Min Aung Hlaing, Jenderal di Balik Kudeta Myanmar
Kudeta Militer di Myanmar masih menjadi sorotan dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, bahkan melakukan segala upaya untuk menekan Myanmar dan memastikan kudeta gagal.
Junta militer Myanmar kembali berkuasa setelah menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah pejabat pemerintah termasuk presiden dalam kudeta. Kudeta berlangsung usai militer dan pemerintah sipil Myanmar berselisih selama beberapa bulan terkait hasil pemilihan umum 8 November lalu.
Nama panglima militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pun akhirnya menjadi sorotan. Ini terjadi setelah pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, bersama petinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ditahan pada Senin 1 Februari 2021.
Ia bahkan menerapkan status darurat ke Myanmar dan menunjuk pelaksana tugas (Plt) presiden.
Min Aung Hlaing merupakan kunci dari 'peran abadi' tentara dalam sistem politik di Myanmar saat ini. Pria berusia 64 tahun ini awalnya menjauhi aktivisme politik saat ia belajar hukum di Universitas Yangon pada 1972-1974.
"Dia orang yang tidak banyak bicara, biasanya tidak menonjolkan diri," tulis Reuters mengutip seorang teman sekelasnya 2016 silam.
Namun, pada 1974, Min Aung Hlaing memutuskan untuk bergabung dengan universitas militer utama, Akademi Layanan Pertahanan (DSA). Meski demikian kala itu, sosoknya masih belum menonjol.
Menurut seorang anggota DSA, Min Aung Hlaing adalah kadet biasa. "Dia dipromosikan secara teratur dan lambat," kata teman sekelasnya, menambahkan dalam wawancara tahun yang sama.
Tetapi, Min Aung Hlaing mengambil alih menjalankan militer pada tahun 2011. Saat itu transisi Myanmar menuju demokrasi dimulai.
Para diplomat di Yangon mengatakan bahwa dengan dimulainya masa jabatan pertama Suu Kyi pada tahun 2016, Min Aung Hlaing telah mengubah dirinya dari tentara pendiam menjadi politisi dan tokoh masyarakat.Pengamat mencatat penggunaan Facebook untuk mempublikasikan kegiatan dan pertemuan dengan pejabat dan kunjungan ke biara.
Profil resminya menarik ratusan ribu pengikut. Namun di 2017, laman itu hilang setelah gencar tudingan serangan militer terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Menurut para diplomat dan pengamat, Min Aung Hlaing mempelajari transisi politik sejumlah negara. Ini membuatnya mampu menghindari kekacauan pasca perubahan rezim pada tahun 2011.
Hal langka kemudian diambil Min Aung Hlaing pada 2016. Ia memperpanjang masa jabatannya di pucuk pimpinan militer selama lima tahun.
Ini sebuah langkah yang mengejutkan para pengamat yang mengharapkan dia untuk mundur tahun itu. Tahun ini, keluhan dari tentara soal ketidakberesan dalam daftar pemilih Pemilu 8 November 2020 yang memberikan kemenangan besar bagi partai Suu Kyi, membuatnya gencar berpendapat dan menentang hasil pemilu.
Mengutip pemberitaan TV Myawaddy yang dikelola militer dari AFP, hingga kini kendali atas "undang-undang, administrasi dan peradilan" berada di tangan Min Aung Hlaing. Ini menandai secara efektif pengembalian kekuasaan Myanmar ke kekuasaan militer.
Sementara itu, Panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, berjanji akan menggelar pemilu ulang pasca-kudeta dan menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Kudeta militer berlangsung karena adanya protes setelah Pemilu dimenangkan Aung San Suu Kyi yang dinilai curang.
"Kami akan mengadakan pemilu multipartai dan kami akan menyerahkan kekuasaan kepada yang menang dalam pemilu itu, sesuai aturan demokrasi," kata Min Aung Hlaing dalam sebuah pidato, dikutip Selasa 9 Februari 2021.
Hlaing tidak menjelaskan kapan pemilu bakal digelar, namun terus berulang mengatakan pemilu November lalu yang dimenangkan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi merupakan sebuah penipuan.
Dalam laporan Reuters, Min Aung Hlaing mengatakan, panitia pemilu harus direformasi.
Pidato Min Aung Hlaing dilakukan saat ribuan orang anti-kudeta turun ke jalan di ibu kota Naypyitaw, Yangon, dan kota lainnya untuk protes penggulingan pemerintahan.
Sebagian besar demonstrasi berjalan damai, tidak seperti aksi protes besar-besaran pada 1988 dan 2007 yang menewaskan ratusan orang.
Advertisement