Mini Art Malang 22; Melukis Bencana dan Penderitaan
Mini Art Malang merupakan pameran seni yang diinisiasi Studio Dinding Luar (SDL), digawangi beberapa nama yaitu Dadang Rukmana, Lek Budi, dan Mas Goweng. SDL berdiri sejak 2015 dengan niat awal untuk membedah buku-buku setiap hari Rabu. Hingga akhirnya kegiatan ini dinamai “Reboan”.
Pemilihan buku yang menarik ditentukan setelah dibaca dan dirangkum, untuk kemudian dibedah bersama-sama. Kegiatan bedah buku ini terbuka untuk umum. Hingga saat ini, mayoritas audience-nya merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya yang memiliki minat terhadap kesenian, dilaksanakan dengan berpindah-pindah, dan kondisional, membuat kegiatan ini menyenangkan dengan ‘jalan-jalan’, sekaligus dikenal sedikit demi sedikit dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu buku yang pernah dibedah oleh kelompok Studio Dinding Luar adalah Painting Today karya Tony Godfrey. Setiap hari Rabu kelompok SDL mengupas bab per bab hingga selesai, kemudian berganti ke buku menarik lainnya.
Dari pertemuan-pertemuan tersebut, akhirnya Dadang bersama kelompok SDL berinisiasi membuat pasar seni dalam skala kecil bagi para seniman Jawa Timur. Pasar ini dinamai Mini Art Malang atau biasa disingkat MAM yang dilaksanakan setahun sekali. MAM memiliki spesifikasi tersendiri dalam penentuan karya. Pada perhelatan MAM #3 karya harus berukuran 40 cm hingga 50 cm. Hal ini bertujuan untuk memudahkan para kolektor atau konsumen mengoleksi atau membeli karya, baik dari segi harga maupun pembungkusan karya (bisa dijinjing).
MAM pertama dilaksanakan pada tahun 2018 di Dewan Kesenian Malang (DKM), tanpa tema tertentu, membebaskan seniman untuk mengeksplorasi karyanya. Di tahun berikutnya yakni 2019, di tempat yang sama, MAM kembali dilaksanakan dengan membawa tema khusus yaitu Drawing, karena Drawing dianggap tidak lagi menjadi dasar pembuatan karya seni, tetapi juga menjadi karya itu sendiri.
“Kalau sekarang sebenarnya lebih demokratis tentang kekaryaan, apapun boleh digunakan, cuman memang perlu ada sisi penjelasannya”, ungkap Lek Budi, kurator MAM.
Di tahun 2020 dan 2021, pandemi menjadi alasan MAM tidak dilaksanakan. Kini tahun 2022, MAM kembali hadir di Dewan Kesenian Malang (DKM) membawa tajuk “MAM 22 PAINT IN B(L)ACK” dengan tema karya khusus yaitu Painting. Namun karena Painting dirasa terlalu luas, maka Lek Budi selaku kurator MAM memampatkannya dengan menggunakan tema disaster atau bencana.
Lek Budi melihat bahwa setiap kehidupan ini silih berganti, artinya bencana itu juga akrab dengan manusia, baik yang disebabkan oleh bencana alam atau ulah manusia itu sendiri. MAM menjadi tempat seniman merespon bencana tersebut. Bencana itu diinterpretasikan bermacam-macam oleh seniman, seperti kerusakan lingkungan, perang, tokoh-tokoh penyebab perang, peristiwa bencana itu sendiri, bahkan ketidak harmonisan di dalam keluarga atau dalam diri seniman itu sendiri. Seniman sebebas-bebasnya menafsirkan.
MAM diikuti oleh 120 seniman, dengan 2-3 karya setiap seniman. Jadi terhitung ada 240 lebih karya yang dipajang. Namun satu hal yang disayangkan dalam pameran ini, dengan membawa niat penjualan karya atau memperkenalkan karya-karya seniman Jawa Timur, pameran MAM tidak menampilkan identitas karya yang dipajang.
Pembelian konsumen terhadap sebuah produk, terkhusus karya seni, tidak hanya mempertimbangkan estetika atau visual karya saja, tetapi juga individu si seniman tersebut, hingga cerita di dalam karya karena merasa ‘relate’. Maka identitas karya perlu ditampilkan dalam sebuah pameran. Dengan adanya identitas karya juga dapat membantu para apresiator atau art lover mengetahui atau mengidentifikasi seniman dan karyanya.
Namun di balik itu semua, MAM patut diapresiasi atas niatnya dalam menjual dan memperkenalkan karya para seniman Jawa Timur. Terbukti setelah pelaksanaan MAM kedua, Studio Dinding Luar diundang untuk turut berpameran dalam pameran Art Jakarta. Artinya Studio Dinding Luar berhasil memperluas jaringan hingga ke Jakarta dengan mengajak seluruh seniman Mini Art Malang. Pameran MAM ini sangat perlu dilanjutkan sebagai wadah penjualan dan pengenalan karya para seniman Jawa Timur ke lingkaran yang lebih luas. (* Kharisma Nanda Zenmira, pemerhati seni rupa dari Pasuruan)
Advertisement