Mirror Neurons di Pembunuhan Motif Sepele
Oleh: Djono W. Oesman
Tukang tape, Asep Saefudin, 27, naik taksi online. Di dalam taksi, ia dinasihati sopirnya, Setya Puji, 53: “Elu ngerantau, jangan mau diinjek-injek orang, lu.” Asep tersinggung. Mencabut pisau tape, ditusukkan bertubi-tubi. Setya tewas di dalam mobil.
—---------
Terlalu sepele motif pembunuhan di Bekasi itu. Untuk dua orang tidak saling kenal. Sama-sama hidup ‘susah’. Di metropolitan Jabodetabek yang harga kebutuhan hidup serba mahal (buat mereka).
Kapolres Metro Bekasi, Kombes Twedi Aditya Bennyahdi kepada wartawan, Kamis 20 Juli 2023 mengatakan, itu terjadi Senin 17 Juli pukul 20.30 WIB. Dari Kranji, Bekasi Kota, menuju Cikarang.
Asep hendak pulang, dari jualan tape keliling pakai pikulan. Sisa tape masih banyak. Ia naik taksi karena jam segitu sudah tidak ada lagi angkot. Ia duduk di kursi kiri depan.
Dalam perjalanan mereka berkenalan. Ngobrol. Sekadar membuang waktu. Cerita kesulitan hidup masing-masing di Bekasi. Tapi damai. Tidak ada masalah.
Kian lama cerita kian mendalam. Sampai curhat-curhatan segala. Di tengah perjalanan, di Kampung Cilangkara, Desa Cilangkara, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, ada kalimat sopir yang menentukan pembunuhan.
Dari pengakuan tersangka Asep kepada polisi, waktu itu sopir Setya menasihati Asep, begini: “Elu kalau ngerantau, jangan mau diinjak-injak orang, lu.” Berkata begitu, Setya sambil mencolek jidat Asep.
Tanpa kata, Asep menusuk Setya beberapa kali. Pakai pisau tape yang terselip di keranjang pikulan. Luka Setya ada di bawah ketiak kiri, ketiak kanan, dan pipi kanan. Tusukan paling dalam di bawah ketiak kiri, tembus jantung.
Dari titik luka itu, bisa diperkarakan, tusukan pertama pada bawah ketiak kiri. Langsung kena jantung. Lalu, kemungkinan korban rebah ke kiri. Tertahan sabuk pengaman. Saat itu Asep diperkirakan menusuk lagi pipi kanan. Diulangi lagi di bawah ketiak kanan. Niat membunuh.
Mobil berhenti di tengah jalan. Asep keluar, langsung kabur.
Mobil berhenti di tengah jalan, kondisi mesin hidup, mencurigakan warga. Ada warga membuka pintu kanan depan, melihat sopir rebah berdarah-darah. Pelaku sudah menghilang.
Dari pesanan aplikasi, polisi memburu pelaku. Ditangkap Rabu 19 Juli pukul 01.00 WIB di rumahnya, Kampung Cilangkara, Serang Baru. Jadi, Asep sudah hampir tiba di rumah saat ia membunuh Setya.
Asep dikenakan Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa, juncto Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman maksimal hukuman mati.
Mengapa peristiwa begitu sepele membuat Asep membunuh Setya? Tidak ada yang tahu pasti. Cuma Asep yang tahu. Polisi selaku aparat penegak hukum sudah sangat sibuk menegakkan hukum. Tidak bertugas mengungkap, mengapa orang membunuh? Apalagi dengan motif sangat sepele. Ini bukan tugas polisi lagi.
Prof Marco Iacoboni dalam bukunya berjudul “Mirroring People: The New Science of Empathy and How We Connect with Others” (2009) mencetuskan teori psikiatri-kriminologi yang sangat terkenal, disebut Mirror Neurons.
Mirror Neurons adalah nama satu titik saraf, di antara miliaran saraf di dalam otak manusia dan hewan primata. Titik ini letaknya di Korteks Serebral, tempatnya di bagian terluar otak.
Dr Terry Jernigan dalam bukunya berjudul "The basics of brain development" (2010) menyebutkan, Korteks Serebral adalah bagian terluar otak, berisi miliaran badan sel saraf yang padat. Membentuk materi abu-abu otak. Materi putih otak dan berhubungan dengan sumsum tulang belakang.
Korteks Serebral punya empat divisi utama yang dikenal sebagai lobus: Lobus Frontal, Temporal, Parietal, dan Oksipital. Dan, Mirror Neurons terletak di Lobus Frontal.
Intinya, menurut Prof Iacoboni, Mirror Neurons berfungsi untuk meniru dan empati. Anak dan orang dewasa meniru sesuatu, atau punya empati, karena Mirror Neurons berfungsi aktif. Atau disebut kuat. Begitu juga sebaliknya.
Iacoboni adalah Guru Besar Ilmu Psikiatri dan Ilmu Biobehavioral di Pusat Pemetaan Otak di University of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat. Teorinya itu berjasa mengungkap penyebab orang membunuh orang lain, dengan alasan sepele.
Disebutkan, dari 7,3 miliar manusia di bumi, setiap hari pasti pernah tersinggung, atau kecewa, atau terlecehan, oleh ucapan atau perilaku orang lain. Orang tersinggung atau terlecehkan, mayoritas marah.
Tapi tidak semua orang tersinggung dan marah, akan membunuh orang yang menyinggung. Jika itu terjadi, maka umat manusia segera habis. Cuma sebagian sangat kecil orang tersinggung, membunuh. Bahkan, sangat kecil yang tersinggung lalu memukul si penyinggung.
Sebab, Mirror Neurons mayoritas manusia berfungsi aktif. Kuat. Cuma sangat sedikit orang yang lemah. Nah… pada orang yang lemah inilah kekurangan empati. Terlebih, pada orang yang tanpa Mirror Neurons sama sekali, maka tidak punya empati sama sekali. Ini yang bahaya.
Empati berasal dari kata pathos (bahasa Yunani) yang berarti perasaan mendalam.
Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, empati berarti: Keadaan mental yang membuat seseorang merasa, atau mengidentifikasi, dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama, dengan orang atau kelompok lain.
Dalam bahasa Jawa disebut “tepa salira” (baca: tepo sliro). Tepo berarti diri sendiri, sliro berarti orang lain. Terjemahannya, dapat merasakan (menjaga) perasaan (beban pikiran) orang lain.
Mirror Neurons yang aktif, berarti orang yang punya tepo sliro. Bisa menjaga perasaan orang atau kelompok lain. Disebut ‘orang’ atau ‘kelompok’, sebab kalimat seseorang bisa menyinggung perasaan orang yang diajak bicara, atau juga kelompok orang itu.
Teori Iacoboni Mirror Neurons, adalah antitesa dari pendapat Filsuf Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) yang mendeskripsikan, bahwa semua manusia pada dasarnya pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Manusia memangsa manusia lain demi bertahan hidup. Atau berebut rejeki. Bahkan berebut korupsi.
Iacoboni berpendapat, cuma orang dengan Mirror Neurons lemah yang bisa memangsa orang lain.
Terpenting bukan soal definisi. Karena definisi, cuma berputar dari teori ke teori. Melainkan, bagaimana cara meningkatkan budaya empati? Termasuk buat orang dengan Mirror Neurons lemah. Berlatih agar meningkatkan empati.
Iacoboni berteori (tapi ini teori penting) bahwa budaya empati dapat ditingkatkan dengan lima cara, begini:
Sadar tentang kapasitas biologis kita untuk berempati, dan ingatlah Mirror Neurons kita harus kuat.
Punya niat untuk meningkatkan empati budaya.
Menciptakan lingkungan hidup yang lebih empatik.
Mengurangi fokus pada perbedaan dan pelabelan, atau identitas.
Meningkatkan fokus pada rasa kebersamaan, atau persatuan.
Seumpama dibalik, kita fokus meningkatkan atau mempermasalahkan perbedaan, maka berarti kita lemah empati. Kurang, atau tidak, memperhatikan perasaan orang lain. Asalkan kita senang (melakukan atau mengatakan sesuatu), orang lain biar saja mati. Tak peduli.
Sikap itu akan ditanggapi orang lain (lawan) dengan sikap yang sama. Karena, tidak seorang pun mau saja dihina atau disakiti. Pasti melawan. Akibatnya perang. Habis-habisan.
Dalam kasus Asep versus Setya, teori Mirror Neurons, masuk. Mereka sama-sama ‘orang susah’, dan Mirror Neurons mereka juga sama-sama lemah. Setya meskipun berniat baik (nasihat) tapi karena kurang empati, maka menyinggung perasaan Asep.
Sebaliknya, Asep cuma ‘dijundul’ jidatnya, pun membalas dengan menikam Setya bertubi-tubi. Mirror Neurons milik Asep, lebih lemah lagi dibanding Setya. Sehingga, ‘jadi-lah itu barang’.
Manusia hidup dengan koridor moral yang tidak terlihat. Tapi jelas ada. Dan harus dipatuhi. Oleh orang kaya maupun miskin. Tua atau muda. Mutlak wajib patuh. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya. Mati, atau dihukum mati.
*) Penulis adalah wartawan senior.
Advertisement