Miris, Netizen Indonesia Paling Tak Sopan di Asia Tenggara
“Ternyata Indonesia yang katanya ramah dan ketimuran itu cuma mitos”. Kalimat tersebut adalah satu di antara ribuan cuitan bernada kekecewaan warganet +62 yang kesal terhadap netizen Indonesia yang lain. Bukan tanpa alasan, komentar warganet di media sosial terkadang sangat keji dan tak manusiawi, saat mencibir postingan apapun yang muncul di lini masa mereka.
Rasis pada Bayi
Contoh terbaru adalah komentar rasis yang diberikan pada video berisi tingkah lucu bayi berkulit hitam, yang tentunya punya ayah dan ibu. Dalam video di Tik-Tok itu, terlihat bayi bermata lebar itu, duduk di sebuah sofa.
Bayi tersebut mengenakan baju motif garis warna pink pastel dan putih dengan rambut dikuncir mungil. Bayi tersebut tampak bengong, tak lama ia tersenyum. Video tersebut menjadi For Your Page (fyp) dan viral.
Tak ada hujan dan angin, postingan lucu ternyata disambut riuh kalimat pedas dari netizen mulia di Nusantara, yang menghujani kolom komentar. Hal tersebut diabadikan dalam tangkapan layar akun @areajulid di Twitter.
Seraya mengunggah tangkapan layar tersebut, pemilik akun menulis caption, “I’m sorry for being Indonesian, it’s not my fault”. Artinya, saya minta maaf menjadi orang Indonesia, itu bukan salah saya.
Di dalam tangkapan layar itu, ada banyak komentar yang menghina fisik bayi mungil tersebut.
Tak butuh waktu lama, konten yang diunggah pada Jumat, 4 Februari 2022 itu menarik perhatian pengguna internet lainnya. Sejak diunggah, postingan itu disukai 18.9 ribu orang dan mendapat 1.856 retweets.
Tentunya, mereka yang menyukai postingan ini, berseberangan sikap dengan komentar netizen yang menghina bayi lucu itu. Sebagian besar komentarnya mengaku malu dan mengecam komentar yang dinilai tak pantas dan jahat itu.
“Gak kaget kalau netizen Indo dibilang nggak sopan, ya emang nggak sopan banget. Kalau ada kasus rasisme sok ngebela, padahal mereka juga rasis ke saudara sebangsa, apalagi ke warga negara lain,” tulis akun @butterxxx.
“Barusan lewat fyp, komen netizen indo ngeri-ngeri sumpah. Malu-malu in, rasis banget. Tapi giliran diejek +62 pasti marah-marah,” tukas @honeyxxx.
“Itu masih bayi loh, bisa-bisanya ngatain bayi? Wtf. Ga punya otak ya. Ketikannya jahat banget, dia juga ga bisa milih kali ingin lahir dengan warna kulit apa. Kalian itu ngehina penciptanya juga loh, sadar nggak sih? Sama-sama dari tanah aja belagu,” timpal pengguna yang lain.
Catatan Buruk Akhlak Netizen Indonesia
Setidaknya ada 3 bukti pendukung pedasnya komentar netizen Indonesia di media sosial. Seperti caci maki untuk pengantin gay di Thailand, aksi geruduk akun BWF, dan serbuan di akun Microsoft.
Suriya Koedsang, salah satu mempelai pengantin pria melaporkan netizen Indonesia karena melontarkan kata hinaan hingga ancamana. Antara lain: dilarang oleh Tuhan dan menimbulkan kiamat, disebut sebagai orang gila, dan mengancam membunuh keluarga.
Sementara, netizen menghujat BWF lantaran diduga tidak adil karena memaksa memukul mundur perwakilan tanah air pada 2021 lalu. Terakhir, netizen mengecam Microsoft atas title yang diberikannya.
Rekor Se-Asia Tenggara
Melansir CNN.com, dalam laporan berjudul ‘Digital Civility Index’ atau (DCI) yang dibuat oleh Microsoft terdapat riset berisi tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020.
Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei untuk tingkat kesopanan, sekaligus menjadi yang terendah di Asia Tenggara.
Sementara, negara teladan di Asia Tenggara kembali disabet oleh Singapura di peringkat pertama. Disusul oleh Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun peringkat negara dengan tingkat kesopanan daring terbaik secara global diraih Belanda.
Penyebab Kejinya Netizen Indonesia
Merujuk Kompas.com, menanggapi hal di atas Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani menyebut, tak bisa dipungkiri penggunaan media sosial meningkat selama pandemi. Termasuk di Indonesia.
Endang merinci, ada tiga faktor yang menyebabkan netizen Indonesia mendapat gelar sebagai netizen tidak sopan se-Asia Tenggara. Antara lain sebagai berikut.
Faktor pertama adalah ketidakpastian. Situasi pandemi yang tidak pasti, membuat masyarakat mencari informasi dari berbagai sumber. Sehingga, jika terjadi banjir informasi, mereka akan percaya pada apa yang diyakini.
“Apalagi jika informasi berasal dari orang terdekat, tanpa melakukan cek dan ricek, akan langsung mem- forward apa pun informasi yang diterima. Mata rantai informasi hoaks semakin panjang,” jelasnya.
Kedua adalah kesulitan ekonomi selama pandemi. Akibatnya kasus penipuan semakin marak. Yang ada di pikiran mereka adalah mendapatkan uang meski dengan cara menipu orang lain.
Terakhir sebagai respons rasa frustasi. "Ujaran kebencian di media sosial, bisa jadi adalah respons rasa frustasi yang dialami selama pandemi. Selain menjadi bentuk luapan atau ungkapan emosional, ujaran kebencian dapat muncul dari dorongan untuk melampiaskan rasa frustrasi" katanya. Terlebih, di media sosial orang merasa bebas melontarkan kata-kata tidak pada tempatnya karena bisa menyembunyikan identitas sebenarnya.