Moeldoko Sebut Ada Ancaman Krisis Pangan di Tahun Politik
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko menyebut ada ancaman krisis pangan di Indonesia pada tahun 2023. Hal itu berkaitan dengan fenomena el nino yang diprediksi terjadi pada bulan Desember 2023 mendatang.
Demikian disampaikan Moeldoko, saat memberikan kuliah umum bertema Ketahanan Pangan dan Energi Untuk Indonesia Maju, di Gedung Auditorium Universitas Jember (UNEJ), Jumat, 24 Maret 2023.
Menurut Moeldoko, dunia saat ini sedang menghadapi tidak persoalan, yakni krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global. Krisis pangan yang terjadi di tingkat global dipengaruhi beberapa hal, yakni kebijakan domestik tiap negara, konversi energi, dan kegagalan panen.
“Kebijakan domestik sebuah negara banyak mempengaruhi kebijakan di sektor pangan, harga menjadi mahal. Kemudian konversi energi, seperti jagung dan tebu menjadi biofuel, sehingga harga jagung dan gula meningkat. Yang ketiga karena faktor gagal panen,” kata Moeldoko.
Kegagalan panen dapat disebabkan beberapa hal, yakni banjir dan kekeringan. Gagal panen akibat banjir yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia telah menyebabkan produksi pertanian turun beberapa bersen.
Meski demikian, Moeldoko menyebut selama tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami kondisi langit basah dengan penyinaran matahari yang cukup. Sehingga hasil panen selama tiga tahun terakhir tersebut cukup baik.
Namun, setelah tiga tahun hasil panen relatif baik, diprediksi tahun berikutnya akan terjadi kondisi yang berbeda. Tahun ini, berdasarkan prediksi BMKG akan terjadi fenomena el nino, yakni suatu kondisi klinis.
Meskipun diprediksi akan terjadi pada bulan Desember 2023 mendatang, namun tanda-tanda fenomena tersebut sudah mulai dirasakan di warga Kalimantan. Kondisi menuju kekeringan di Kalimantan mulai dirasakan saat ini.
“Padahal pada bulan tersebut memasuki masa panen sekaligus memasuki tahun politik. Selain panen raya bulan Maret hingga April juga terjadi pada bulan Desember, saya khawatir pada bulan tersebut terjadi gagal panen,” kata Moeldoko.
Menyikapi ancaman krisis pangan tersebut, pemerintah sudah melakukan beberapa kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi. Melalui kebijakan intensifikasi, pemerintah bekerja keras meningkatkan produktivitas pertanian.
Sementara melalui kebijakan ekstensifikasi, pemerintah mencari solusi baru, salah satunya dengan membuka lahan pengganti. Pembukaan lahan pengganti dinilai perlu dilakukan karena luas lahan baku pertanian semakin tahun semakin merosot.
“Luas lahan baku kita berbanding terbalik dengan populasi penduduk Indonesia. Pada sisi yang lain, produksi beras kita menurun, karena keluasan lahan. Sementara jumlah penduduk terus bertambah,” tambah Moeldoko.
Beberapa hari lalu, Presiden Jokowi telah membuka lahan pertanian baru seluas 3.000 hektar di Papua. Lahan tersebut diambil dari lahan dengan HGU yang sudah habis atau yang ditelantarkan.
Pemerintah menargetkan ada 10.000 hektar lahan pertanian baru yang bisa dibuka. Namun, sejauh ini hanya ada 3.000 yang sudah dikosongkan.
Dari 3.000 tersebut, sejauh ini baru 500 hektare yang bisa dikelola bersama masyarakat. Sementara untuk 2.500 sisanya formulanya masih digodok oleh pemerintah.
Dorong perguruan tinggi melakukan riset ketahanan pangan
Moeldoko juga menyinggung terkait peran perguruan tinggi dalam menyikapi ancaman krisis pangan. Salah satunya dengan mendorong perguruan tinggi untuk terus melakukan riset di bidang ketahanan pangan dan energi.
Moeldoko berharap, hasil riset akademisi di kampus benar-benar bisa diterapkan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Jangan sampai riset hanya selesai sampai di laci/meja saja.
"Hasil riset perguruan tinggi jangan hanya berhenti di laci meja. Banyak penelitian yang hanya selesai di tingkat kampus saja," lanjut Moeldoko.
Kelemahan yang hingga saat ini masih terjadi di perguruan tinggi adalah upaya hilirisasi riset. Para peneliti, guru besar atau profesor tidak sedikit yang menghasilkan penelitian yang berkualitas. Namun, terputus pada tataran implementasi lanjutannya.
Padahal penelitian yang berkualitas tersebut dapat dikembangkan dan dioperasionalkan. Salah satunya dengan bekerja sama dengan pihak ketiga, baik kementerian maupun pengusaha.
Moeldoko memastikan, hasil riset yang ditindaklanjuti tidak hanya bisa disertifikasi, tetapi juga bisa dikomersialisasikan. Terlebih Indonesia memiliki Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Moeldoko mencontohkan hasil karya peneliti Unej terkait Mocaf, tebu tahan kering, dan pupuk hayati sekaligus pembasmi hama.
“Setelah tersertifikasi bisa dikomersialisasi. Tinggal nanti hitung-hitungannya bagaimana,” pungkas Moeldoko.
Ketahanan energi
Selain persoalan ancaman krisis pangan, kondisi energi di Indonesia juga mengalami penurunan produktivitas. Beberapa tahun lalu, produksi migas Indonesia tembus 1,5 juta barel.
Sedangkan saat ini, produksi migas di Indonesia hanya 700.000 barel. Padahal kebutuhan migas saat ini mencapai 1,2 juta barel.
Kondisi tersebut memaksa Indonesia mengimpor migas untuk memenuhi kebutuhan migas dalam negeri.
Untuk menyikapi krisis energi, pemerintah sudah menerbitkan inpres No. 9 tahun 2019 tentang percepatan pembangunan mobil listrik. Inpres tersebut disusul dengan Inpres No. 7 Tahun 2022, agar semua lembaga pemerintah pusat maupun daerah melakukan transformasi transisi dari mobil konvensional ke mobil listrik.
Sementara Rektor Universitas Jember, Iwan Taruna menjelaskan Universitas Jember memiliki visi dan misi mengembangkan dan memajukan agroindustri. Karena itu kuliah umum kali ini menjadi bermakna agar Civitas akademika Universitas Jember mendapatkan informasi langsung dari sumbernya.
Advertisement