Mimpi Terbang Tinggi Bersama Jokowi
Lama menghilang dari ruang publik, mantan Presiden PKS Anis Matta punya metafora menarik tentang kondisi bangsa.
“Langitnya sangat tinggi, kemampuan terbang kita masih sangat rendah,” ujarnya ketika menyampaikan orasi kebangsaan dengan tema #Arah Baru Indonesia, pada Mukernas Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KA KAMMI), di Jakarta akhir pekan lalu (3/2).
Anis tampaknya sedang mencoba menggambarkan situasi Indonesia yang oleh banyak kalangan disebut-sebut bakal menjadi pemain global dan kekuatan besar dunia dalam satu dasa warsa ke depan.
Realitasnya hari ini tanda-tanda bahwa Indonesia akan menjadi “raksasa” baru Asia, kian jauh dari harapan. Pertumbuhan ekonomi stagnan, utang pemerintah kian menggunung.
Langit sangat tinggi menggambarkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan posisi Indonesia dalam geopolitik global. Sementara kemampuan terbang menunjukkan kapasitas kita sebagai bangsa.
Skeptisme bahwa Indonesia bakal menjadi pemain global itu sebenarnya sudah jauh hari disampaikan Profesor Richard Robinson seorang Indonesianis asal Australia. Dalam sebuah seminar di Universitas Melbourne dua tahun lalu, dia mengatakan “untuk skala regional saja Indonesia tidak akan menjadi sebuah kekuatan baru, apalagi menjadi kekuatan global.”
Prediksi Robinson tersebut sangat menohok di tengah optimisme yang ditebar pemerintah dan juga sejumlah lembaga riset dunia.
PricewaterhouseCoopers (PwC) misalnya meramalkan pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi peringkat kelima kekuatan ekonomi dunia di bawah Cina, Amerika, India, dan Jepang.
Sementara lembaga riset yang berbasis di London, Inggris Centre for Economics and Business Research (CEBR) menyatakan Indonesia akan masuk dalam 10 besar kekuatan ekonomi dunia.
“Semua itu hanya obsesi dari para akademisi, para wartawan dan lembaga think tank,” tegas Robinson.
Mengapa Robinson bisa sampai pada kesimpulan yang sangat bertolak belakang? “Tidak terlihat adanya intensi dan kapasitas pemimpin politik dan ekonomi untuk memproyeksikan kekuatan Indonesia menjadi salah satu penyebabnya,” kata Robinson sebagaimana dikutip Kompas.com (5/7/16).
Soal intensi (niat) dan kapasitas pemimpin politik ini menjadi sangat relevan ketika sejumlah lembaga survei memprediksi Jokowi saat ini masih tetap merupakan kandidat terkuat sebagai capres 2019. Artinya bila situasi politiknya tidak berubah, bangsa Indonesia harus bersiap menjalani masa lima tahun ke depan tetap bersama Jokowi.
Bagaimana mungkin mimpi terbang tinggi menjadi kekuatan dunia itu bisa tercapai, bila niat saja tidak punya. Apalagi ditambah tidak adanya kapasitas pada pemimpinnya.
Pertanyaan tentang kapasitas ini belakangan semakin menguat dengan munculnya opini dari wartawan senior John Mcbeth. Dia menulis sebuah artikel berjudul “Widodo's smoke and mirrors hide hard truths”. Sebuah artikel yang menuding Presiden Jokowi melebih-lebihkan fakta tentang keberhasilan program kerjanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014, target pertumbuhan ekonomi tidak pernah tercapai.
Pada tahun 2014 pemerintah menargetkan pertumbuhan sebesar 5.5%, realisasinya hanya 5.02%. Pada tahun 2015 dari target 4.88%, hanya tercapai 4.79% atau terendah selama enam tahun terakhir. Pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi kembali meleset, dari target 5.1% hanya tumbuh 5.02%. Sementara pada tahun 2017 dari target 5.2%, hanya tumbuh 5.07%.
Utang pemerintah juga terus bertambah. Dalam 2.5 tahun Jokowi berkuasa tercatat utang pemerintah bertambah Rp 1.062 triliun. Pinjaman yang menggunung itu kata Menko Perekonomian Darmin Nasution karena pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur itulah yang kini tengah banyak disoroti. Kejar target yang harus selesai sebelum Pilpres 2019 ditengarai menjadi penyebab banyaknya kecelakaan fatal dalam beberapa proyek infrastruktur yang kini tengah dibangun.
Di luar itu kini yang tengah banyak dipersoalkan adalah kebijakan pemerintah yang mengimpor berbagai komoditi pangan. Pemerintah sangat aktif melakukan impor mulai dari beras, jagung, bawang, sampai garam. Padahal saat mencalonkan diri pada pilpres 2014 Jokowi berjanji akan menghentikan berbagai impor komoditi pangan tersebut bila terpilih menjadi presiden.
Tidak punya mimpi seperti Soekarno
Penguasa Indonesia saat ini, dalam analisis Robinson tersandera oleh kepentingan oligarki politik dan ekonomi. Mereka tidak punya kepentingan untuk memproyeksikan Indonesia sebagai kekuatan regional, apalagi global.
Yang mereka pikirkan hanya bagaimana mengamankan posisi mereka dalam rantai produksi dan investasi global yang ada di Indonesia melalui jalur politik yang telah mereka kuasai.
Dengan konstelasi politik dan ekonomi seperti itu, tegas Robinson, para pemimpin Indonesia tidak memiliki ambisi seperti Soekarno. Presiden pertama RI itu punya semangat mengubah arsitektur kekuatan global atau regional yang ada.
Itulah sebabnya mengapa nasionalisme Indonesia tidak diarahkan ke luar tapi ke dalam. Tidak terlihat peran Indonesia di kancah global. Kalau toh ada hanya sekedar pemanis untuk memenangkan dukungan politik domestik. Tujuannya tak lebih hanya sekedar untuk melindungi kepentingan dan memastikan bahwa mereka mendapatkan porsi sebanyak mungkin dari kue (pie) pembangunan yang ada.
Dengan cara pandang yang inward looking, sangat wajar bila mimpi terbang tinggi menjadi Rajawali yang melayang-layang di angkasa Asia dan dunia, hanyalah sekedar mimpi. End
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik