Metamorfosis Muhammadiyah, Lalu Qunut pun Ditinggalkan
DALAM perjalanan satu abadnya, Muhammadiyah melalui beberapa masa yang khas, di mana di masa-masa itulah material benteng-benteng baru mulai dipasang, dan mulailah bermetamorfosis.
Metamorfosis ormas yang memiliki akar sejarah hingga Perang Dunia I ini setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i (1912-1925); Masa Pembauran Syafi’i-Wahabi (1925-1927); Masa HPT -- Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995); dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).
“Sepanjang pendiriannya tahun 1912 hingga tahun 1967 ketika Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terbit kali pertama, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin lama maki sedikit saja yang tersisa. Mazhab Syafi’i baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut pada tahun 1972 lewat muktamar Pekalongan.”
Demikian penjelasan Ali Shodiqin dalam bukunya Muhammadiyah itu Nahdlatul Ulama – Dokumen Fiqih yang Terlupakan. Berikut penjelasan selanjutnya:
Maka, pada 1972 itulah Muhammadiyah berubah lagi dengan perubahan yang besar. Muhammadiyah mengorbit di lintasan terjauh dari sang pendirinya, yaitu Kiai Dahlan. Hilanglah jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah masa itu. Dan banyak orang NU merasa telah kehilangan saudara tua. Mereka makin kesulitan mencari alim ulama di dalam Muhammadiyah.
“Pada era ketokohan KH Mas Mansur, ajaran Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih-nya (sampai sekarang), berbeda dengan ajaran KH Ahmad Dahlan,” kata Dr Imron Rosyadi, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya pada ngopibareng.id.
Kiai-kiai pemersatu umat seperti Kiai Mansur telah hilang. Jembatan-jembatan silaturahmi makin langka, sedang para ”Pandora” ada di mana-mana.
Sebaliknya, muncullah panorama muram tentang rumah-rumah bambu yang becek tanpa listrik yang saat maghrib sama mendendangkan puji-pujian bid’ah dan saat subuh menengadahkan tangan untuk berqunut. Mereka anaknya banyak dan hanya dikasih makan tanpa lauk. Sementara kekayaan Indonesia terus mengalir ke negeri ”Zeus”.
Pembangunan hanya menguntungkan orang-orang Golkar. Sedangkan panorama desa IDT dinikmati warganya dengan terus berdoa qunut. Tragis. Sebuah keindahan sufistik yang paradoksal di tengah menumpuknya utang luar negeri untuk pembangunan. Dan Muhammadiyah seolah membiarkan panorama itu kendati mereka berkesempatan mengisi pemerintahan.
Dengan penghapusan qunut itu, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan itu dipandang sebagai prestasi, sebab berhasil meruntuhkan kemapanan tradisi yang telah berusia ribuan tahun. Slogan kembali kepada Al-Quran dan hadits membahana menerjang tradisi yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat.
Padahal Al-Quran dan kitab-kitab hadits yang dirujuk adalah juga barang baru yang di masa Nabi hal itu tidak diketemukan. Pembukuan Al-Qur’an dan hadis adalah ijtihad sahabat dan ulama.
Belakangan, setelah Tembok Berlin di Jerman runtuh pada 1989 dan Uni Soviet juga runtuh tahun 1991 maka ”Pandora” makin berjaya. Muhammadiyah pun bermetamorfosis lagi. Ormas-ormas baru Islam bermunculan laksana jamur di musim hujan ketika reformasi mewabah. Mereka adalah anak cucu buah cinta ”Pandora” dengan ”Ephimetheus”, yang bahkan kawin mawin dengan anak cucu ”Promotheus” juga. Dan generasi muda itu bukan hanya membangun ”Tembok Berlin” baru yang lebih banyak dan panjang, melainkan berani mencuri ”Kotak Pandora” milik sang ibu, lalu membukanya hingga bertaburanlah angkara, ... korupsi. Melebihi korupsi orang tuanya. Menjadilah ulat yang rakus segalanya. Ulat yang lupa takdir metamorfosisnya menjadi kupu penyerbuk sari.
Mereka pukuli genta reformasi sambil memegang sebuah benda kecil dari ”Kotak Pandora” itu, namanya harapan.
Akan tetapi, yang muncul dari harapan itu adalah angka nol sangat besar yang turun dari langit secara perlahan menembus asap beracun di seantero kota yang kemuramannya mirip siluet Gotham City dalam film Batman. Malam pun jatuh dengan mimpi buruk. Demokrasi menjadi nasi basi. Parlemen menjadi kasino. Sekolah menjadi latar film mesum. Pasar kecamatan menjadi etalase inflasi. Indonesia hanya dapat angka nol.
Dan, selama satu abad metamorfosis itu, ”Zeus” dan dewi-dewi kulit putihnya tersenyum simpul melihat keberhasilan ”Pandora”. (adi)