Militerisme Muncul Kembali?
Oleh: Ferry Soe Pei’i
Selama 32 tahun rakyat pernah mengalami masa pemerintahan militeristik yang
represif oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Karena itu
adalah wajar jika sampai saat ini masih ada kekhawatiran terhadap kembalinya
militerisme.
Akan tetapi sama sekali tidak benar jika kekhawatiran itu diartikan sebagai anti
terhadap militer. Karena militer dan militerisme adalah dua hal yang berbeda. Militer
selalu dibutuhkan oleh pemerintahan sebagai alat pertahanan negara untuk menjaga
teritori negara terhadap segala macam bentuk ancaman oleh pihak asing.
Sedangkan militerisme adalah karakter yang tidak hanya ada pada kalangan tentara,
akan tetapi juga di kalangan sipil. Artinya sipilpun bisa juga mempunyai karakter militeristik, yang selalu mengedepankan cara-cara represif, pemaksaan, kekerasan dan bahkan peperangan untuk mencapai tujuan.
Sipil Lebih Militeristik
Kerap terlihat suatu pemerintahan yang dipimpin orang sipil justru lebih militeristik
dibandingkan militer. Contoh ekstrimnya adalah Hitler selama memimpin Jerman
pada awal abad ke-20. Hitler yang berhasil menjadi pemimpin nasional di Jerman
melalui proses demokrasi, justru menghancurkan pemerintahan demokratis dan
menggantikannya dengan pemerintahan fasis yang militeristik. Dengan
menggunakan kekuatan politik retorikanya ia leluasa melakukan genosida terhadap
etnik Yahudi dan mengobarkan peperangan dengan negara-negara tetangganya yang
kemudian meluas menjadi PDII.
Di Indonesia, di era demokrasi kecenderungan militeristik dari pemerintahan yang
datang silih berganti, ternyata juga terlihat ketika dipimpin oleh orang-orang sipil.
Banyak persoalan yang timbul diatasi dengan cara-cara militeristik, sehingga
menimbulkan pelanggaran HAM. Pembunuhan Munir (aktivis HAM) dan Theys Eluay
(Ketua Presidium Dewan Papua), terjadi ketika pemerintahan dipimpin Megawati yang
berasal dari kalangan sipil.
Begitu pula kecenderungan pada pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi yang berhasil dipilih dalam dua kali pemilu di era demokrasi ini. Sejak periode pertama pemerintahannya Jokowi sebenarnya sudah menunjukkan kecenderungannya yang sangat kuat untuk menjadi militeristik. Ia terlihat tidak pernah ragu untuk menggunakan cara-cara represif yang penuh dengan kekerasan dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya, terutama dalam persoalan yang menyangkut kebebasan berpendapat.
Adalah fakta, bahwa tak terhitung jumlahnya pembatasan disertai initimidasi dan tindak kekerasan dalam pembubaran diskusi, deklarasi, pemutaran film, dan razia buku. Juga penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh telah melakukan ujaran kebencian dan melanggar UU ITE, hanya karena mengekspresikan pendapatnya di media sosial.
Begitu pula dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang menjadi saluran masyarakat
sipil berekspresi, mulai dari aksi massa Mei 2019 yang memprotes kecurangan Pilpres, aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar September 2019 yang menentang Revisi UU KPK serta aksi unjuk rasa buruh dan mahasiswa pada September 2020 yang menolak pengesahan RUU Omnibus Law, selalu diwarnai dengan kekerasan aparat kepolisian
Oleh sebab itu peristiwa penembakan terhadap rombongan anggota FPI di KM 50 tol Jakarta-Cikampek tanggal 7 Desember lalu makin membuka mata khalayak bahwa ada kecenderungan militerisme telah muncul kembali di negeri ini. Karena penembakan yang dengan terang-terangan telah mempertontonkan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang tidak disukai oleh penguasa itu, hanya bisa dilakukan oleh penguasa yang militeristik. Yakni penguasa yang lebih suka menggunakan cara-cara represif yang penuh dengan pemaksaan, karena enggan berpikir dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul.
* Ferry Soe Pei’i, wartawan senior, tinggal di Surabaya.
Advertisement