Mestinya Mereka juga Budayawan
Malam itu (yang bener tadi malam, Jumat Wage malam Sabtu Kliwon, 15 Desember 2017, red) para seniman surabaya jejer-jejer berkumpul di Balai Pemuda Surabaya, di Jalan Gubernur Suryo.
Diterangi lampu sekadarnya, digelung gelap malam yang begitu membahana, mereka menenteng cat dan kuas. Dengan diam dan doa, mereka "mengecat" Balai Pemuda yang sudah terpatri dalam-dalam dengan cinta.
Ini perjuangan. Mereka sedang berjuang. Cagar budaya tidak bisa digusur seenaknya. Seniman yang beraktivitas di kompleks cagar budaya itu tidak bisa dibunuh sak karepe dewe. Apalagi Masjid, satu-satunya masjid yang biasa dan bisa dimanfaatkan umat dalam radius pusat kota yang juga berada di kompleks itu ya tidak sak enak udelnya dibongkar atas nama program dan serapan anggaran.
Ada beberapa elemen seniman di malam Sabtu Kliwon itu. Motornya Sanggar Merah Putih. Lantas, urunan pengadaan cat. Lalu, bantingan membeli kuas. Konsumsinya bawa dewe-dewe. Bawa dari rumah masing-masing, namun dimakan kendum bersama usai aksi ngecat bersama itu.
Sayang dan eman tidak ada kopi malam itu. Padahal, bila ada kopi, mereka yang sedang aksi membawa cat dan kuas, tentu akan lebih membahana semangatnya. Lebih terukur gerakan menyapukan kuasnya pada obyek yang hendak dicat. Asupan kafein dari kopi juga akan mampu membuat sinergi maksimal dengan imajinasi perjuangan #savebalaipemuda sampai akhir.
Kemana tukang kopinya sih? Aksi begini penting malah minggat. Masak kulakan kopinya sampai Porong? Jangan lupa ya; tukang kopi, para penikmat kopi, para peminum kopi, pekebun kopi, petani kopi, makelar kopi, pegiat kopi, wis pokoke semua stakeholder kopi itu adalah budayawan.
Budayawan? Bagaimana bisa disebut budayawan? Mana bisa? Di negeri ini, di Endonesa ini, aktivitas ngopi yang begitu masifnya di semua lapisan masyarakat memunculkan istilah budaya ngopi. Istilah ini kemudian ditahbiskan secara sadar di banyak arena.
Mulai dari arena diskusi-diskusi, sarasehan, seminar, hingga penelitian-penelitian sosial. Dimeriahkan lagi oleh pemberitaan media massa, mulai cetak, elektronik hingga yang non-mainstream. Jadilah fenomena ngopi, karena dimana-mana ada aktivitas itu, menjadi masif pula dengan sebutan budaya ngopi.
Sebagai konsekuensi logis dari penyebutan budaya ngopi itu maka dalam rumus dan hukum perbahasaan (dalam hal ini Bahasa Indonesia, red) semua yang terkait dengan budaya ngopi pelakunya disebut budayawan. Akhiran (wan) jelas menunjuk pada pelaku. Wan adalah orang.
#savebalaipemuda tampaknya masih akan bergulir panjang dan lama. Karena diam-diam pembangunan proyek siluman Pemerintah Kota dan Dewan Kota yang sudah pasti bakal menggusur elemen budaya dan seniman terus berjalan. Bahkan dengan mulusnya.
Stamina dan energi pasti diperlukan. Tak elok rasanya tukang kopinya minggat terus dari arena aksi. Padahal kopi mampu dan bisa menjadi bagian dari energi perjuangan. Jangan lupa juga, stakeholders kopi adalah budayawan. Jadi wajib rasanya ikut nyemplung berkubang cat, kuas, dan malam.