Metode Hisab Mengingkari Sunah Nabi? Ini Penjelasan Ulama
Penggunaan metode rukyat untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal mempunyai landasan dalil yang kuat. Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim ini dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasallam (S.a.w.) bersabda, “shumu li ru’yatihi”.
Secara harfiah kata “li ru’yatihi” berarti terlihatnya hilal atau bulan baru.
Di lingkungan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan menggunakan metode hisab wujudul hilal. Beberapa kalangan menganggap, metode penentuan bulan yang digagas Muhammadiyah tersebut merupakan praktik inkaru al-sunah (mengingkari sunah), sebab redaksi hadis tentang awal puasa secara jelas Nabi Saw berpesan agar menggunakan rukyat.
Menanggapi hal tersebut Syamsul Anwar dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjawab: "Muhammadiyah dalam memahami dalil menggunakan metode asumsi integralistik (istiqra’ ma’nawi), yaitu mengumpulkan dalil-dalil baik yang berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian dikoroborasikan."
“Hadis itu harus dibaca secara bersama-sama dengan hadis lain bahkan ayat al-Quran,” tutur Syamsul dalam acara Sosialisasi dan Kunjungan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Syamsul menerangkan, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 Allah berfirman, “wa al-syamsi wa al-qamari bihusban”, artinya: Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan. Ayat ini menegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan oleh karenanya dapat dihitung dan diprediksi.
Hadis-hadis yang secara harfiah mengharuskan rukyat juga dalam memulai dan mengakhiri puasa Ramadan tidak berlaku permanen, karena mengandung illat. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, metode rukyat digunakan pada zaman Nabi Saw itu karena keadaan umat masih ummi, yaitu sebagian terbesar tidak mengenal baca tulis, dan tidak dapat melakukan hisab.
Selain menggunakan dalil bayani, argumentasi burhani menurut Syamsul juga penting. Secara astronomis, penggunaan rukyat menimbulkan masalah seperti rukyat tidak bisa mengkaver seluruh permukaan bumi pada waktu yang bersamaan serta jangkauan rukyat terbatas sehingga tidak dapat diberlakukan ke seluruh dunia. Bahkan, kata Syamsul, ada kawasan tertentu di muka bumi tidak dapat merukyat sama sekali karena tempatnya tidak normal.
“Sekarang umat Islam sudah ada di seluruh benua di dunia. Apabila kita masih tetap memegang rukyat, maka rukyat itu terbatas adanya. Karena itulah, inilah pentingnya memahami suatu dalil secara komprehensif,” tutur Syamsul.