Miliarder Tuban ini Pilih Beli Tanah, Karena Tak Bisa Setir Mobil
Kholik, salah satu warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban ini merupakan warga yang mendapat ganti rugi dari PT Pertamina dan Rosneft. Tanahnya seluar 7.000 meter persegi mendapat ganti rugi dengan harga Rp600 ribu permeter persegi.
Namun, Kholik tidak ikut dalam konsinyasi di PN Tuban. Ia langsung menyetujui ganti rugi yang ditawarkan Pertamina terhadap tanahnya yang akan dipakai proyek kilang minyak terbesar di Jawa Timur itu.
"Saya tahap pertama. Jadi nggak ikut konsinyasi. Karena, kita pasti kalah. Dari pada tidak dapat apa-apa mending saya terima saja ganti rugi itu," katanya.
Ia mendapat ganti rugi itu pada tahap pertama di awal tahun 2020. Ia sadar, karena tidak akan menang melawan negara. Karena tanahnya sudah masuk ke Proyek Strategis Negara (PSN).
"Kita gak mungkin bisa menangk. Mending siapkan diri saja cari lahan pengganti soalnya pasti kalah. Karena ini sudah menjadi PSN. Ini kan kepentingan umum, mau gimana lagi, ya gak bisa dilawan," katanya.
Kholik mengaku tidak memakai uang hasil ganti rugi itu untuk memborong mobil ataupun membangun rumah. Ia lebih memilih menggunakan uang tersebut untuk membeli tanah kembali.
"Rata-rata yang beli mobil itu karena gak punya tanggungan keluarga. Di samping itu karena lahannya masih banyak. Kalau yang belum mendapatkan lahan baru, mereka gak bakal berani berani mobil," katanya.
Kholik menambahkan, sengaja tidak beli mobil karena tidak punya garasi dan tidak bisa nyetir. Ia takut, kalau beli mobil nanti malah akan rusak dan malah rugi.
"Saya ini orang awam. Kalau beli mobil siapa yang nyopiri mas. Wong di rumah itu tidak ada yang bisa nyetir. Ada yang nekat beli mobil, padahal gak bisa nyopir dan gak punya garasi. Itu ada yang mobilnya penyok karena nabrak pagar. Bahkan ada yang ditendang sapi, karena parkirnya di dekat kandang sapi," katanya.
Di saat tetangganya banyak yang beli mobil baru, Kholik mengaku tidak tertarik sama sekali. Dan menurutnya, fenomena ini sudah hal yang biasa di kampung.
"Kalau beli mobil itu gak kaget. Tapi kalau ada yang beli ekskavator itu baru kaget. Warga sini ada yang sampai beli ekskavator, cuma saya gak mau sebut namanya, karena untuk menjaga keamanan," katanya.
Kata Kholik, warga yang memborong mobil hasil dari pembebasan lahan tersebut jumlahnya sedikit. Warga banyak yang beli tanah lagi di lokasi berbeda. Karena kalau tidak dibelikan tanah, mayoritas mereka tidak bisa makan atau bekerja. Karena tidak ada pekerjaan tetap.
"Di sini paling banyak petani. Mereka kalau musim begini tanam jagung. Makanya warga sini banyak panen jagung. Itu juga dari ladang yang sekarang dibeli Pertamina. Itu yang selama ini diandalkan, karena mereka bukan pegawai kantoran. Jadi ganti rugi itu mayoritas dirupakan tanah lagi," katanya.
Kepala Desa Sumugeneng, Gihanto mengatakan, soal pemanfaatan uang hasil ganti rugi ini menjadi kewenangan pemilik atau warga yang mendapatkan ganti rugi. Pihak desa tidak mau mengetahui diperuntukan apa uang miliaran itu.
Namun, pihak desa bersama Pertamina pernah melakukan edukasi ke masyarakat terkait manajemen keuangan. "Kita pernah mengadakan edukasi, mulai penggunaan uang, pelatihan usaha, dan lain-lain yang diselenggarakan Pertamina," katanya.
Warga Desa Sumergeneng menjadi kaya mendadak usai tanah yang mereka miliki mendapat ganti rugi dari PT Pertamina, yang rencananya digunakan proyek kilang minyak Grass Roof Refinery (GRR).
Proyek tersebut membutuhkan lahan seluas 1.050 hektare, dengan rincian 821 lahan darat, 229 reklamasi laut. Dari 821 lahan di darat itu 225 hektar milik warga dan sisanya milik Perhutani dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).