Mu’ti (1): Putra Guru Ngaji yang Jadi Menteri
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Pelantikan Profesor Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), mengingatkanku pada sebuah cerita. Alkisah, muncul warta ketika “Dul”, panggilan akrab sang Profesor di kampungnya, akan ditahbiskan sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah.
Ibundanya, Hajjah Kartinah, sempat bercerita kepada wartawan apa yang sempat didengarnya di Dukuh Serabi Kidul, Desa Getassrabi, Gebog, Kudus. Seorang tetangganya bermimpi, ada petasan jatuh di rumah orang tua “Dul”. Sebagai orang Jawa yang percaya isyarat mimpi, si tetangga itu berkata: ’Mbah Kartinah meh entuk opo [yo]?’ (Mbah Kartinah akan mendapat apa, ya?). Kini, setelah “Dul” dilantik jadi Menteri; si tetangga mungkin merasa telah mendapat jawaban yang lebih pasti.
Tak ada reaksi dari Ibunda Abdul Mu’ti. Semuanya diserahkan pada kersaning Gusti (kehendak Allah SWT). Sejak dini, Hajjah Kartinah memang tak pernah membebani putranya dengan gegayuhan (keinginan) pribadi. Kalaupun ada, hanyalah berupa nasehat dan doa. Nasehatnya sederhana, tapi penuh dengan makna. Sejauh apa yang dilakukan putranya berada di jalur yang benar, dan tak melanggar peraturan, Mu’ti diminta untuk menjalaninya.
Bersamaan dengan nasehatnya, doa Ibunda senantiasa mengiringi perjalanan hidup “Dul”. Hajjah Kartinah juga cerita apa yang pernah dipesankan pada putranya: ”Nang, aku gak pengin milih opo-opo (Nak, saya tidak ingin memilih apa-apa), tapi Allah yang [akan] memilihkan. Saya menyerahkan apa yang terbaik untuk anakku kepada Allah. Saya mendoakan agar (anakku) selalu berguna bagi masyarakat”.
Satu ungkapan yang mencerminkan tingkat kepasrahan yang tinggi kepada Illahi Robbi. Ungkapan Mu’ti mengkonfirmasi. Kala meraih Profesor ia bertestimoni: “Apa yang saya capai sekarang adalah buah dari pendidikan, doa orang tua, dan yang paling utama rahmat Allah SWT”. Tak pelak, setelah bersyukur kepada Allah SWT, ia berterimakasih kepada kedua orang tuanya yang sederhana. “Mereka tidak tahu apa itu Profesor, tapi mereka telah melahirkan seorang Profesor”, imbuhnya.
Abdul Mu’ti dilahirkan dalam keluarga yang agamis. Selain sebagai petani, Bapaknya–almarhum Pak Djamjadi–juga berprofesi sebagai Guru ngaji. Beliau, yang sempat mengeyam pendidikan sampai Madrasah Tsanawiyah (MTs), merupakan warga Muhammadiyah. Dalam keterbatasan ekonomi, Pak Djamjadi mendidik putranya untuk rajin dan disiplin, termasuk dalam agama. Tiap hari, beliau mewajibkan Mu’ti mengaji. Semua jenjang pendidikan formal putranya juga diupayakannya mendukung pendalaman agamanya. Berawal dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) NU Manafiul Ulum, dilanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kudus, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kudus; kemudian kuliah di Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo, Semarang. Walhasil, Mu’ti tak hanya rajin dan mumpuni membantu pekerjaan di rumah, beternak, dan bertani; tapi juga punya pemahaman agama yang mendalam.
Sebagai pribadi, kata banyak orang, Mu’ti adalah sosok yang sederhana, supel, dan rendah hati. Selama berinteraksi, sifat serupa juga saya dapati. Bahkan, saya sempat bilang sama istri: “Saya kok merasa cepat akrab dengan Om Mu’ti, ya?!”. Istri menjawab: “Iya, saya juga!”. Semua ini semakin terkonfirmasi, kala saya sekeluarga sempat tinggal bersamanya dalam satu atap. Syahdan, sepulang dari fieldwork thesis MA di Thailand, saya harus menunggu pengosongan flat di Adelaide.
Dijembatani oleh Mas Tik (Profesor Pratikno–Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), yang kala itu sedang menempuh PhD programme, Mu’ti bersedia menampung saya sekeluarga di salah satu kamar, di antara dua kamar flat-nya. Tiga bulan tinggal bersamanya, memungkinkan saya semakin mendalami sosok pribadinya. Ternyata, Mu’ti dan saya punya latar belakang serupa. Ayah Mu’ti petani sekaligus Guru ngaji, sedangkan Bapak saya Guru Sekolah Dasar (SD) yang nyambi jadi petani. Kala menempuh strata Sarjana (S1), meski studi di Perguruan Tinggi berbeda, kami berdua juga sama-sama penerima beasiswa Supersemar. Dari syarat utama beasiswa sangat mungkin kami telah berdua telah memenuhi kriteria yang sama. Lebih dari itu, kami berdua juga sama-sama berasal dari desa, terbiasa dengan kehidupan kampung yang sederhana, lengkap dengan karakter "ndeso"-nya.
Sifat “ndeso” itu sempat memahat dua kisah yang menggelikan. Namun, kisah ini justru telah menebalkan keakraban. Kebetulan kami berdua berhasil meraih beasiswa Australian Aid (AusAID), guna menempuh MA degree di Flinders University, Adelaide, Australia. Abdul Mu’ti mengambil Master of Education (M.Ed), di Faculty of Education; sedangkan saya mengambil program Master degree (by research) di Flinders Asian Centre. Bersama empat orang lainnya, pada 5 Januari 1995, kami berdua berangkat dalam satu pesawat. Tak dinyana, Mu’ti dan saya mendapat seat Qantas yang berdampingan di sisi jendela.
Naik pesawat untuk pertama kali, kami justru langsung terjerembab dalam flight keluar negeri. Tak pelak, kegagapan tak bisa dihindari. Pemakaian seat belt harus dituntun. Apalagi, ketika harus menyantap aneka menu ‘asing’ yang tersaji di atas baki, kami berdua masih harus berdiskusi tentang cara dan urutan melahapnya. Penumpang pria dengan pakaian khas Afrika, yang duduk di seberang aisle, sampai bereaksi. Melihat kebingungan kami berdua, dengan senyum ia tanya: “[Are you both] flying for the first time?”. Sambil nyengir, kami terpaksa menjawabnya: “Yes!”. Tak pelak, penumpang asal Afrika itupun mengangguk-angguk sambil menahan tawa.
Tiga bulan berselang, Abdul Mu’ti pulang ke tanah air. Ia harus menjemput Mbak Midah (Hajjah Masmidah), istrinya. Apalagi, ketika itu, pasangan ini masih tergolong sebagai pengantin baru. Namun, peraturan AusAID baru memperbolehkan membawa keluarga setelah tiga bulan tinggal di Australia. Saya termasuk yang beruntung dengan kepulangannya. Pasalnya, saya bisa ‘nitip’ istri beserta dua anak yang masih kecil, untuk terbang bersamanya ke Australia.
Abdul Mu’ti tak keberatan saya titipi. Janjiannya, bertemu pada Senin petang di bandara Soekarno-Hatta. Lewat tengah malam waktu Adelaide, saya terbangun oleh dering tilpon. Kecemasan langsung mendera, karena teringat akan penerbangan keluarga. Di ujung tilpon Mu’ti bersuara: “Maaf, saya ngebel larut malam. Kami batal terbang, karena ketinggalan pesawat!”. Semula, saya menduga penyebabnya adalah kemacetan Jakarta. Saya-pun balik bertanya: “Kok bisa, Om?”. Jawabannya membuat saya masygul. Ia cerita: “Sebenarnya kami semua sudah check in tepat waktu. Tapi, setelah itu kami semua keluar lagi, sampai telat menyadari waktu boarding telah lewat. Kata petugas, kami sudah dipanggil berkali-kali. Tapi, karena tak juga muncul maka kami ditinggal. Kami terpaksa ikut flight berikutnya, Kamis lusa”.
Mendengar penjelasannya, saya tak kuasa berkata-kata. Dua perasaan yang berbeda menderu dalam dada. Di satu sisi, ada rasa kecewa karena tertunda berkumpul dengan keluarga. Tapi, di sisi lain, juga terasa geli di dalam hati. Pasalnya, waktu tiga bulan di luar negeri ternyata tak cukup untuk mengikis karakter “ndeso” yang melekat pada sosok Mu’ti. Setiap mengenang dua kisah ini, kami berdua selalu terbahak menertawakan diri sendiri. Bahkan, Abdul Mu’ti sendiri mengakui. Sebagai seorang Da’i, ia sering bercerita tentang kisah “ndeso” ini, sebagai selingan ceramah di hadapan para jamaah.
Tapi, sifat ‘ndeso’ Mu'ti sempat menyelamatkan kami saat menginjakkan kaki di Australia untuk pertama kali. Mendarat di Adelaide siang hari, kami, satu kloter, ditampung di dormitory mahasiswa. Berkawan sepi, dormitory ini terasa asing dan mengasingkan. Maklum, mahasiswa sedang libur. Posisinya di atas bukit, menyatu dengan area kampus Flinders University. Lokasinya-pun jauh dari pusat keramaian, apalagi penjual makanan. Sehari semalam, kami berenam terpaksa menyantap bekal perjalanan yang tersisa dari Indonesia. Bagi kami orang Jawa, sehari kehidupan nir-nasi adalah “derita” awal hidup di Australia.
Esoknya, baru kami ke Central market, Adelaide. Memasuki area food court di China town kami gembira. Pasalnya, di daftar menu tersedia Fried rice. Kami langsung berpikir ‘puasa’ nasi akan segera berakhir. Namun, keraguan akan halal-haram segera menyergap. Meski telah memilih menu yang paling aman, kegembiraan kami mendadak terhenti. Pasalnya, taste dari Fried rice ternyata tak ramah terhadap tuntutan lidah.
Dari sinilah, Abdul Mu’ti kenduian tampil unjuk kerja dengan jurus ‘ndeso’-nya. Ia mengajak kami ke Asian grocery guna belanja sembako ala Indonesia, seperti beras, telor, tofu, dan noddle. Memanfaatkan peralatan dapur dormitory, ia begitu prigel (cakap) memasak nasi beserta lauk-pauknya. Dengan jurus ‘ndeso’-nya, Mu’ti telah menunjukkan daya survive–nya di manca negara. Bahkan, ia juga telah menyelamatkan kolega kloter-nya, yang doyan makan tapi tak paham memasak makanan. Saya-pun sempat berseloroh: “Sekali lagi terbukti, ‘ketahanan pangan’ orang desa lebih baik dari orang kota!”. Kami-pun makan nasi dengan riang gembira, sambil diiringi gelak tawa. (bersambung)
*) Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Advertisement