Meski Sangar, Walau Menakutkan, Banteng itu Butuh Dikawal
Secara tidak kasat mata banteng memang dipuja. Namun diluar itu banteng ibarat buah simalakama. Maju atau mundur seperti sama saja. Lalu bagaimana agar tidak menjadi sama saja?
Banteng di kawasan perkebunan dan hutan produksi terus dimonitoring. Rutin, dan dianalisa setiap waktu. Termasuk di dalamnya Balai Besar KSDA masif melakukan koordinasi dan patroli pengamanan habitat dengan para pemangku kawasan.
Sebab itu, untuk menghadang laju penurunan populasi mereka, perlu adanya usaha-usaha yang signifikan dan terukur agar jumlah populasi banteng di luar kawasan konservasi tetap terjaga. Usaha ini jelas menempatkan strategi pengelolaan sebagai panglimanya.
Strategi pengelolaan itu sebenarnya sudah disebut dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.58/Menhut-II/2011. Bahwa, konservasi banteng tahun 2010-2020 terdapat program prioritas sebagai perencanaan aksi. Diantaranya; pengelolaan aksi, pengelolaan habitat, sistem pengelolaan data, peningkatan profesionalitas aparat, peningkatan kerjasama antarpihak, peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng yang memungkinkan menjadi program ekowisata berkelanjutan.
Strategi pengelolaan ini sudah dijalankan Balai Besar KSDA Jawa Timur. Meliputi pemantauan populasi, patroli pengamanan dan koordinasi dengan para pemangku kawasan perkebunan dan hutan lindung serta pengelolaan data populasi.
Namun, tren populasi banteng yang terus menurun perlu dilakukan strategi lain utuk menunjang peningkatan populasi. Diantaranya; sosialisasi kepada masyarakat dan banyak pihak, para pemangku kawasan perlunya menetapkan High Conservation Value Forest (HCVF) untuk kawasan yang memiliki fungsi penting dalam proses perkembangan populasi banteng.
Meskipun Perum Perhutani dan juga perkebunan dibebani tugas utama untuk produksi komoditas kehutanan, namun bukan berarti aspek konservasi sumber daya alam hayati boleh diabaikan.
Apalagi, tren yang ada, pengelolaan hutan terkait erat dengan sertifikasi Sustainable Forest Management (SFM). Belum lagi sistem pengelolaan hutan lestari FSC (Forest Stewardship Council) menganut prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh perusahaan hutan agar memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari.
Salah satu prinsipnya adalah prinsip ke sembilan yaitu pemeliharaan HCVF. Kesepakatan untuk menetapkan suatu kawasan menjadi HCVF memerlukan kesepakatan dengan para pemangku kepentingan.
Menurut Balai Besar KSDA Jawa Timur, andainya, tren populasi banteng tetap mengalami penurunan, maka usaha terakhir yang dapat dilakukan adalah merelokasi banteng ke habitat lainnya. Misalkan; di kawasan konservasi lain yang menjadi habitat banteng yaitu di Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri.
Kalau di kawasan insitunya tidak memungkinkan maka relokasi banteng dapat dilakukan ke kawasan eksitu yaitu di lembaga konservasi yang ada di Provinsi Jawa Timur ataupun provinsi lainnya.
Namun, harus dicatat, relokasi banteng adalah solusi terakhir yang dapat dilakukan untuk melestarikan spesies banteng yang tersisa di Pulau Jawa. (*)