Mesir, Rekonsiliasi Tinggalkan Ikhwanul Muslimin
Perkembangan dunia, tak lepas dari stabilitas di Timur Tengah. Di antara negara yang penuh dinamis adalah Mesir dengan segala dinamikanya. Bagi Indonesia, Mesir adalah pusat peradaban yang penting di dunia, yang sejak zaman sebelum Indonesia Merdeka, menjadi tujuan untuk menuntut ilmu, khususnya bagi kaum santri. Mereka belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo. Sekembali mereka dari Mesir, di Indonesia mereka tumbuh menjadi tokoh-tokoh perubahan di masyarakat, yang bergerak di dunia pendidikan, politik dan kebudayaan secara luas.
Ikhwanul Muslimin bagi sementara aktor politik dan partai polilitik tertentu di Indonesia, menjadi kiblat dan orientasi pergerakannya. Bagaimana kondisi Mesir saat ini? Bagaimana pula keterlibatan Ikhwanul Muslimun dalam perputaran politik di negeri itu? Ini catatan tentang Mesir.
Presiden Mesir Abdel Fatah al Sisi menawarkan rekonsiliasi nasional kepada oposisi, dengan iming-iming pembebasan tahanan politik. Meski demikian, undangan serupa tidak berlaku buat Ikhwanul Muslimin.
Sembilan tahun setelah menjatuhkan pemerintahan sipil di Kairo, Jendral Abdel Fattah al-Sisi melancarkan dialog politik demi rekonsiliasi. Dalam pertemuan yang diatur ketat itu, hampir semua kelompok oposisi diundang, kecuali Ikhwanul Muslimin.
Pertemuan yang dicanangkan pada April 2022, digelar dalam beberapa pekan ke depan. Sejak mengkudeta Presiden Mohamed Mursi pada 2013, al-Sisi menanggalkan seragam militer dan menjelma menjadi pemimpin sipil.
Kini dia membidik konsensus damai tanpa Ikhwanul Muslimin. Sebagai langkah pertama, Presiden al-Sisi membentuk komite amnesti untuk mengkaji ulang status ribuan tapol yang dibui di tahun-tahun pertama kekuasaannya.
Pembebasan tapol dinilai sebagai ujian pertama bagi rekonsiliasi Nasional. Ia membuka peluang meluruskan apa yang oleh oposisi disebut sebagai represi politik paling brutal di Mesir sejak beberapa dekade terakhir.
Namun Sektretaris Jendral Ikhwanul Muslimin, Ibrahim Munir, mengatakan dialog tidak akan ampuh jika mengucilkan sebagian kelompok. Dalam wawancaranya dengan Reuters, dia menyebut niat damai al-Sisi tidak serius. Dialog memang benar-benar dibutuhkan, tapi ia harus melibatkan semua pihak.
Pemerintah Mesir sendiri mengaku tidak bisa mengundang Ikhwanul Muslimin karena punya jejak rekam "yang bersimbah darah.”
Ikhwanul Muslimin di Ufuk Senja
Gerakan yang dulu disegani itu memenangkan pemilu pertama di Mesir pasca kejatuhan diktatur Hosni Mubarrak, pada 2012. Namun pemerintahan Musri dikudeta militer satu tahun kemudian. Al-sisi memanfaatkan gelombang protes massal yang menolak kebijakan kontroversial Ikhwanul Muslimin (IM).
Sejak itu, ribuan tokoh dan simpatisan IM dibui atau terpaksa bersembunyi di pengasingan. Kepada Reuters, Sekjen IM Ibrahim Munir mengaku organisasinya kini tidak lagi berambisi merebut kekuasaan. IM sama sekali menolak kekerasan karena meyakininya bukan bagian dari ideologi Ikhwanul Muslimin – tidak hanya menggunakan kekerasan atau senjata, tapi upaya merebut kekuasaan di Mesir dalam berbagai bentuk.
Munir yang kini berusia 85 tahun sudah dua kali mendekam di penjara Mesir, yakni pada dekade 1950-an dan 1960-an. Tokoh yang sejak 40 tahun terakhir hidup di pengasingan itu sudah menyintasi masa-masa sulit bersama organisasi yang didirikan Hassan al-Banna itu.
Kendati demikian, dia mengaku represi di bawah al-Sisi merupakan ujian terberat bagi IM sejak pendiriannya lebih dari 90 tahun lalu. "Saat ini situasinya jauh lebih sulit ketimbang masa lalu,” ujarnya, yang memperkirakan sekitar 6.000 anggota Ikhwanul Muslimin masih berada di penjara.
Rekonsiliasi Setengah Hati?
Pemerintah Mesir menampilkan dialog di Kairo sebagai fase baru kekuasaan al-Sisi. Ia dicanangkan ketika dunia Arab mulai kewalahan menghadapi dampak ekonomi perang di Ukraina. Belum lama ini, Kairo memublikasikan strategi penegakan HAM, yang banyak ditafsirkan sebagai upaya melobi dunia Barat.
Bagi oposisi Mesir, tawaran dialog oleh al-Sisi setidaknya berpotensi menciptakan "budaya baru keterbukaan,” kata Amr Hamzawy, bekas anggota parlemen yang kini pensiun dari politik. Dia menyambut adanya "gagasan bahwa kita bisa duduk bersama dan bersilang pendapat tanpa ada yang dituduh penghianat, atau dipertanyakan patriotisme dan motifnya...”
Optimisme tertahan Hamzawy bukan tak beralasan. Baru-baru ini, Komisi Hak dan Kebebasan Mesir melaporkan laju pembebasan tapol antara April dan Juni tidak berbeda dengan dua tahun terakhir. Pemerintah juga tercatat masih membui musuh politik dengan jumlah yang hampir sama seperti gelombang pembebasan yang dicanangkan al-Sisi. "Satu-satunya keuntungan,” dari dialog rekonsiliasi di Mesir "adalah bahwa pemerintah akhirnya mengakui bahwa masalah tahanan politik harus ditanggulangi,” kata Mohamed Lotfy, Direktur Komisi Hak dan Kebebasan
Rekonstruksi Gaza
Terkait Mesir, ada catatan menarik saat mengucurkan USD 500 juta untuk pembangunan kembali Jalur Gaza. Hal itu dimaksudkan sebagai bagian mediasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Pengamat menilai langkah Kairo menyimpan ambisi politik Presiden Abdel Fattah al Sisi.
Presiden Abdel Fattah al Sisi menjanjikan kucuran dana hibah untuk membangun kembali Gaza pasca serangan balasan Israel selama 11 hari yang ikut meluluhlantakkan sejumlah infrastruktur inti.
Sisi banyak dipuji setelah berhasil menegosiasikan gencatan senjata antara Hamas dan Israel 21 Mei silam. Pujian antara lain datang dari Presiden AS, Joe Biden.
Paket bantuan itu hadir dalam proyek-proyek konstruksi yang nantinya akan dikerjakan perusahaan Mesir. Cara serupa selama ini sukses diterapkan di dalam negeri, seperti pembangunan ibu kota baru atau jalan tol.
"Tidak diragukan, Sisi menganggap bantuan rekonstruksi sebagai sebuah investasi demi pengaruh politik, baik di Gaza atau di dunia internasional,” kata Sarah Smierciak, pakar politik dan ekonomi Timur Tengah, kepada AFP.
Mesir yang menutup erat pintu perbatasan Rafah, satu-satunya akses internasional Jalur Gaza yang tidak dikontrol Israel, bersikap tak lazim saat membuka perbatasan untuk korban luka yang butuh perawatan.
"Bantuan ini akan menambah bobot Mesir di kalangan tokoh Palestina,” kata Mustapha Kamel al-Sayyid, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Kairo. "Rekonstruksi ini sudah pasti menjadi bagian dari upaya Mesir menambah pengaruhnya di kawasan.”
Palestina sebagai tunggangan politik
Perubahan sikap di Kairo terkait isu Gaza muncul di tengah normalisasi hubungan diplomasi dengan rival politik lain, yakni Turki dan Qatar. Kedua negara sempat menjarak dari lingkar politik Arab Saudi, namun belakangan kembali merajut relasi politik sejak beberapa bulan terakhir.
Selama ini Mesir menganggap Hamas sebagai sekutu Ikhwanul Muslimin. Gerakan pan-Islamisme itu menjadi momok bagi militer Mesir usai kemenangan pemilu pada 2012, yang memicu aksi kudeta.
Baru ketika Hamas mencabut dukungan bagi IM pada 2017, Kairo "mengubah sikapnya,” terhadap penguasa Gaza, kata Sayyid. Sejak itu Sisi giat memediasi perpecahan internal Palestina antara Hamas dan Fatah.
"Bantuan rekonstruksi menempatkan Mesir sebagai mitra yang bisa dipercaya bagi Hamas. Tidak lama lagi kita akan menyaksikan Hamas membantu Mesir mengamankan perbatasan Rafah,” imbuhnya merujuk pada tuduhan Kairo terkait penyelundupan senjata oleh Hamas.
Namun Smiercak mengatakan Mesir bisa saja menggunakan kucuran bantuan untuk memarjinalkan Hamas, yang bagaimanapun juga masih "dilihat sebagai ancaman,” terhadap keamanan nasional.
Duit bantuan untuk siapa? Belum lama ini, Mesir mengirimkan konvoi bantuan ke Gaza, termasuk alat berat dan truk "untuk pembersihan sebelum rekonstruksi,” tulis Kemenlu di Kairo. Sejauh ini belum jelas perusahaan mana yang akan mengerjakan proyek tersebut, "tapi perusahaan militer sudah pasti akan memainkan peranan besar,” kata Smierciak lagi.
Dalam beberapa hari ke depan, Mesir menggelar forum rekonstruksi Gaza yang akan mengundang pihak swasta dan pemerintah. Meski begitu, Muhammad Samy, Kepala Federasi Konstruksi dan Kontraktor Bangunan Mesir, mengatakan "pekerjaan tidak bisa dimulai sebelum situasi keamanan kembali kondunsif,” ujarnya.
"Gaza punya angkatan kerja yang besar, jadi saya tidak yakin mereka akan berdiam diri dan membiarkan orang asing mengerjakan pekerjaan mereka,” imbuh Samy.
Tapi bagi sebagian warga Mesir yang terbebani pemotongan anggaran sosial, kucuran bantuan bagi Gaza ditanggapi skeptis. "Sebaiknya kita tidak menghibahkan terlalu banyak bantuan,” tulis seorang pengguna Twitter asal Mesir, "kita lebih membutuhkannya mengingat sumber daya yang terbatas dan tingginya angka populasi.”