Monarki
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MoFA research fellow di Wenzao Ursuline University.
------------------
"Ada dekade di mana tidak ada (apa pun) yang terjadi, dan (sebaliknya) ada minggu-minggu yang (justru) menentukan perkembangan dekade".
Relativitas waktu melekat pekat. Rangkaian kata ini sering dikaitkan dengan Revolusi Bolshevik, Oktober 1917. Konon, frase itu diucapkan oleh Vladimir Lenin setelah gerakan revolusioner yang dipimpinnya, lebih dari 100 tahun yang lalu, secara cepat meruntuhkan kekaisaran Rusia yang telah berabad-abad berkuasa.
Meski tidak secara penuh, untaian kata di atas menggambarkan semangat di balik diskusi tentang nasib monarki pasca Ratu Elizabeth II. Sepeninggal sang Ratu merupakan penggalan waktu yang krusial, karena dianggap menentukan masa depan sekian negara beserta komunitas politiknya.
Perbincangan yang berkembang sebagian bernada tanya, khususnya tentang prospek monarki, menyusul tampilnya Raja Charles III ke tampuk takhta, menggantikan ibundanya. Di ranah domestik popularitas sang raja relatif masih menyala.
Survei YouGov pada Desember 2021, menunjukkan hampir dua pertiga dari warga Britania Raya masih melihat sosoknya secara positif, meski tetap kalah populer dari sang Ratu dan, bahkan, dari putranya sendiri, pangeran William.
Namun, yang menarik, pergantian pemimpin hampir selalu dikaitkan dengan perubahan politik. Apalagi, jika kekuasaan tersebut bertumpu pada basis tradisional. Dalam struktur kekuasaan semacam ini, setiap pemimpin – baik raja ataupun ratu– merupakan pusat kodifikasi kekuasaan. Kecenderungan ini tak lepas dari proses historis-sosiologis yang melingkupinya. Biasanya, motivasi utama di balik tujuan politik yang utama, meminjam istilah Clifford Geertz (1980), adalah ‘membangun negara dengan cara memkonstruk seorang Raja’ (to construct a state by constructing a king). Kekuasaan sang tokoh kemudian diperkukuh dengan retorika berulang, ditunjang kehidupan seremonial yang berkelanjutan.
Monarki Britania Raya memang tak sepenuhnya tradisional. Dalam sekian abad, kekuasaannya yang semula absolut telah bertransformasi menjadi monarki konstitusional. Raja bukan lagi penentu, tapi lebih berperan sebagai pemersatu, dengan tugas seremonial konstitusional kenegaraan. Namun, posisi tersebut tetap mempunyai signifikansi. Alasannya, cakupan posisi sang Raja bukan hanya terbatas di Britania Raya, melainkan juga mencakup 15 negara lainnya, anggota persemakmuran (commonwealth) yang selama ini mengakuinya sebagai Kepala Negara.
Tapi, kini, posisi strategis tersebut tengah menghadapi krisis, khususnya di luar Britania Raya. Tampilnya sang Raja memantik pertanyaan akan relevansinya sebagai Kepala Negara. Negara-negara di kawasan Karibia bersuara bak orkestra. Perdana Menteri Jamaika menyatakan bahwa negaranya akan meninggalkan monarki Britania Raya. Belize serta Antigua dan Barbuda juga menunjukkan sikap senada. Bagi negara-negara ini, mempunyai Kepala Negara yang dipilih sendiri merupakan bagian dari kedaulatan negeri.
Beragam argumen dikemukakan guna membalut kepentingan. Salah satunya, warisan kolonial Inggris akan perdagangan budak di negara-negara tersebut merupakan jejak hitam kuasa kerajaan. Raja Charles III secara pribadi memang pernah menyatakan ‘sedih’ akan tragedi ini.
Awal tahun ini, di depan pertemuan Commonwealth di Kigali, Rwanda, ia mengatakan: “Saya ingin mengakui bahwa akar dari asosiasi kontemporer (Commonwealth) kita (telah) berjalan jauh ke dalam periode paling menyakitkan dalam sejarah kita. Saya tidak dapat menggambarkan kedalaman kesedihan pribadi saya atas penderitaan begitu banyak orang, karena (itu) saya terus memperdalam pemahaman saya pribadi tentang dampak perbudakan yang bertahan lama”. Sayangnya, sampai kini, pernyataan ini belum diikuti permintaan maaf secara resmi.
Namun, tak semua suara bernada sumbang. Setidaknya ada pandangan yang berimbang. Bukan berarti mereka mendukung kolonialisme, melainkan sekedar mengimbangi ‘presentisme’–penghakiman masa lalu dengan ukuran masa kini. Harus diakui, kolonialisme memang senantiasa meninggalkan luka sejarah. Tapi, kadang, tak semuanya berarti sampah. Nilai, pengetahuan, dan tekhnologi hasil revolusi industri di Inggris juga diakui memperbaiki peradaban negara jajahan. Bahkan, dalam politik praktis, pemimpin negara-negara yang mempertahankan ikatan dengan monarki justru melihatnya sebagai penyelamat. Setidaknya, mereka melihat institusi ini sebagai sumber legitimasi dan stabilitas politik, karena merupakan simbol politik yang non-partisan.
Walaupun demikian, meninggalnya sang Ratu tetap meninggalkan posisi Kepala Negara menjadi tak menentu. Hal ini terjadi khususnya di antara anggota Commonwealth, tak terkecuali di dua negara besar: Canada dan Australia. Di Canada, aspirasi untuk melepaskan diri dari monarki terus meningkat. Hasil survei yang dilakukan oleh Research Co. pada Februari 2021 menunjukkan bahwa 45% penduduk Canada ingin lepas monarki, 13 % lebih tinggi dari proporsi tahun sebelumnya.
Di Quebec, negara bagian yang mayoritas penduduknya adalah keturunan Perancis, proporsinya bahkan mencapai 57%. Secara personal, Pangeran Charles juga kurang diterima warga Canada sebagai pengganti Ratu Elizabeth II. Survei tersebut juga mengungkap bahwa ia hanya mendapatkan dukungan 39%, bahkan jauh di bawah popularitas putranya–Pangeran William–yang memperoleh dukungan sebesar 47%.
Di Australia, terdapat kecenderungan serupa. Jajak pendapat terbaru yang dirilis oleh Australian Republican Movement juga menunjukkan bahwa secara personal Raja Charles kurang diterima. Dari total jumlah warga, 51% menghendaki memilih Kepala Negara Australia sendiri daripada menerima Raja Charles III sebagai pemimpinnya. Mantan Perdana Menteri dan tokoh republikan – Malcolm Turnbull – pernah mengklaim bahwa lebih banyak orang Australia sebenarnya "Elizabethans" (suka Ratu Elizabeth II sebagai pribadi pribadi), daripada “monarchists” (pendukung monarki).
Tapi, jajak pendapat di atas tidak serta merta segera mendorong keputusan Australia untuk menyelenggarakan referendum untuk kedua kali, seperti pernah dilakukan pada tahun 1999. Bahkan, PM Anthony Albanese sendiri, yang dalam kampanyenya juga menjanjikan referendum untuk menuju republik, menolak untuk segera melaksanakannya. Pasalnya, ada isu konstitusional yang secara moral lebih mendesak untuk diselesaikan, yaitu pengakuan hak-hak dasar kaum Aborigin (indigenous rights).
Memang, masing-masing negara di atas mempunyai kondisi politik dan permasalahan domestik yang berbeda. Tapi, dari berbagai opini di atas dapat ditarik satu generalisasi bahwa wafatnya Ratu Elizabeth II, dan pergantian takhta yang menyertainya; telah menggerus popularitas monarki. Pada tataran konseptual kecenderungan ini, sekali lagi, menunjukkan signifikansi legitimasi sebagai faktor determinan perubahan, baik mencakup ruang lingkup, tempo (pace), maupun metodenya.
Advertisement