Moderasi Beragama dalam Perspektif Sosio Kultural
Oleh Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi*
Masyarakat Indonesia yang majemuk menuntut untuk menerapkan sikap yang toleran. Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Ada enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat dan ada ratusan bahkan mungkin ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal yang berada di Indonesia.
Moderasi beragama dapat dimaknai sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil jalan posisi di tengah- tengah (washatiyah), selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama berarti juga cara beragama seseorang yang tidak ekstrem dan tidak berlebihan dalam menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktikkan moderasi beragama bisa juga disebut dengan moderat.
Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan yang sangat diperlukan. Sebaiknya, radikalisasi dan radikalisme, kekerasan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks atas nama agama, adalah sikap kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak perlu.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada berbagai kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama untuk menjadikan agama sebagai sumber nilai-nilai yang merawat kebhinekaan. Presiden mengajak tokoh-tokoh agama dan umat beragama untuk memberikan wawasan keagamaan yang Iebih dalam dan luas lagi kepada umat masing-masing, karena eksklusivisme, radikalisme, dan sentimen-sentimen agama cenderung bertumpu pada ajaran-ajaran agama yang terdistorsi. Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama bangsa ini sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan sebagai kekayaan dan modal sosial budaya Indonesia.
Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, fanatisme dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama secara subyektif tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.
Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intra agama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antar agama). Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.
Memegang kebenaran merupakan keharusan (QS Al-Baqarah/2 : 147). Tetapi merasa diri paling benar, paling bersih, dan paling suci mesti dihindari agar tidak terjebak pada sikap berlebihan (ghuluw, ekstrem). Sikap berlebihan dalam hal apa pun akan membuat diri menjadi seolah sebagai pengawas dan hakim kebenaran terhadap orang lain, yang belum tentu pihak lain berada di jalan salah atau sepenuhnya salah.
Perbedaan mazhab atau pandangan dalam menjalankan Islam tidak perlu dibesar-besarkan sehingga menghalangi kita untuk berbuat baik satu sama lain. Kita hanya perlu mengikuti ulama yang kita yakini kebenarannya. Tidak perlu memaksa orang lain untuk juga mengikuti apa yang kita anggap benar apalagi mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pendapat.
Salah satu hal yang harus dihindarkan dalam merawat persatuan umat Islam dalam bingkai moderasi beragama adalah egoisme kebenaran kelompok sendiri dan mencela sesama kaum muslimin. Secara dalil agama ini termasuk dalam perbuatan dosa besar, apalagi jika sampai tega mengkafirkan sesama muslimin. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)
Merasa kelompoknya paling benar dan melemparkan tuduhan kelompok lain kafir adalah perbuatan ceroboh yang kadang menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan sumber hukum Islam yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)
Moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita perlu moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.
Moderat dalam beragama tentu sama sekali bukan berarti mengompromikan prinsip-prinsip dasar agama atau ritual pokok keagamaan demi untuk menyenangkan orang lain yang berbeda paham keagamaannya, atau berbeda agamanya. Moderasi beragama juga bukan alasan bagi seseorang untuk tidak menjalankan ajaran agamanya secara serius. Sebaliknya, moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi mau berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.
Proses moderasi beragama yang menjadi acuan proses terjadinya moderasi beragama di Indonesia harus terjadi dalam tiga aspek yaitu tidak berat sebelah atau memihak, berpihak kepada kebenaran, dan tidak sewenang-wenang memaksakan kebenaran secara subyektif. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi akan menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang dapat mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan pada gilirannya akan mengimbasi kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penutup
Keragaman dalam beragama itu keniscayaan dan tidak mungkin dihilangkan (QS Yunus:40-41, Al-Baqarah:256 ). Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Masing-masing agama memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni keadilan dan kebajikan, memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dalam beragama dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Tepat pada tanggal 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed el-Tayeb telah menandatangani “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together.” Dokumen Abu Dhabi ini disebutkan menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama dan berisi beberapa pedoman yang harus disebarluaskan ke seluruh dunia.
Dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document) itu menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia yang semuanya mengatasnamakan agama.
Jakarta, 23 Agustus 2022
Penulis adalah ketua PBNU, Wasekjen MUI, Pengasuh Pesantren Annur 1 Bululawang Malang.