Mimpi Gus Dur, Fachry Ali Terima Isyarah Hadiri Muktamar NU
Fachry Ali, pengamat sosial politik terkemuka, berkisah tentang "Bertemu Kiai Abdurrahman Wahid dalam Mimpi dan Muktamar NU: Bisakah Sains Menjelaskannya?"
Untuk lebih eloknya, kita ikuti penuturan langsung dari Fachry Ali, yang dikenal akrab dengan kalangan Nahdliyin, meski berlantar belakang Aceh, berikut:
Kecuali di Situbondo pd 1984, saya selalu hadir dalam setiap muktamar NU setelah itu. Dalam Muktamar NU Yogya 1989 bahkan saya berhasil ‘meloloskan’ Kiai Sahal Mahfudz yang, karena tampaknya tidak kenal beliau, tertahan Banser di pintu masuk. Dengan modal kartu identitas peserta, saya menggandeng Kiai Sahal masuk ke dalam arena muktamar —yang berlangsung di Krapyak itu.
Akan tetapi, ketika muktamar NU akan dilaksanakan di Makassar, saya tidak berniat menghadirinya. Alasannya sederhana. Muktamar yang berkangsung di luar Jawa kurang ‘eksotik’. Dalam muktamar Kediri, sebelum di Solo, misalnya, kita masih membaca isi spanduk ‘eksotik’. Misalnya, ‘Jin Baghdad Mendukung Kiai Hasyim Muzadi’.
Maka, dalam bayangan saya, muktamar NU di luar Jawa akan kering dlm hal-hal eksotik seperti itu. Inilah yg menjadi alasan mengapa saya tidak berniat menghadiri muktamar NU Makassar.
Namun demikian, ketika muktamar baru berlangsung, saya bermimpi bertemu Kiai Abdurrahman Wahid. Wajahnya sangat segar, muda dan putih —seperti yang terlihat akhir 1970-an dan awal 1980-an di LP3ES (salah satu LSM pelopor di Indonesia, Red).
Dalam mimpi itu, Kiai Abdurrahman Wahid menyapa saya: ‘Hai Fachry. Isterimu mana?’
Saya jawab: ‘Ada Cak Dur. Sedang ke sana.’ (Telunjuk saya menunjuk ke suatu tempat).
Lalu Kiai Abdurrahman Wahid memeluk saya seraya mengucapkan: ‘Alhamdulilah.’
Esok harinya, saya ditelpon TVOne. Stasiun televisi ini meminta saya menjadi moderator perdebatan para calon Ketua Umum PBNU di arena Muktamar Makassar yang akan disiarkan secara langsung oleh TVOne.
Memperoleh telpon dan permintaan ini, saya teringat mimpi bertemu Kiai Wahid malam sebelumnya.
‘Apakah mimpi itu mengisyaratkan bahwa sang kiai menginginkan saya pergi ke medan muktamar?’ Tanya saya dalam hati.
Ringkasnya, saya akhirnya terbang juga ke Makassar melalui media TVOne. Di sana, dengan siaran langsung, saya menjadi moderator perdebatan terbuka calon Ketum PBNU —yang antara lain diikuti Ulil Abshar Abdalla dan Slamet Effendy Yusuf.
Pulang dari Makassar, saya telah ditunggu wartawan senior Aboeprijadi Santoso. Tokoh yang bermukim di Amsterdam, Belanda, ini ingin mewawancara saya tentang NU — untuk Radio Nederland di Amsterdam (lazimnya: Radio Nederland di Hilversum, Belanda, Red).
Apakah ada hubungannya antara mimpi bertemu Kiai Abdurrahman Wahid dengan kepergian saya ke medan muktamar NU Makassar?
Bukankah, seperti saya tulis di atas, saya tak berniat menghadirinya?
Mungkin sains —seperti yang kini ramai didiskusikan— bisa menjelaskan hubungan ini.