Metro TV Tanpa “Mata Najwa”
PERSILATAN di dunia televisi swasta nasional menjadi hingar bingar. Gara-gara tersiar berita Najwa Shihab, pemandu acara “Mata Najwa”, hengkang dari stasiun televisi milik Surya Paloh. Berbagai komentar dan spekulasi beredar tentang apa yang menjadi penyebab.
Kabar terbaru yang belum terkonfirmasi menyebutkan, penyebab hengkangnya Najwa, bersumber dari keputusan Nana - panggilan akrabnya, yang melanggar kebijakan redaksi. Atasannya Nana, disebut-sebut tidak setuju atas usulan mewawancarai Novel Baswedan, penyidik KPK yang jadi korban penyiraman air keras.
Tidak disebutkan apakah yang tidak setuju atasan Najwa, cq Pemimpin Redaksi Don Bosco Selamun, Presiden Direktur Metro TV Tomy Suryopratomo ataupun langsung Surya Paloh sebagai pemilik dan Ketua Umum Partai Nasionlal Demokrat (Nasdem).
Hanya saja seperti yang beredar di postingan sejumlah grup WA, disebutkan, sekalipun tidak disetujui, Nana tetap nekad mewawancarai Novel Baswedan.
Hasil wawancara Nana dengan Baswedan akhirya disiarkan juga oleh Metro TV
Penyidik KPK ini tengah dirawat di salah satu rumah sakit di Singapura. Dan konsekwensinya, karena tidak ada persetujuan manajemen, maka untuk menemui dan mewawancarai Baswedan di kota Singa, semua biaya liputan ke sana - termasuk kru yang membantu perekaman gambar dan suara, dikatakan, dibiayai sendiri oleh Nana.
Tanpa bermaksud menambah hingar bingar, yang pasti mundurnya Najwa dari Metro TV termasuk penghentian tayang acara “Mata Najwa” sesungguhnya merupakan kerugian besar buat Metro TV dan Najwa Shihab sendiri.
Kerugian besar sebab program “Mata Najwa” yang sudah tayang selama 7 tahun, merupakan salah satu ikon Metro TV. Dan untuk menciptakan ikon, bukan hal gampang.
Namun kerugian yang paling besar dan lebih bersifat psikologis – politis adalah Metro TV kemungkinan akan mendapat tudingan dari pemirsa tertentu yang sudah lama berusaha memboikoit Metro TV, bahwa televisi milik politisi Surya Paloh ini merupakann media sekuler. Media yang tidak akomodatif terhadap jurnalis muslim. Dan hal ini sudah cukup tercermin dari pemberitaan Tribune News (edisi Makassar?) tak lama setelah Najwa mengumumkan pengunduran dirinya. Bahwa ada faktor SARA yang melatar belakangi keputusan Najwa Shihab keluar dari Metro TV.
Soal SARA lainnya yang dihembuskan berupa status kepemilikan Metro TV.
Tahun lalu, ketika Don Bosco Selamun dari “Berita Satu TV”, milik konglomerasi LIPPO Grup, pindah ke Metro TV, dirumorkan bahwa Metro TV sebetulnya sudah dijual oleh Surya Paloh kepada keluarga Mochtar atau James Riyadi.
Yang menjadi dasar dari rumor itu, foto bersama antara Surya Paloh dan Keluarga Riyadi serta Don Bosco Selamun yang sedang berada di dalam sebuah ruang rapat.
Namun kabar ini langsung dibantah oleh Presiden LIPPO, Theo L.Sambuaga yang menyatakan, foto itu merupakan momen pelepasan Don Bosco Selamun oleh “Berita Satu TV” ke Metro TV.
“Apa LIPPO bisa menahan Don Bosco yang diminta SP?”, berkata Theo Sambuaga, politisi Golkar yang pernah menjadi Menteri di era Soeharto dan Habibie.
“Don Bosco itu kan jebolannya koran Prioritas, media milik Surya”, sambung Theo Sambuaga mempertegas, mengapa LIPPO atau “Berita Satu TV” tidak bisa menolak permintaan Surya Paloh.
Sekalipun isu sekuler dan SARA ini, bukan hal baru – sebab sudah muncul ketika menjelang Pilpres 2014, tetapi bukan tidak mungkin, isu ini akan kembali bergulir atau digulirkan. Dan bergulirnya kembali isu lama ini, tidak lepas dari perubahan dan persaingan politik Indonesia. Dimana Surya Paloh sebagai pemilik Metro TV, dianggap orang yang cukup dekat dengan kekuasaan, khususnya Presiden Joko Widodo.
Lewat pemberitaan Metro TV pula, Surya Paloh tanpa ragu menyuarakan semua dukungan penuhnya kepada pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Maka, menangkal isu sekuler dan SARA ini menjadi persoalan dan pekerjaan yang lebih besar dan berat, ketimbang menetralisir kabar yang menyebutkan kebijakan redaksional Metro TV yang tidak menyetujui usulan untuk mewawancarai Novel Baswedan.
Nana atau Najwa Shihab sendiri, merupakan putri Ulama Islam kenamaan, Quraish Shihab. Ayah Nana yang mantan Menteri Agama, juga salah seorang pengisi acara bertemakan Islami, di Metro TV.
Popularitas dan nama besar yang diraih Nana di Metro TV melalui masa kerja selama 17 tahun, boleh jadi merupakan alasan dan modal kuat baginya – mengapa dia berani melawan kebijakan pimpinan.
Tetapi bisa jadi juga, Nana melakukan perlawanan, karena merasa yang patut menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV adalah dia dan bukan Don Bosco Selamun.
Sebab sekalipun Don Bosco Selamun merupakan wartawan senior, tetapi kelemahannya, Don sudah pernah bekerja di Metro TV, tapi kemudian keluar dan kini masuk kembali. Dan posisi Nana sendiri, ketika Don masuk, sudah berada pada level Wakil Pemimpin Redaksi.
Artinya dari segi loyalitas terhadap Metro TV, Nana merasa lebih kuat dibanding dengan atasan barunya, Don Bosco Selamun.
Dengan masuknya kembali Don Bosco Selamun, situasi ini mengingatkan pergantian serupa dari Eman Saragih ke Putra Nababan.
Putra Nababan anak politisi PDIP Panda Nababan, sudah sempat keluar dari Metro TV dan bekerja di RCTI. Tapi menjelang Pilpres 2014, Putra Nababan direkrut Metro TV menggantikan Elman Saragih.
Elman, Don dan Putra, ketiganya jurnalis beragama Nasrani.
Walaupun Nana tidak pernah mengungkapkan keberatan ataupun kekecewaannya, namun saya menduga, masuknya kembali Putra Nababan dan langsung ke posisi Pemimpin Redaksi, seolah mengabaikan Nana yang sudah di posisi Wakil Pemimpin Redaksi.
Sebagai orang luar, telaan saya tentang hengkangnya Nana dari Metro TV, bisa jadi tidak sesuai dengan kenyataan dan apa yang sesungguhnya terjadi di perusahaan media tersebut.
Saya hanya bisa melihat dan membatin bahwa posisi Pemimpin Redaksi di media yang kuat dengan konten pemberitaan, nampaknya memang sedang menjadi pertaruhan. Posisi Pemimpin Redaksi di sebuah media, kembali menjadi jabatan strategis menjelang Pilpres 2019.
Di sisi lain, jurnalis-jurnalis kita, masih cukup banyak yang mengejar status ketimbang karya jurnalistik sendiri.
Menjadi Pemimpi Redaksi seakan segala-galanya. Hal ini makin tercermin dari dibentuknya apa yang disebut “Forum Pemred (Peimpin Redaksi)”.
Forum ini secara berkala mengggelar pertemuan dan terkadang menyuarakan pandangannya tentang situasi atau keadaan negara. Mirip-mirip LSM yang mencoba menjadi semacam kelompok penekan atau "presser group".
Suasana dan semangat profesional jurnalis kita, belum bisa disamakan seperti yang diterapkan oleh televisi berita CNN Internasional.
Kita tidak pernah tahu, siapa Pemimpin Redaksi CNN. Publik hanya tahu nama-nama wartawannya yang meng-global. Seperti Christiane Amanpour atau Anderson Cooper.
Amanpour, pernah keluar dari CNN, tapi kemudian dibeli kembali oleh CNN dari televisi pesaingnya. Tidak tanggung-tanggung dengan bandrol jutaan dolar.
Amanpour yang kemudian menikah denga Jubir Menlu AS Madeline Albright di era Presiden Clinton, James Rubin, sempat ditugaskan oleh Pemimpin Redaksi CNN ke Bosnia.
Tatkala bertugas di bekas pecahan negara Yugoslavia itu, perang saudara tengah memanas. Tapi untuk itu CNN membelikan panser anti-peluru, untuk dikendari jurnalis wanita itu – agar bisa aman masuk tengah medan pertempuran.
Selain itu Amanpour juga dikaver dengan asuransi jiwa bernilai jutaan dolar.
Kini status Amanpour masih tetap seperti 20 tahun lalu : senior international correspondent berkedudukan di London.
Mereka – Amanpour dan kawan-kawan mungkin justru alergi duduk di belakang meja, di dalam studio sebagai Pemimpin Redaksi. Karena yang mereka kejar, karya liputan yang berdimensi luas.
Cukup menarik mengikuti perjalanan Metro TV ke depan, termasuk karir baru Najwa Shihab, setelah tidak lagi bergabung dengan Metro TV.
Waktu akan membuktikan tentang Metro TV Tanpa “Mata Najwa” atau sebaliknya.
*) Derek Manangka adalah wartawan senior yang kini tinggal di Jakarta
Advertisement