Misteri Taliban 2.0
APBN Afghanistan memang sangat tergantung pada bantuan asing. Sampai 75 persen dari anggaran yang diperlukan. Maka kebangkrutan sebenarnya memang tinggal tunggu waktu. Dan itu terbaca oleh siapa saja termasuk oleh Taliban.
Coba saja. Negara mana yang mau menyusui terus-menerus tanpa tahu kapan akan berakhir.
Afghanistan praktis tidak punya pendapatan untuk negara. Tidak ada industri. Tidak ada pelabuhan. Tidak ada barang yang bisa diekspor kecuali opium. Orang pintarnya pun banyak yang mengungsi.
Bayangkan, pendapatan dari pajaknya didominasi dari pajak opium. Mencapai 10 persen. Persentase itu kelihatan besar karena keseluruhan penerimaan pajaknya memang sangat kecil.
Saya pernah ke pusat tanaman opium di segitiga emas Thailand-Burma. Bersama Tomy Winata. Pakai pesawat khusus. Kami ingin melihat sukses Thailand mengubah pusat opium itu menjadi perkebunan buah almond. Untuk diekspor. (Baca Disway: Di Mana Pohon Besar).
Kisah sukses itu terdengar sampai Afghanistan. Ingin meniru. Tim dari Thailand sudah diundang ke pusat opium di Afghanistan. Sudah merancang kebun apa saja selain opium. Sebagai percontohannya. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan program itu.
Tentu sekarang ini muncul banyak problem berat di Afghanistan. Siapa lagi yang mau membantu dana ketika pemerintah justru di tangan Taliban. Yang mengakui saja baru dua: Tiongkok dan Rusia. Yang lain masih tunggu apakah janji Taliban dipenuhi: lebih terbuka dan moderat.
Salah satu masalah berat di sana adalah: bagaimana cara mengakomodasikan 160.000 tentara pejuang Taliban ke dalam sistem ketentaraan nasional. Itu terjadi di mana pun pasca revolusi.
Di Indonesia, di awal kemerdekaan dulu, begitu sulit menampung tentara pejuang kemerdekaan seperti itu. Ada syarat umur. Pendidikan. Jenjang latihan.
Tidak semua tentara pejuang memenuhi syarat masuk tentara reguler. Muncullah kisah seperti tecermin dalam Jenderal Nagabonar. Lahirlah istilah eks KNIL dan eks tentara pejuang seperti PETA. Saling tuding: Peta menuding KNIL pengkhianat. KNIL menuding PETA tentara amatir.
Kesulitan lain: bahan bakar. Tapi kekurangan BBM mungkin bisa dibantu Iran. Demikian juga kekurangan listrik. Selama ini listrik Afghanistan dicukupi dari Iran. Atau dari Tajikistan dan Uzbekistan. Ada transmisi listrik antar-negara.
Kemampuan Afghanistan memproduksi listrik memang hanya 600 MW. Hanya sama dengan satu provinsi Kalsel. Di sana memang besar sekali potensi listrik tenaga air. Tapi baru ada beberapa PLTA skala kecil.
Di situlah Tiongkok akan menunjukkan kejagoannya: listrik tenaga air skala besar. Dari sini Afghanistan akan bisa ekspor listrik ke Pakistan. Dari situ pula industrialisasi hasil pertanian bisa dimulai. Lalu industri lainnya.
Pertanyaan besar saya: apakah internet akan terus diizinkan oleh Taliban. Afghanistan sudah punya satelit: Afghan-1. Itulah sebabnya sudah ada HP 4G di sana. Dimiliki perusahaan asing dari Emirat. Jumlah kepemilikan handphone juga sudah hampir sama dengan jumlah penduduk: 34 juta HP untuk 38 juta warga negara.
Saya berharap Taliban tidak melarang Internet. Mungkin bisa belajar mengendalikan internet dari Tiongkok. Silakan saja politiknya dikendalikan. Tapi bidang hukum, pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan internet lucu-lucuan jangan dikendalikan.
Dari situlah perubahan sosial dan budaya bisa terjadi lebih cepat di Afghanistan.
Taliban 1.0 sudah lewat. Taliban 2.0 masih misteri besar. (*)
*) Tulisan ini dikutip dari Harian Disway.