Minke Saja?
“Minke,” jawab pemuda itu terpana. Betapa tidak, yang bertanya adalah gadis nan cantik jelita. Berkulit putih, halus, dan berwajah Eropa. Namun berambut dan bermata pribumi.
Gadis sempurna seperti dalam lamunannya tentang kekasih hati. Bermata jeli. Lantas dia meraih tangan gadis itu. Mencium ujung jarinya, dengan lembut.
Mata teduhnya tak rela melepas kecantikan itu walau sekejap. “Minke saja?” tanya gadis itu lagi. Pemuda dengan kumis tipis itu terdiam. Menjawab dengan senyum simpul.
“Aku pribumi. Ibuku pribumi. Jowo!” ungkap Annelies Mellema dengan logat medok itu.
Pemuda itu masih juga tertegun. Tak bisa berkata-kata. Membalas cecaran tanya itu hanya dengan mata yang berbinar.
Mata yang memancarkan kecerdasan. Ketampanan. Juga semangat perlawanan.
Inilah fragmen penting, mula cerita dari film Bumi Manusia ini. Film yang diangkat dari salah satu tetralogi Pulau Buru, masterpiece karya Pak Pramoedya Ananta Toer.
Sayang, saat saya nonton pada penayangan perdana, tak seperti yang saya bayangkan. Ruang bioskop tak begitu penuh. Kurang dari seperempat kursi terisi.
Yang patut diapresiasi, sebelum film dimulai, Falcon Pictures menyisipkan tayangan lagu Indonesia Raya. Juga seruan, agar para penonton berdiri. Untuk penghormatan.
Yang berdiri saat lagu kebangsaan berkumandang? Sayang, hanya dua orang. Itupun mereka yang terkategorikan sepuh. Yang muda, sibuk dengan dirinya masing-masing.
Tentu saja, saya bukan kritikus film. Jadi, tulisan ini tak akan mengomentari karya Mas Hanung Bramantyo ini. Karena, sebagai sutradara, dia punya tafsir sendiri.
Itu mengapa ada adegan Minke mencium tangan Annelies yang sebenarnya tak ada di buku Pak Pram. Atau, adegan Minke yang dipaksa harus duduk terpisah dengan Robert Suurhorf dan Robert Mellema, kakak Annelies.
Memang tafsir, adalah hak preogratif para pembaca tetralogi Pulau Buru itu. Termasuk Mas Hanung sang pembuat filmnya. Bisa jadi seiring waktu, akan ada remake film ini.
Roman antara Minke dan Annelies ini, adalah tulang punggung cerita. Tentu dengan banyak pesan dari Pak Pramoedya Ananta Toer. Pesan atas kemanusiaan, kesetaraan, juga penghormatan atas hak asasi manusia.
Pesan kesetaraan dan keadilan ini memang tujuan utama Pak Pram. Itu mengapa ada kutipan terkenal dari bukunya yang melegenda. ”Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan."
Selain Minke, ada tokoh lain yang sangat penting. Sanikem, gadis lugu yang “dijual” ayahnya demi pangkat. Menjadi gundik, istri simpanan orang Eropa yang status hukumnya tak jelas.
Menjadi gundik, banyak yang melihat sebelah mata. Kadang juga dikucilkan. Tapi Sanikem beda.
Dia bisa bertransformasi menjadi Nyai Ontosoroh. Perempuan pribumi, yang dilabeli kasta rendah, tapi bisa menjadi perempuan yang sebenarnya. Sadar dengan kodratnya.
Dia secara otodidak belajar bahasa Belanda, berhitung, juga belajar mengelola usaha. Yang terpenting, dia belajar berpikir seperti orang Eropa.
Karena Tuan Herman Mellema muda sempat mengajari hal penting. Bahwa semua orang setara. “Eropa gila sama dengan Pribumi gila,” kata Tuan Herman dengan senyum lembut, sebelum kedatangan anaknya yang lain yang membuatnya gila.
Minke yang merupakan tamu pertama Annelies, juga menambat hati Nyai Ontosoroh. Lebih pada sosok pemuda pribumi bayangannya. Pemuda pribumi priyayi yang tidak menyombongkan status sosial keluarga.
Pemuda yang berani menikmati hidupnya dari hasil kerja tangannya sendiri. Priyayi mandiri. Juga cerdas, menjunjung prinsip keadilan, dan berani melawan keadaan.
Banyak yang meyakini Minke adalah gambaran dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, tokoh pemula pers Hindia Belanda. Pemilik koran Medan Prijaji. Media yang mampu membuat Pemerintah Kolonial kalang kabut.
Koran menjadi wujud aslinya, sebagai sarana pendidikan juga perjuangan. Koran ini terbit di Bandung pada Januari 1907. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu.
Seluruh awaknya pribumi. Perusahaan pers pertama ini bermodal f 75.000. Inilah corong utama pelawan penindasan.
Dengan rubrik hukumnya, dia memberikan jawaban atas pengaduan pribumi yang diperlakuan tak adil. Tak heran, kiprah Raden Mas Tirto dalam kancah perjuangan terhitung besar. Tercatat, ada juga hubungannya dengan gerak Boedi Oetomo (BO).
Tapi namanya organisasi. Tentu ada juga riak konflik di dalamnya. Makanya, walau masih menjadi anggota BO, priyayi ini turut membentuk organisasi lain.
Sarekat Dagang Islam (SDI). Niatnya membantu kaum pedagang pribumi. Agar bisa melawan persaingan dagang dengan saudagar bangsa lain.
Organisasi ini berdiri pada 5 April 1909. Dalam gerak sejarahnya, SDI membesar di Solo. Ada tokoh kuat di sana, Haji Samanhoedi.
SDI yang akhirnya oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto diubah namanya menjadi Syarekat Islam (SI). Besar sekali pengaruh SI. Harap maklum, kalau Belanda mengelari Pak Tjokroaminoto sebagai Raja Jawa tanpa mahkota.
Gelar itu pula yang membuat para pendiri bangsa datang. Tercatat ada Semaun, Kartosuwiryo, hingga Sukarno.
Mereka rela untuk ngekost di Gang Peneleh Surabaya. Menyadap visi, pemikiran, dan ilmu gerakan masa dari maestronya langsung. Gerakan yang akhirnya melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, kemerdekaan Indonesia adalah buah perjalanan panjang. Bukan kerja semalam. Juga banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Dari menyemai benih, menghidupkan gagasan kemerdekaan, lalu diestafetkan ke generasi penerus. Berperang sampai titik darah penghabisan. Untuk kemerdekaan.
Mereka bermacam rupa. Beda fisiknya. Beda bahasanya. Beda agamanya. Tapi mimpinya sama, kesetaraan dan keadilan untuk semua.
Semangat itu yang dimasukan Pak Pram melalui karya-karyanya. Oh ya, dalam Bumi Manusia, kita juga diajarkan hal penting. Keteguhan dan sikap pantang menyerah.
Sebagaimana ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke. “Hidup memberi segalanya kepada yang mencari tahu dan mudah menerima.”
Selamat Hari Kemerdekaan RI ke-74, Merdeka!
Ajar Edi, kolumnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id