Metode Deradikalisasi Baru, Ini yang Perlu Dipahami
Hegemoni maskulinitas dalam gerakan terorisme membuka cakrawala baru menjadi perhatian para peneliti. Begitu pun, menurut Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Zaki Arrobi, para peneliti perlu untuk melacak lebih jauh persoalan dari lingkup paling kecil, yaitu keluarga para teroris itu sendiri.
"Persoalan mendasar yang mereka hadapi di masa lalu, seperti gagalnya komunikasi dengan orang tua, relasi gender dalam keluarga, hingga konstruksi yang tidak setara penting untuk diperhatikan," tuturnya, dalam diskusi mengenai kombatan Indonesia di luar negeri di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, Jumat 5 Juli 2019.
“Itu yang kemudian mengagungkan atau mengglorifikasi penggunaan senjata, kekerasan dan nilai- nilai yang memberi situasi kondusif bagi kekerasan dan terorisme,” kata Zaki, seperti dikutip voaindonesia.com, tampil mendampingi Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, menyampaikan itu dalam diskusi mengenai kombatan Indonesia di luar negeri.
Karena itulah, Zaki juga setuju dibutuhkan perubahan dalam upaya deradikalisasi dengan menyentuh dimensi yang komprehensif dan holistik. Deradikalisasi tidak bisa sebatas persoalan ideologi, karena jika dilakukan di awal pendekatan, langkah ini justru bisa melahirkan serangan balik dari para kombatan.
“Pendekatan gaya penyuluhan, Pancasila, yang memposisikan seorang eks jihadis atau napi teroris sebagai seorang yang punya paham yang salah atau ideologi yang harus dikoreksi dengan doktrin negara, saya kira akan lebih banyak menemui kegagalan. Itu bisa dilakukan di akhir, setelah dibuat nyaman, disentuh emosinya, diperhatikan kebutuhannya.”
Zaki menambahkan, deradikalisasi tidak bisa dilakukan dengan metode cuci otak dengan hanya melawan ideologi. Pengalaman menunjukkan, pendekatan deradikalisasi lebih efektif bila sentuhan emosi dan kemanusiaan dalam kehdupan sehari-hari dilakukan. Dimensi pemikiran seorang kombatan atau mantan teroris, adalah bagian paling berat untuk disentuh. Butuh pendekatan persuasif dalam jangka panjang.
Pemerintah juga harus memahami setiap kombatan atau eks teroris sebagai pribadi yang berbeda-beda. Menurut Zaki, riwayat kehidupan, alasan dan motivasi utama kombatan bergabung dengan gerakan terorisme tentu berbeda. Karena itu, formula pendekatan tidak bisa dibuat seragam, satu untuk semua.
Sementara itu, Noor Huda banyak mengutip kisah hidup Abu Tholut, mantan napi terorisme, untuk menjawab pertanyaan, mengapa seseorang terlibat dalam gerakan radikal dan bahkan melakukan kekerasan.
Abu Tholut adalah anak seorang pejabat militer Indonesia dan sejak kecil akrab dengan senjata. Dia bercita-cita menjadi tentara, tetapi dilarang dan justru diminta untuk kuliah. Abu Tholut menjadi anak muda yang galau, menemukan komunitas di masa kuliahnya, dan digerakkan oleh Perang Afghanistan.
Abdullah Sungkar, salah satu tokoh teroris di Indonesia, yang membuka jalan baginya untuk ikut berperang di sana. Cita-cita Abu Tholut, menjadi lelaki keren memanggul senjata yang gagal di Indonesia, akhirnya terwujud di Afghanistan pada 1987.
Noor Huda mengutip kisah Yusuf yang berubah setelah menonton video pembantaian muslim di Bosnia. Yusuf akhirnya berangkat ke Filipina untuk mewujudkan bayangan dia mengenai perang demi agama. Ali Imron, pelaku bom Bali, diilhami oleh kakaknya sendiri yang menerima “beasiswa” untuk ke Afghanistan. Ada juga seorang kombatan yang sama sekali bertindak bukan karena ideologi agama, tetapi karena kesenangannya pada senjata.
Berangkat sebagai orang biasa, para kombatan ini terbentuk kepribadiannya selama peperangan. Noor Huda menyebut dalam periode ini terjadi tranformasi maskulinitas. Di dalamnya terdapat pelatihan militer, indoktrinasi, dan jaringan transnasional sebelum kemudian masuk ke pertempuran. Para kombatan biasanya mengalami kriris identitas di masa muda dan membutuhkan role model.
"Mereka juga merasa tidak memiliki keterikatan sosial dengan masyarakat sekitar. Selain itu, ada perasaan tidak aman bahwa mereka tidak akan bisa menjadi lelaki yang baik, sesuai gambaran idealnya," tuturnya.
"Persoalan mendasar yang mereka hadapi di masa lalu, seperti gagalnya komunikasi dengan orang tua, relasi gender dalam keluarga, hingga konstruksi yang tidak setara penting untuk diperhatikan," tuturnya.
Advertisement