Mohammad bin Salman, 'Tuan Segalanya' Menuju Arab Saudi Modern
Suatu pemandangan istimewa pada 11 Oktober 2019. Ketika itu, Stadium Internasional King Fahd Arab Saudi, dipenuhi oleh ribuan anak muda yang didominasi para perempuan. Hiruk pikuk para anak muda itu untuk menyaksikan langsung konser boyband asal Korea Selatan BTS.
Arab Saudi memang telah memperbolehkan kaum perempuan untuk mendatangi konser sejak September 2017. Mulai terbukanya Arab Saudi itu tidak terlepas dari sosok Putra Mahkota Mohammad bin Salman (MBS).
Kebijakan yang dibuat Pangeran Mohammad bin Salman itu pun dimaksudkan untuk membuat citra Arab Saudi yang modern. Tak hanya itu, pada tahun yang sama MBS juga mencabut larangan kaum perempuan ke bioskop setelah larangan itu sebelumnya diberlakukan selama 25 tahun.
Sejak diangkat menjadi Putra Mahkota pada 21 Juni 2017, Pangeran Mohammad bin Salman berjanji akan membuat Arab Saudi anti korupsi, memberikan kebebasan terhadap kaum perempuan, serta investasi yang besar untuk sektor hiburan.
Kemudian, Putra Mahkota berusia 35 tahun tersebut juga memimpin “Visi 2030” untuk mendorong Arab Saudi tidak hanya bergantung pada minyak.
Berbagai kebijakan sang Putra Mahkota “milenial” itu mendapatkan dukungan positif oleh warga Arab Saudi. Terutama, ketika dicabutnya larangan bagi kaum perempuan menyetir pada Juni 2018.
Salah seorang warga Nouf Khamis, mengatakan, selain menyambut baik kebijakan Pangeran Mohammad bin Salman, dia juga menilai memperbolehkan perempuan menyetir artinya memberikan kebebasan dan membuatnya lebih mandiri.
“Para perempuan akan menjadi mandiri. Jika mereka ingin pergi ke suatu tempat, mereka akan melakukannya sendiri. Mereka tidak akan menunggu seseorang menjemputnya. Mereka akan mandiri. Kenapa tidak? Putri saya akan mendapatkan SIM dan mengemudi setelah dia cukup umur,” ujar Nouf Khamis dalam wawancara bersama CGTN (China Global Television Network).
Adanya “Visi 2030” yang dipimpin dan diumumkan langsung oleh MBS pada 2016, dimaksudkan agar rakyat Arab Saudi dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak, mendiversifikasi ekonomi, dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.
Tujuan utamanya termasuk memperkuat kegiatan ekonomi dan investasi, meningkatkan perdagangan internasional non-minyak, dan mempromosikan citra Kerajaan yang lebih lembut dan lebih sekuler.
Putra Mahkota yang dijuluki dunia sebagai “Tuan Segalanya” itu, bahkan menyebut Arab Saudi merupakan negara tempat para pemimpi yang ingin melakukan sesuatu.
“Arab Saudi bukanlah suatu tempat untuk para investor biasa, melainkan sebuah tempat untuk para pemimpi yang ingin melakukan sesuatu untuk dunia,” ungkap Pangeran Mohammad bin Salman.
Tampaknya, Arab Saudi dibawah pengaturan sang Putra Mahkota tidak main-main untuk mewujudkan ambisi sebagai negara terbuka dan modern.
Arab Saudi turut serius dalam mengedepankan pemanfaatan teknologi canggih seperti yang menjadi cita-cita dalam “Proyek Neom”.
Menariknya, proyek dengan anggaran sebesar USD 500 miliar itu akan membangun “kota-besar” di tengah padang pasir dengan konsep “Dunia Jurassic”.
Melansir laporan dari Jurnal Wall Street”, rencana telah disusun untuk melengkapi kota, yang diinginkan oleh Arab Saudi seukuran Massachusetts, dengan berbagai teknologi futuristik, dan penggunaan teknologi.
Firma konsultan besar dunia seperti McKinsey & Co, Boston Consulting, and Oliver Wyman, digandeng oleh Arab Saudi untuk mewujudkan “Dunia Jurassic”. Di tengah upaya Arab Saudi untuk menjadi negara yang terbuka dan modern di bawah pengaturan Pangeran Mohammad bin Salman, terdapat sisi lain yang menjadi pandangan dan kritik dunia.
Sebut saja pada Mei 2019 Kerajaan Arab Saudi pernah diberitakan akan mengeksekusi mati tiga ulama usai Ramadan, diantaranya Sheikh Salman al-Awdah, Awad al-Qarni and Ali a-Omari.
Eksekusi terhadap ketiga ulama itu disebabkan Arab Saudi menilai ketiganya merupakan ulama yang berafiliasi dengan kelompok teroris. Namun, di saat yang bersamaan sejak 2018 hingga saat ini, Arab Saudi tidak terlepaskan dari konspirasi kematian jurnalis The Washington Post Jamal Khashoggi.
Pangeran Mohammad bin Salman dituduh sebagai otak pembunuhan jurnalis di Kedutaan Besar Arab Saudi di Turki tersebut, meski ia menolak tuduhan tersebut.
Menyingkirkan sedikit skandal yang ada, dunia saat ini juga tengah tertuju atas keputusan MBS memberikan ijin untuk penerbangan maskapai komersil Israel di langit Arab Saudi pada 30 November 2020.
Sepekan sebelum keputusan itu dibuat atau pada Minggu 23 November 2020, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dikabarkan terbang ke Arab Saudi bertemu MBS dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, sebagaimana dilansir Aljazeera.com.
Netanyahu mengelak mengomentari kabar tersebut dan hanya menyebut apa yang dilakukannya selama menjabat sebagai Perdana Menteri, adalah untuk memperkuat posisi Israel dan menciptakan lingkaran perdamaian.
“Saya tidak pernah membahas hal-hal itu dan saya tidak berencana untuk melakukan itu sekarang. Namun, saya hanya bisa katakan kepada Anda bahwa sepanjang tahun selama saya menjabat sebagai PM saya melakukan berbagai upaya untuk memperkuat status Israel dan membentuk lingkaran perdamaian bersama para tetangga kita. Seperti, Uni Emirat Arab, Sudan, dan saya berharap lingkaran ini akan berlanjut dan tumbuh,” ungkap Netanyahu dalam pertemuan kabinet akhir November lalu, sebagaimana dilansir I24.
Di sisi lain terbentuknya Partai Majelis Nasional Saudi (NAAS), pada 23 September 2020, tampaknya akan memaksa Kerajaan Arab Saudi untuk mengawasi pergerakan kelompok tersebut.
NAAS dibentuk oleh enam aktivis dan akademisi Arab Saudi yang diasingkan dan berharap akan memicu transisi ke demokrasi yang pada akhirnya menggulingkan Putra Mahkota Mohammad bin Salman.
Arab Saudi adalah monarki absolut, yang diperintah secara eksklusif oleh anggota keluarga al-Saud sejak 1932.