Metaformosis Stigma Teroris, dari Baju Gamis ke Rambut Klimis
Sosok teroris selama ini hampir selalu digambarkan dengan sosok yang tertutup dan asosial dengan dengan tetangga. Benarkah?
Meski sudah hampir tiga pekan lebih, para tetangga masih belum bisa menghilangkan rasa kaget mereka. Tetangga yang mereka kenal, Dita Oepriarto, ternyata bisa menjadi pelaku teror. Tak hanya pelaku teror, Dita juga bahkan menjadi Ketua Jamaah Ansharut Daulah untuk wilayah Surabaya.
Adalah Werry Tri Kusuma, tetangga samping kiri persis rumah Dita. Selama bertahun-tahun mengenal Dita, tak sedikit pun terbayang jika Dita terlibat dalam jaringan teroris. Dita di mata Werry adalah seorang pria yang sopan dengan empat orang anak. Dua laki-laki dan dua lagi perempuan. Penampilannya pun tak menampakan stigma yang biasa melekat di teroris, pakai gamis, celana cingkrang, berjenggot, kulit menghitam di jidat dan tak mau bergaul dengan tetangga.
“Penampilan Dita biasa saja. Seperti kebanyakan orang. Dia juga tak menggunakan gamis atau bercelana cingkrang,” kata Werry saat ditemui di depan rumahnya.
Kata dia, Dita adalah sosok yang sangat taat beribadah. Kalau pas lagi di rumah, dia selalu menyempatkan sholat wajib di mushala. Mushala ini terletak di gang belakang rumahnya. Namanya mushola Al-Ikhlas. Mushola ini sebenarnya lebih dominan digunakan oleh warga nahdliyin. Ini dibuktikan dengan doa istighfar setelah sholat yang dikumandangkan dengan jahar (keras).
“Biasanya Pak Dita berangkat dengan dua orang anak laki-lakinya. Yang pasti dia tak pernah pakai peci. Cuma rambut yang klimis diminyaki, disisir lurus ke belakang. Pakaiannya pun biasa. Seperti orang kebanyakan,” kata Werry.
Setiap lebaran pun, Dita juga ikut merayakan tradisi bersalaman-salaman dengan para tetangga. Sebagai orang yang sudah lama tinggal di kompleks perumahan ini, Dita tak segan untuk bertandang ke rumah warga untuk sekedar meminta maaf.
Setahu Werry, Dita adalah pebisnis. Dia sudah lama dikenal sebagai penjual berbagai macam minyak-minyak atsiri, seperti minyak kemiri, habatussaudah dan jenis minyak lainnya. Konsumennya pun beragam. Tak melulu muslim.
Makanya tak heran, jika Dita secara kehidupan finansial, dianggap mapan. Bisa beli rumah di kompleks Wonorejo Asri ini pun juga sudah termasuk kaya. Rumah Dita kini ditaksir sudah sekitar 1,5 Miliar.
Penampakan kondisi ekonomi Dita yang mapan, juga ditunjang dengan keluarga mertuanya, alias orangtua Puji Kuswati, istri Dita. Hampir setiap bulan sekali, orangtua Puji Kuswati selalu bertandang ke rumah Dita. Tunggangannya Toyota Alphard Vellfire terbaru. Mertua Dita memang dikenal sebagai pengusaha jamu tradisional di Banyuwangi sana.
Anak-anak Dita pun bersekolah di tempat yang terbaik. Dan yang pasti mahal. Sekolah dengan dengan embel-embel kreatif. Keluarga Werry sempat keder saat Dita merekomendasikan agar sekolah anak Werry satu sekolah dengan anak Dita.
“Dia tak mau menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Dia lebih memilih di sekolah kreatif. Saya coba tanya uang pangkalnya. Ternyata mahal sekali. Rp 18 juta,” kata Werry.
Makanya Werry jadi heran jika ada polisi yang bilang, jika anak-anak teroris pengebom tiga gereja di Surabaya tak ada yang sekolah formal. Melainkan hanya home scholling.
“Setahu saya, semua anak Dita bersekolah. Malah sekolah yang terbaik. Sesekali teman-teman anaknya juga bertandang,” kata Werry.
Selain teman anaknya, Dita terkadang juga menerima tamu. Saat menerima tamu, biasanya pintu pagar dan pintu rumah tetap terbuka. Tak ada yang ditutupi. Tak ada pertemuan rutin mingguan seperti yang dikatakan polisi.
Dita dengan Werry sebenarnya sudah bertetangga lumayan lama. Dita mulai menempati rumah di perumahan Wonorejo Asri ini sekitar 2010. Sedangkan Werry sudah sejak tahun 2000. Sejak saat itu mereka bertetangga seperti biasa.
Puji Kuswati istri dari Dita juga berteman akrab dengan Misna istri dari Werry. Bisa dipastikan selama bertetangga, setiap tiga hari sekali Puji selalu membagikan masakan rumahan Dita. Tak perlu ada momen khusus seperti arisan atau hajatan untuk sekedar berbagi masakan.
“Bu Dita senang kirim-kirim makanan. Tiga hari sekali pasti. Karena kita belanja bareng di depan rumah,” kata Misna.
Kata Misna, terakhir kali dia bertemu dengan Puji, Sabtu pagi sehari sebelum kejadian. Mereka berdua berbelanja di depan rumah. Tak ada yang aneh. Mereka berbelanja di abang-abang tukang belanja keliling pakai sepeda motor.
“Abang tukang belanja kalau sudah di depan rumah teriak-teriak, “Umi, Mama... belanjaaa”. Abang tukang belanja memang biasa panggil saya Mama. Kalau panggil Bu Dita, Umi,” Kata Misna.
Saat berbelanja pun Puji hanya mengenakan jilbab biasa. Tak bercadar. Apalagi harus ditemani suami karena tukang belanjanya pria. Tak ada. Mereka berbelanja seperti yang dilakukan ibu ibu pada umumnya.
Sesekali Misna menawarkan barang dagangannya. Yaitu ayam panggang. Dengan sopan Puji menolak tawaran beli ayam panggang buatan Misna. “Menolak, karena mereka memang tak makan ayam. Tapi kalau ikan, mereka mau,” kata Misna.
Secara umum, tak ada gelagat yang aneh yang ditunjukkan oleh keluarga ini sebagai keluarga teroris. Namun ada kejadian unik pada sholat subuh pada hari Minggu hanya beberapa jam sebelum kejadian. Usai jalankan sholat subuh, Dita dengan mata yang berkaca-kaca memeluk semua jamaah sholat subuh yang hadir dalam sholat itu. Tak ada kata yang terucap. Hanya pelukan.
“Ini agak aneh juga, karena tak biasanya Pak Dita melakukan hal seperti ini. Namun warga tak ada yang curiga,” kata Punjung Susilo tetangga Dita yang lain.
Kabar mengejutkan pun akhirnya mereka terima. Sekitar pukul 10.00 WIB segerombolan polisi dengan pakaian bebas mendatangi rumah Dita. Mereka juga mengabarkan kepada para tetangga soal keluarga Dita yang menjadi pelaku bom bunuh diri. (bersambung)