Modal Literasi Berharga di Era Milenial, Ternyata ya Ngaji
Literasi keagamaan generasi sebelum masuk era milenila dan media sosial didapat dari ngaji kepada kiai di kampung dengan mengkaji kitab-kitab dasar. Generasi 1980 dan 1990-an mempunyai modal literasi keagamaan berharga untuk menghadapi era digital saat ini.
Menurut Mastuki Hs, Direktur Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta, generasi 80-an dan 90-an akrab dengan ngaji, baca koran, buku, dan lain-lain sehingga secara literasi keagamaan labih siap dalam menghadapi derasnya arus informasi.
“Litaerasi keagamaan generasi sebelum milenial terbangun kuat. Dulu ngaji Al-Qur’an di langgar (musholla) wajib bisa. Ngaji ke kiai, ada yang mukim, kalong (bolak-balik), dan menetap,” ujar Mastuki, dalam keterangan diterima ngopibareng.id.
Jadi, menurutnya, literasi keagamaan terbntuk berdasarkan silsilah keilmuan yang jelas. “Jelas maraji’-ya, rujukan kegamaannya, dan kitab-kitabnya,” terang Mastuki.
Menurutnya, hal itu berbeda dengan era melejitnya teknologi infomrasi seperti saat ini. Pengetahuan keagamaan bisa dengan mudah diperoleh dari gadget. Tanpa jelas rujukan dan siapa yang menyampaikan.
Tantangan inilah yang menurut Mastuki dihadapi oleh media-media Islam online. Media Islam yang fokus memproduksi konten-konten keagamaan dituntut tidak hanya memberikan paham keagamaan yang menurutnya benar, tetapi juga baik untuk kehidupan bersama.
Direktur Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta ini mengatakan, literasi keagamaan juga terbentuk dari keluarga, orang tua, guru terdekat sehingga akhlak terbangun.
Sebelumnya, Mastuki Hs, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama, memberikan arahan saat mengisi Pelatihan Indepht Reporting Kebismasislaman Bagi Media Online, di Jakarta. (adi)