Moderasi Beragama secara Proporsional, Pesan Din Syamsuddin
Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, secara istilah moderasi beragama juga perlu didudukan lagi secara proporsional. Pasalnya, istilah tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik internasional pasca peristiwa 11 September.
Dalam konteks geopolitik ini, istilah moderasi cenderung menimbulkan persoalan konseptual. Oleh karena itu, Din mengingatkan bahwa Islam memiliki istilah sendiri yang layak diajukan yakni wasathiyyah. Istilah ini secara normatif disebutkan di dalam QS Al-Baqarah: 143.
“Istilah moderasi ini harus dilihat konteks politik internasionalnya di mana Amerika Serikat mencoba merangkul beberapa kelompok untuk mengamankan kepentingan internasionalnya,” ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Sebaiknya, kata Din, memakai wasathiyyah dengan konotasi-konotasi yang bersumber dalam ajaran Islam itu sendiri seperti tertuang dalam istilah Ummatan Wasathan. Makna moderasi sudah terkadung di dalam istilah wasathiyyah ini. Din menegaskan bahwa moderasi Ummatan Wasathan itu dinamis namun sekaligus juga tegas.
“Tidak kalah dan lembek, tapi berwibawa dan tampil memimpin dengan keadilan. Berlaku adil kepada orang lain dan terutama pada diri sendiri,” tuturnya.
Wasathiyah Islam
Din Syamsuddin lalu mengeksplorasi gagasan Wasatiyah Islam dari sejumhlah ulama dan tokoh umat melalui Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama Muslim Dunia di Bogor, Jawa Barat pada 1 - 3 Mei 2018. Hasil pertemuan itu dituangkan dalam Pesan Bogor yang menyebutkan beberapa aspek penting dari washatiyah.
Di antara aspek penting dari wasathiyyah tersebut meliputi:
I’tidal, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab;
Tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan;
Syura, mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus;
Islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama;
Qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia; dan
Muwatonah, merangkul saudara sebangsa dalam menciptakan kedamaian.
Din menyatakan, sejak dulu, Muhamamdiyah sudah wasathiyyah baik secara prinsipil maupun parksis. Salah satunya adalah Muhammadiyah menyeimbangkan antara dakwah ilal khair, upaya mengajak kepada keunggulan dan amar makruf nahyi munkar atau pencegahan dari kerusakan.
“Implemenasinya yang baik adalah Darul Ahdi wa Syahadah. Salah satu bentuknya adalah ikut serta aktif secara meritokrasi di kehidupan berbangsa, termasuk politik.
"Peran Muhammadiyah bukan hanya menjawab tantangan ekstirmesme umat Islam, tapi juga ekstremisme negara. Muhammadiyah harus melawan kemungkaran struktural, tidak malah kompromi,” terang Din.
Agenda “meluruskan kiblat bangsa” untuk Muhammadiyah abad kedua salah satunya memuat perlawanan kepada kerusakan struktural tersebut.
Din menyatakan bahwa Jihad Konstitusi yang selama ini dilakukan Muhamamdiyah adalah bagian dari melawan kedzaliman struktural itu. Sehingga Muhammadiyah harus menjalankan fungsi pengusung, pendukung, dan pengawal dalam upaya melawan kerusakan struktural di negeri ini.
Catatan Redaksi:
Salah satu agenda Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-31 adalah Seminar Nasional yang mengundang tiga cendekiawan Muhammadiyah.
Din Syamsuddin sebagai pembicara selain Amin Abdullah dan Biyanto, menyampaikan visinya tentang moderasi beragama yang tepat untuk konteks Indonesia. Seminar bertema Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan ini diadakan pada Sabtu 5 Desember secara daring.
Advertisement