Misteri Upaya Membancikan KPK
BERITA tentang pembentukan Pansus KPK di DPR dengan berbagai pro dan kontranya menyita perhatian kita. Sayang, masalah yang vital bagi bangsa dalam pemberantasaan korupsi yang tiada henti tidak diberitakan oleh media secara proporsional —terbelah karena politik partisan—dan tidak menampilkan isu-isunya secara proporsional, seimbang dan dalam perspektif yang benar.
Sebagai mantan wartawan, kesedihan saya terhadap kurang berperannya media —termasuk mainstream—dalam memberikan pencerahan karena kecenderungan partisan ini sudah lama. Mungkin karena hampir tidak pernah lagi membaca koran —kecuali at glance melihat headline dan opini yang kredibel—tetapi memang saya belum melihat isu KPK ini diberitakan atau diopinikan secara proporsional, seimbang dalam perspektif yang benar. Hasilnya adalah kekacauan yang membingungkan kita semua.
Adalah keinginan kita bersama dalam menguatkan reformasi di negeri ini dengan membersihkan negeri ini dari kelakuan para pencoleng negeri dengan menggencarkan penangkapan para koruptor. Siapapun dan dari segmen mana mereka berasal.
Kehadiran berbagai lembaga anti-rasuah ini kita ketahui bersama sejak zaman Orde Baru sampai kini, dengan berbagai macam lembaga dan mandatnya. Dan, memang hanya KPK yang kredibel, apabila didukung oleh kepemimpinan yang amanah, profesional, memiliki komitmen dan determinasi yang tinggi.
Sejarah upaya anti korupsi dimulai di Indonesia pada tahun 1950-an tanpa ada langkah berarti secara kelembagaan maupun UU. Pada awal rezim Orde Baru lahirlah Komisi Empat yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada tahun 1970. Komisi tidak berbuat sesuatu yang signifikan namun mencatat bahwa korupsi "merajalela" tetapi tidak ada tindakan mendesak yang ditindaklanjuti.
Lalu, dalam UU No. 31/1999 tentang Tipikor yang memberi kepolisian dan kejaksaan untuk menginvestigasi kasus korupsi juga tidak bisa diandalkan. Harap dicatat, bila berbicara korupsi terjadi ‘perebutan lahan’ di antara para penegak hukum. Entah kenapa, mungkin ‘ada rezeki’ di sana. Dan ini juga perbuatan koruptif!
Pada saat amandemen UUD 1945 memang ada kesempatan untuk memasukkan lembaga anti-rasuah ini menjadi institusi negara, seperti halnya DPD, BPK, MK dan lain sebagainya. Sayangnya, kompromi yang tercapai hanya di kerangka hukum di bawah UUD 1945, yaitu dalam bentuk undang-undang. Mungkin dikira korupsi tidak akan menggila-gila seperti sekarang ini dan entah sampai kapan negeri ini menjadi bancakan. Jangan pula kita lupa bahwa Indonesia menjadi negara yang memiliki komitmen tinggi untuk pemberantasan korupsi di dunia internasional. Indonesia telah meratifikasi UN Convention Against Corruption (UNCAC) dengan UU No 7/2006, tidak lama setelah pengesahan UNCAC di tahun 2003. UNCAC yang mengintrodusir norma baru internasional ani-rasuah ini hampir berlaku universal dengan 181 pihak, berdasarkan data Desember 2016.
UNCAC adalah yang terbaru dari serangkaian perkembangan panjang di mana para ahli dan pemimpin dunia telah mengenali dampak luas dari korupsi dan kejahatan ekonomi yang melemahkan nilai demokrasi, pembangunan berkelanjutan, dan rule of law. Indonesia dan negara-pihak lainnya menyadari perlunya mengembangkan langkah-langkah efektif melawan korupsi baik di tingkat domestik maupun internasional.
Dunia mengakui komitmen tinggi Indonesia. Sidang negara-pihak UNCAC kedua bahkan berlangsung di Bali, Indonesia, pada tahun 2008 pada masa Presiden SBY, yang menyumbang banyak bagi kemajuan norma dan jangkauan UNCAC.
Bagi Indonesia, agenda yang belum terselesaikan dalam implementasi kewajiban internasionalnya pada UNCAC adalah memperluas jangkauan korupsi di pihak swasta. Bisa dibayangkan, jika perangkat hukum ini dibuat berapa banyak korupsi yang terjadi di perusahaan swasta yang juga melibatkan unsur pemerintah. Ini agenda memang ‘sengaja’ dilupakan?
Dunia menunggu langkah substantif Indonesia untuk menjangkau korupsi di swasta, sementara kita ‘dengan sengaja’ disibuki dengan masalah remeh-temeh, saling-tuduh, dan merasa benar sendiri. Kita kehilangan perspektif dalam debat kusir ini.
UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan pada tahun 2002, meskipun saat itu negosiasi pembuatan CAC masih berlangsung. Lembaga KPK dengan mandatnya ini tidak lain ‘copy-paste’ dari kewenangan yang berasal dari CAC. Dengan kepemimpinan awal yang kredibel dan independen baik dari pengaruh kepolisian maupun kejaksaan bahkan pemerintah, KPK menjadi solusi tepat dan menakutkan karena pekerjaan signifikan yang mengungkapkan dan mengadili kasus-kasus korupsi. Timbul harapan, negeri ini akan menjadi lebih baik.
Betapa negeri ini telah menjadi sandera oleh ‘the bad guys’. Karena kiprah yang hebat tidak lama KPK pun ditarik-tarik di berbagai pusaran kepentingan: pemerintah dan para penegak hukum tadi serta kalangan DPR dengan latar-belakang perebutan kekuasaan di antara parpol.
Ini juga yang menjadi latar-belakang kontroversi Pansus KPK di DPR. Pihak-pihak saling menuduh dan bahkan tragisnya ada yang mengusulkan agar DPR saja yang dibubarkan, bukan KPK. Tak kurang, karena ‘perilaku’ KPK yang dianggap partisan malah ada yang mengusulkan agara KPK yang dibubarkan. Ini semangat di Pansus sekarang. Hanya 2 fraksi menolak ikut Pansus —PD dan PKS—bukan pula berarti secara gamblang mereka tidak melihat nilai strategis untuk penguatan kelembagaan yang dominan di sana. Sekiranya agenda Pansus juga meng-address kedua isu secara seimbang maka dukungan Pansus menjadi keniscayaan.
Pendapat —to be or not to be killed—ini membutakan mata kita bahwa ada dua isu yang terkait satu dengan lainnya di sini. DPR harus kuat dan berjalan baik, begitu pula KPK. Kedua lembaga demokrasi ini justru harus bekerjasama.
Di atas, saya melihat secara jernih, ada dua isu yang campur-baur yang memang dalam posisi bertolak-belakang di antara opini yang berkembang. Ada dua agenda besar yang sedang dimainkan. Daripada ikut-ikutan aksi dukung yang hanya akan memberikan ‘blank check’, mari kita kritisi apa dua isu atau agenda yang mutlak dibahas.
Isu pertama: penguatan institusional yang seyogianya menjadikan KPK lebih kuat dan tidak tergerus kompetensinya dalam upaya jangka-panjang sejak awal reformasi sampai kini. Kecenderungan korupsi yang rampant di negeri ini seyogianya semakin memperkokoh mandat KPK untuk meningkatkan ikhtiar perang terhadap korupsi. Isu korupsi swasta harus diprioritaskan UU-nya oleh DPR agar menjangkau lebih luas pelaku-pelaku koruptif yang sebenarnya jauh lebih dahsyat di pihak swasta, dan tentu saja dalam banyak kasus berkolusi dengan unsur pejabat pemerintah.
Isu kedua: seberapa jauh KPK bisa menjadi lembaga independen mampu melepaskan diri terhadap kecenderungan partisan, tidak berperilaku ‘tebang pilih’ yang akhirnya menjadikan lembaga anti-rasuah ini sebagai ‘alat kekuasaan’ atau lebih parah jika akhirnya KPK pun terinfeksi dengan perbuatan koruptif berupa ‘abuse of power’ dan ‘abuse of authority’. KPK akhirnya menjadi alat ‘pengumpul dana’ entah untuk kepentingan siapa.
Pada isu ini, sangat terkait kompetensi, kredibilitas, komitmen tinggi dan determinasi para komisioner. Karena itu, proses pemilihan komsioner harus diperkuat dengan masuknya tokoh-tokoh yang kredibel, amanah dan kompeten. Proses seleksi komisioner ini jangan sepenuhnya diserahkan kepada DPR yang cenderung ‘kompromistis’ demi kepentingan pihak-pihak yang bermain di sana.
Kedua isu di atas harus tergambar dan menjadi agenda bersama bagi pihak-pihak yang memang memiliki komitmen tinggi untuk membersihkan negeri ini dari kehinaan yang memalukan reputasi negeri.
Sayangnya, di tengah pemberitaan media kedua isu yang saling bertentangan ini tidak tergambar. Yang muncul adalah kekisruhan, dukung-mendukung, perang statement antara pihak-pihak berkepentingan untuk membentuk bahkan memenangkan opini.
Saya dengan jelas memotret, dalam isu pertama: siapa saja yang menentang upaya peningkatan ‘power’ KPK untuk memerangi rasuah berarti dia berada di pihak pendukung koruptor: dari mana pun mereka berasal.
Dalam isu kedua: siapa saja yang menyeret agar KPK menjadi ‘banci’ dan alat kekuasaan untuk menyerang pihak-pihak ‘yang tidak disenangi’ pada dasarnya adalah pihak-pihak pendukung koruptor. Jelas. Jika ada penilaian publik bahwa kepemimpinan KPK sekarang adalah terlemah dan cenderung partisan dengan pesan ‘tebang-pilih’ ini menyedihkan.
Tetapi, kepemimpinan di KPK silih-berganti. Ketidak-sukaan pada kepemimpinan sekarang seyogianya tidak membunuh ‘institusi’ KPK yang kita bangun dengan tidak mudah. Jangan membunuh lalat dengan meriam, kata orangtua kita berpesan.
Apapun kontroversi yang kini sedang berkembang seyogianya tidak membutakan mata dan hati kita bahwa kini sedang berlangsung ‘pertempuran’ dan entah pihak mana yang akan menang. Namun, kita rakyat jangan sampai terperdaya. Kita harus lebih cerdas dari orang-orang pemegang kekuasaan yang memang sedang asyik dengan kekuasaan dan bahkan menjadi isu korupsi ini sebagai ‘lahan’ untuk kepentingan diri sendiri, maupun pihak-pihak yang diwakili mereka.
Dan jangan lupa, dunia internasional menonton pertandingan yang tidak lucu ini dengan rasa masygul: hendak ke mana Indonesia dibawa?
Media, please jangan tidur atau ikut-ikutan ‘lupa’ dengan misi mencerdaskan bangsa.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.