jelas berselimut sensitivitas sosial yang tebal. Kenal pertama kali dengannya ketika sama-sama sebagai trainee English course di Indonesia-Australia Language Foundation (IALF), Denpasar. Kursus bahasa ini merupakan persiapan trainee untuk studi pascasarjana di Australia. Meski bukan teman satu kelas, ruang komunikasi begitu luas. Sejak itu, interaksi bukan sekedar perjumpaan antar pribadi, tapi juga bersinggungan dengan wawasan.
Alkisah, di sekitar lokasi IALF tak ada masjid yang dekat. Akibatnya, trainees muslim terpaksa menyelenggarakan Jum’at-an sendiri. Tempatnya, di top-floor Gedung IALF. Khotib-nya bergiliran di antara trainees yang mampu. Di antaranya adalah Mu’ti.
Dalam khutbahnya, ia selalu tampil percaya diri. Emosinya terkendali, penyampaian khutbah bahasa Inggris-nya well-delivered, dan substansinya juga berisi. Menyimak khutbah Mu’ti, seorang kawan trainee sempat melontarkan celetukan khas Jawa: “Konco siji iki ‘cilik’ tapi mêntês!” (kawan satu ini meski posturnya kecil namun berisi).
Pandangan saya senada. Namun, detail-nya berbeda. Mencermati khutbah Mu'ti, disertai penjelajahan berbagai ceramah dan tulisannya; terkesan kuat bahwa pandangan dan gagasannya seringkali melampaui habitat dan komunitasnya. Walhasil, saya sering menggambarkan sosok Mu’ti sebagai ‘orang kampung yang kosmopolit’. Sangat mungkin, sifat kosmopolit ini berkontribusi berat pada pandangan ke-Islam-annya yang moderat.
Berkat pandangan ke-Islam-annya yang moderat, Abdul Mu'ti banyak diundang untuk menduduki posisi terpandang. Di level nasional, misalnya, tahun 2018 ia masuk dalam daftar 200 “Mubaliq Indonesia” yang direkomendasikan oleh Kementerian Agama RI. Di samping itu, ia juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Lembaga Agama kontra Terorisme; dan juga Sekretaris Dewan Nasional Intelektual Muslim Indonesia. Di level internasional, Mu’ti juga mendapatkan rekognisi. Sejak 2006, ia diminta sebagai penasehat British Council. Selain itu, ia juga diundang untuk menjadi anggota Dewan Indonesia - Amerika Serikat pada Agama dan Pluralisme.
Sifat kosmopolit Mu’ti, beserta sikap ke-Islam-annya yang moderat, tidaklah terbentuk dalam waktu singkat. Ia telah meniti lorong sosialisasi sejak usia dini, dilengkapi pengembaraan pemikiran di setiap pojok persinggahan hidupnya.
Perspektif Platonik bisa membantu untuk menguliknya. Dalam bukunya The Republic yang klasik, Plato menggarisbawahi bahwa pola asuh di usia dini dan pendidikan seseorang berperan penting dalam membentuk karakter beserta nilai-nilai pribadinya. Postulat Plato ini, nampaknya, berlaku bagi Mu’ti. Sifat kosmopolit-nya mekar seiring kegemarannya berinteraksi dengan dunia luar. Kepada wartawan, adiknya sempat mengungkap kenangan semasa kecilnya bersama sang kakak: “Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah dia mendengarkan radio BBC London, [dan] radio Australia”. Kesempatan menimba ilmu ke Australia, sangat mungkin, juga mempertebal pemikiran kosmopolitnya.
Namun, terdapat faktor yang lebih mendasar. Pandangan keagamaan Mu’ti yang moderat tak lepas dari pendidikan sejak dalam asuhan sang Bapak. Almarhum Pak Djamjadi merupakan sosok yang open-minded. Masih merujuk Plato, nilai-nilai yang ditanamkan pada individu semasa pembentukan jati diri (formative years) pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku dan pandangan seseorang di kemudian hari. Pada titik ini, peran Pak Djamjadi cukup signifikan dalam meletakkan fondasi wawasan keagamaan putranya.
Meski berlatar belakang Muhammadiyah, Pak Djamjadi tak alergi menyekolahkan Mu’ti di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Manafiul Ulum, lembaga pendidikan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Tak hanya itu, beliau juga memberi keleluasaan putranya belajar dari komunitas sosial di sekitarnya, yang mayoritas warga NU. “Ayah saya bangga ketika saya menjadi ketua Jami’yah Sabilul Khairat yang di antara kegiatan rutinnya adalah tahlilan, yasinan, dan berjanjen (membaca al-Barzanji)”, pengakuan Mu’ti kepada wartawan tentang keterbukaan Bapak-nya.
Pandangan Mu’ti yang luas dan terbuka, sempat membuat saya percaya diri dalam menghadapi tantangan kerja. Sebelum Pandemi COVID-19, Rektor Universitas Jember (2012-2020), Moh. Hasan, PhD., bertanya: “Bisa mempertemukan pimpinan Muhammadiyah dan NU di Universitas Jember guna dialog kebangsaan?”. Meski bentuknya pertanyaan, esensinya sebenarnya merupakan penugasan yang menyiratkan tantangan. Saya langsung jawab: ”Insya Allah!”. Kesanggupan saya ini, tidaklah semaa-mata mengandalkan jalur pertemanan, baik dengan Profesor Abdul Mu’ti maupun maupun dengan Gus Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU, dulu teman pada saat S1 di FISIPOL-UGM). Tapi, keoptimisan saya juga bersandar pada keyakinan bahwa kedua tokoh ini punya passion, sekaligus komitmen, untuk memikirkan permasalahan kebangsaan di Indonesia. Bagi Mu'ti, persatuan justru menemukan maknanya yang hakiki kala terwujud dalam keberagaman. Sebaliknya, penyeragaman justru menciderai keragaman, yang secara esensial merupakan kondisi sosial yang sudah given.
Saat saya kontak, Mu’ti sedang di Italia. Tapi, ia begitu antusias untuk membantu demi terwujudnya dialog kebangsaan tersebut. “Saya sedang berada di Roma, tapi saya akan memohon Pak Haedar Nashir [Ketua Umum PP Muhammadiyah] untuk bisa hadir”, tegasnya. Sayangnya, justru Gus Yahya yang tak bisa hadir, karena sedang ada acara di mancanegara. Sebagai gantinya, beliau mengutus Sekretaris Jenderal PBNU, untuk mewakilinya. Walhasil, berkat bantuan Mu’ti dialog kebangsaan Universitas Jember berhasil digelar, dengan kehadiran Pak Haedar Nashir mewakili Muhamadiyah, dan Mas A. Helmy Faisal Zaini sebagai representasi dari NU.
Antusiasme Mu’ti terhadap event dialog kebangsaan di atas, sekali lagi, menunjukkan passion dan komitmennya yang tinggi terhadap permasalahan persatuan dalam keberagaman. Atribut ini sempat ditangkap oleh orang di luar Muhammadiyah. Seorang Professor di bidang ilmu Tarbiyah dan berlatar belakang NU, sempat mengemukakan pandangannya kepada saya. Ia menggambarkan Mu’ti sebagai sosok yang “cerdas, santun, dan humoris”. Lebih dari itu, “NU dan Muhammadiyah baginya [merupakan] sahabat sejati”, tambahnya. Pandangannya ini tidaklah berlebihan, karena kesan seperti itu juga saya dapatkan.
Promosi Abdul Mu’ti menjadi Menteri, bagi saya dan sebagian teman, tidaklah mengagetkan. Alasannya, kapasitasnya tidaklah diragukan. Pak Haedar Nashir menegaskan: “Siapapun kader Muhammadiyah yang dipercaya mengisi jabatan penting di pemerintahan, akan menjalankan tugas dengan baik, mengingat mereka telah terdidik dengan baik di Muhammadiyah”. Penegasan ini seakan mewakili keoptimisan kami terhadap Mu’ti sebagai Menteri. Apalagi, ia juga pernah ditawari jadi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM), di bawah Presiden Jokowi. Namun, ia menolak tawaran itu. “Saya merasa tidak mampu mengemban amanah yang berat”, ungkapnya merendah.
Alasan penolakan terhadap tawaran posisi sebagai Wamendikbud di atas nampaknya sekedar formalitas. Sejak awal, saya yakin, Mu’ti punya pertimbangan yang lebih strategik, yang tak diungkapkan ke publik. Toh, pada akhirnya ia juga menerima tawaran jabatan sebagai Mendisdasmen di Kabinet Merah Putih-nya Presiden Prabowo Subianto. Tapi, kelayakan sebagai Menteri nyaris tak ada yang memungkiri. Atributnya relatif lengkap. Dari segi kepakaran ia mumpuni. Profesor dalam ilmu Pendidikan Islam merupakan modal utamanya untuk menjalankan tugas yang diemban. Pengalaman berkaitan dengan bidang yang akan ditanganinya juga mendukung. Sebelum jadi Menteri, Mu’ti juga sempat menjabat Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selama lima tahun (2019-2023). Dari segi kepemimpinan-pun Mu'ti juga teruji. Ia bukanlah tokoh karbitan, melainkan seorang organisator beneran. Dalam kiprahnya di Muhammadiyah ia kader matang yang merangkak dari bawah.
Tapi, ada yang lebih mendasar. Sejak awal, saya merupakan salah satu saksi bagaimana passion dan komitmennya yang tinggi terhadap pendidikan dasar. Kala studi di Australia, di tengah kesibukan studi Pascasarjana, ia secara sukarela berinisiatif mengajari anak-anak mahasiswa Indonesia mengaji. Kondisi lingkungan yang sangat beda dengan tanah air telah membuatnya kawatir. Dengan nada bertanya, ia sempat bilang pada saya: “Dengan kehidupan Australia yang permisif ini, kalau tidak kita antisipasi bagaimana dengan nasib masa depan anak-anak kita kelak?!". Sejak itu, Mu’ti punya tambahan kegiatan rutin mingguan. Dibantu istrinya, Mbak Midah; ia me- manage Forum Pengajian anak-anak Indonesia di musholla Flinders University. Sejak itu pula, anak-anak saya selalu memanggilnya “Om Mu’ti”, simbol keakraban dengan sang Guru ngaji-nya di mancanegara. Om Mu'ti, selamat mengemban amanah, semoga membawa barokah!