Meski Cabut Laporan, Karakter Risma Berubah Jadi Anti Kritik
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini secara resmi sudah mencabut laporan kasus penghinaan netizen atas dirinya ke Polrestabes Kota Surabaya, pada Sabtu 8 Februari 2020. Meski begitu, menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Satria Unggul, karakter Risma yang sebelumnya merakyat dan nrimo, berubah menjadi anti kritik.
“Pencemaran nama baik memang berada dibawah pengaturan UU ITE, ada di Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1). Kalau melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, memang pencemaran nama baik masuk delik aduan,” kata Satria kepada ngopibareng.id, Selasa 11 Februari 2020.
Ketika Risma dihinia melalui media sosial, lanjut Satria, tak seharusnya dia berlindung dibalik UU ITE, agar si pelaku ditangkap dan diproses secara hukum. Alasannya, Risma adalah pejabat publik, yang mau tak mau, kinerjanya dan kehidupan pribadinya akan menjadi konsumsi publik. Tak seharusnya dia menyuruh stafnya mendaftarkan aduan ke pihak kepolisian.
“Dasar hukumnya ada di kontruksi hukum delik aduan pasca dicabut apakah tidak diproses kembali atau tidak itu di Pasal 75 KUHP. Asal waktu sebelum tiga bulan saat pelaporan, delik aduan dapat dicabut oleh pelapor. Itu kan yang dilakukan oleh Risma. Belum tiga bulan pelaporan,” sambung dia.
Satria mengatakan, meskipun upaya pencabutan delik aduan bisa dilakukan oleh Risma dan juga merupakan hak miliknya. Namun hal tersebut semakin membuat publik, khususnya warga Surabaya ketakutan untuk mengkritik pejabat negara. Padahal, kritik, hingga hinaan adalah dampak jika menjadi pejabat publik.
Apabila Pemkot Surabaya menginginkan tidak akan terjadi hal serupa di kemudian hari, Satria menyarankan, Pemkot Surabaya membuat budaya keterbukaan informasi dan keterbukaan dialog antara masyarakat dengan Risma maupun pejabat lainnya. Sehingga masyarakat bisa menyampaikan uneg-uneg di depan pejabat tersebut secara langsung.
“Dialog publik wajib dilakukan oleh Pemkot Surabaya agar tidak terjadi pro-kontra masalah serupa dikemudian hari. Jujur saja kita lihat, masyarakat itu lebih suka melempar kritik di medsos (media sosial) ketimbang melaporkan kritik mereka ke 121 atau call centre Surabaya. Karena di medsos dampaknya lebih luas,” terang Satria.