Mimpi Liar Kiper Gelandangan Iran: Redam Tendangan Ronaldo....!!
Nama penjaga gawang Alireza Beiranvand memang tidak setenar David de Gea atau juga Keylor Navas. Namun kiper Iran ini sudah membuktikan tak kalah dari penjaga gawang kelas dunia yang tampil di Piala Dunia 2018.
Bahkan Alireza, termasuk dalam deretan penjaga gawang terbaik dalam gelaran sepakbola paling akbar di dunia ini. Dari dua kali penampilan bersama Iran, gawangnya cuma kebobolan sekali saat melawan Spanyol.
Para penyerang dan gelandang Spanyol dibuat frustasi oleh ketangguhan lini belakang Iran plus penampilan cemerlang Alireza Beiranvand. Nama-nama top, seperti David Silva, Basequet, Iniesta hingga Diego Costa dibuat geleng-geleng.
Satu gol yang bersarang ke gawang Iran yang diceploskan Diego Costa juga bukan hasil tendangannya sendiri. Melainkan bola pantulan dari pemain belakang Iran yang salah membuang bola. Alireza tak bisa menjangkau karena bola berbelok arah.
Meski sudah membuktikan di dua laga, namun Alireza masih punya kesempatan satu lagi untuk membuktikan ketangguhannya. Kali ini menghadapi tim tangguh Portugal dengan Cristiano Ronaldo-nya.
Tendangan Ronaldo sudah terbukti seperti peluru. Tangan kiper kelas dunia David de Gea sudah terbukti tak mampu menahan dengan sempurna saat Spanyol bermain imbang 3-3 melawan Portugal.
Pelipis seorang jurnalis juga sudah robek setelah terkena bola tendangan dalam latihan. "Saya ingin merasakan tendangan keras Ronaldo, dan bukan tidak mungkin kami bisa mengalahkan Portugal, " ucap Alireza seperti dilansir futbolmundial.dom
Kisah Hidup Alireza
Mimpi liar Alireza mungkin sama dengan pemain Iran lainnya. Iran masih punya harapan lolos andai bisa mengalahkan Portugal dengan skor berapapun. Meski rasanya sulit, tentu tidak ada yang tidak mungkin dalam pertandingan 90 menit, Selasa 26 Juni 2018, dinihari WIB nanti.
Bagi Alireza, kerasnya tendangan Ronaldo mungkin tidak sekeras perjalanan hidupnya hingga bisa tampil di Piala Dunia 2018. Sebab, semasa muda, dia sudah terbiasa menjadi kiper tanpa bersarung tangan.
Satu-satunya sarung tangan yang dia miliki hasil menabung, dirobek ayahnya karena tak setuju dengan jalan hidup yang dipilih Alireza dengan menjadi pemain sepakbola. Bukan hanya itu, untuk memujudkan impiannya menjadi penjaga gawang, hidup menjadi gelandangan harus dijalani.
Alireza berasal dari keluarga sederhana di Desa Lorestan, Iran. Orang tuanya yang berprofesi sebagai gembala domba, membuat Alireza terbiasa hidup berpindah-pindah.
Dalam keluarganya, ia tercatat sebagai anak sulung. Maka, sejak kecil ia memang sudah terbiasa untuk bekerja untuk menggembalakan domba-domba yang jadi sumber keuangan keluarganya.
Layaknya bocah Iran pada umumnya, waktu luangnya digunakan bermain dal paran dan sepak bola. Dal paran merupakan permainan tradisional Iran yang membuat pesertanya harus bisa melempar batu dalam jarak jauh.
Saat menginjak usia 12 tahun, Alireza bergabung dengan klub sepak bola anak-anak di Lorestan yang menjadi wilayah tempat tinggalnya. Ia memulai cerita sepakbolanya sebagai seorang penyerang.
Sekali waktu, ia ditunjuk begitu saja untuk menggantikan kiper timnya yang didera cedera. Alireza yang semula tak punya cita-cita menjadi seorang kiper akhirnya berubah pikiran menjadi penjaga gawang.
Masalahnya, di Iran saat itu, sepakbola tak lebih dari sekadar permainan bukan pekerjaan. Apalagi untuk keluarga pengembala seperti Alireza jelas dianggap sebuah ketololan menjadi pemain sepakbola.
Ayahnya marah besar begitu tahu bahwa sang anak tetap teguh memegang keyakinannya menjadi seorang kiper. "Ayah saya itu seperti kebanyakan ayah di Iran. Mereka tidak mengizinkan saya untuk menjadi pesepak bola. Ia meminta saya untuk bekerja yang lainnya, " ucap Alireza kepada The Guardian.
Saking marahnya, jersi dan sarung tangan kiper miliknya di sang ayah. "Akibatnya, saya beberapa kali harus bertanding dengan tangan telanjang , tanpa mengenakan sarung tangan, " kenangnya.
Singkat cerita, bermodalkan semangat dan tekad, Alireza memutuskan pergi dari rumah dan merantau ke Tehran. Bagi pemuda yang tak berpenghasilan, perjalanan lima jam dari Lorestan dan Tehran bukan hal mudah.
Berbekal uang pinjaman, penggembaraan Alireza dimulai. Keberuntungan sempat datang saat dalam bus berjumpa dengan seorang pelatih sepak bola lokal yang bernama Hossein Feiz.
Pria ini memberikan penawaran, untuk berlatih bersama klubnya, tapi harus membayar sebesar 200.000 toman (satu
toman setara dengan 10 rial iran). Tentu saja Alireza kembali gelisah, jangankan uang, tempat untuk tidur belum jelas.
Tiba di Teheran, Alireza mencari pekerjaan lebih dulu dengan menjadi karyawan di pusat pencucian mobil. Karena tubuhnya tergolong tinggi, di sering diberikan tugas untuk mencuci mobil-mobil besar.
Suatu ketika, tempat pencucian mobil tempat dia bekerja didatangi pelanggan spesial, yaitu Ali Daei, mantan pemain timnas Iran yang juga pernah bermain di Bayern Muenchen pada tahun 1998.
Teman-temannya kerjanya yang mengetahui kedatangan Daei langsung mendesak Alireza untuk berbicara dengan sang legenda untuk dicarikan jalan menjadi pemain sepakbola.
Namun, Alireza malah tidak melakukannya. Katanya, selain malu, ia juga lebih suka untuk mewujudkan cita-citanya dengan caranya sendiri, bukan bergantung pada kesuksesan orang lain.
Setelah kejadian itu, Alireza bertemu dengan pelatih klub lokal Naft-e-Tehran dan memutuskan untuk hengkang ke klub itu. Di kota ini, ia mendapatkan pekerjaan yang baru sebagai karyawan di restoran pizza. Restoran itu mengizinkan tinggal di sana selepas jam kerja.
Namun dia akhirnya ganti pekerjaan lagi setelah ketahuan pelatihnya. Berhenti dari restoran pizza, Ali Reza menjadi tukang sapu jalanan. Pekerjaan ini, menurutnya, menuntut fisik yang kuat. Tak jarang, ia harus membersihkan jalan raya sendirian pada malam hari. Setelah menyapu jalanan, dia tidur di sekitara lapangan seperti gelandangan.
Bencana datang, ketika cedera pada membuatnya terdepak dari Naft. Namun Alireza belum menyerah. Setelah di depak, dia pindah klub lokal lainnya, Homa. Namun, klub itu menolaknya. Seketika, Alireza merasa hidupnya hancur berantakan. Mimpi tinggal mimpi, ia tak akan mungkin menjadi seorang penjaga gawang profesional.
Saat hampir putus asa, manajemen tim Naft U-23 menghubunginya.Dalam pembicaaran singkat, selama Alireza belum terikat kontrak dengan klub lain, mereka bersedia untuk menerimanya. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerima tawaran ini.
"Saya memang didepak di tim junior. Namun, pada akhirnya, saya bisa menjadi kiper utama di tim senior. Dan permainan
dal paran yang saya mainkan sejak kecil benar-benar membantu saya," ucapnya.
Alireza lantas dikenal sebagai kiper utama tim. Ia bermain bersama Naft sejak 2010 hingga 2016. Begitu kontraknya selesai, dia memutuskan untuk hengkang ke klub papan atas Iran, Persepolis FC pada 2016.
Di bawah mistar gawang Persepolis, Alireza ikut mengantarkan gelar juara liga dua musim berturut-turut, pada 2016/2017 dan 2017/2018. Tak cuma juara liga, pada tahun 2017, ia ikut membantu timnya memenangi Iranian Super Cup.
Pada 2015, Alireza tepilih menjadi penjaga gawang utama Timnas Iran dengan raihan 21 kali penampilan. Di babak kualifikasi Piala Dunia 2018, gawang Alireza tidak kebobolan selama 12 kali pertandingan.
"Ada banyak kesulitan yang saya alami demi mewujudkan mimpi saya sebagai penjaga gawang. Namun, saya tidak akan melupakan kesulitan-kesulitan itu. Masa- masa seperti itulah yang membentuk saya, " ujar Alireza yang kini berusia 25 tahun itu.
Melihat kerasnya perjalanan hidup Alireza, bukan tidak mungkin kerasnya tendangan Ronaldo tidak akan ada artinya. Meski Iran sulit menang melawan Portugal, namun setidaknya, bisa menahan tendangan keras Ronaldo adalah impian liar Alireza Beiranvand. (tom)