Merinding setelah Dengar Cerita Mistisnya Puncak Bukit Menoreh
Ketidaktahuan memang membuat orang tidak takut. Itu yang terjadi saat saya sekeluarga, tanpa direncanakan sebelumnya, menyusuri puncak bukit Menoreh di petang hari dalam perjalanan liburan dari Kulonprogo-Yogyakarta ke Purwokerto.
Semua kawan yang semula bersama-sama wisata kuliner sampai di puncak Suroloyo juga tak mencemaskan. Hal itu karena orang seperti raja monolog Butet Kertarejasa yang mengajak ngopi di bukit tertinggi wilayah Yogya itu ternyata belum pernah tahu medan jalan yang hendak saya lewati.
Karena itu, saat berpisah pun, tidak ada pesan khusus bagaimana menghadapi medan perjalanan selanjutnya. Seakan biasa saja. Mereka kembali turun ke Yogyakarta. Saya meneruskan perjalanan dengan menyusuri puncak perbukitan di perbatasan DIY dan Jawa Tengah dengan tanpa beban.
Rasa cemas justru mulai terasa 10 menit setelah berpisah dengan rombongan mereka. Itu terjadi ketika sinyal handphone mulai hilang dan jalanan terus menanjak tanpa terlihat seorang pun lewat. Juga saat tahu tak ada cara untuk kembali turun karena jalanan hanya cukup semobil dan tak ada ruang untuk berbalik arah.
''Kalau saya ada, pasti akan berpendapat,'' kata Hattakawa, offroader, pecinta alam dan penjelajah spot foto yang handal asal Yogyakarta. Hatta ini juga kawan karib saya yang selalu berkumpul bersama setiap sama-sama ada di Yogya.
Entah mengapa saat itu tak terpikirkan untuk menghubunginya. Minimal menanyakan kondisi medan perjalanan yang akan saya lalui. Sebab, diantara kawan-kawan yang terbiasa berpetualang wisata kuliner, dialah yang paling tahu berbagai medan dan wilayah yang tidak mainstream.
Saya juga tidak tahu sebelumnya jika jalan menuju Purworejo dari puncak Suroloyo ini sangat ekstrem. Apalagi perjalanan itu dilakukan di petang hari menjelang maghrib. Perjalanan diantara tebing dan jurang yang curam sambil menanjak tajam dengan diselimuti kabut.
Saya sempat dilanda cemas saat tidak tahu sampai seberapa jauh kondisi jalan seperti itu akan dilalui. Apalagi, saya sedang tidak menggunakan mobil yang cocok untuk medan berat. Tapi menggunakan kendaraan keluarga berbadan besar.
Perasaan was-was tambah besar saat beberapa lama tak bersua orang lewat satu pun. Tak ada panduan yang bisa digunakan kecuali siluet sinar matahari yang makin lama-makin hilang. Setelah siluet itu lenyap, tinggal insting yang bisa digunakan.
Sambil menyetir, dalam hati saya terus mengucapkan shalawat. Lirih sekali agar tak terdengar istri dan anak-anak saya yang sedang dalam mobil. Biar mereka tidak ikut panik dan cemas seperti yang mulai saya rasakan saat itu.
Mereka semula juga melalui perjalanan tidak mainstream dengan biasa. Apalagi, selama ini, kami memang suka melakukan liburan dengan bermobil bersama. Itu terlihat dari masih diputarnya lagu-lagu Pink Floyd yang magis dalam perjalanan yang makin sepi.
Baru setelah beberapa lama, mereka mulai sadar kalau suasananya makin menegangkan. Terbukti, salah satu dari mereka meminta mengganti musik yang diputarnya dengan yang lebih ceria. Rupanya, mereka mulai merasakan suasana mistis di puncak gunung dan jalanan menanjak yang di sekitarnya hanya terlihat belantara hutan yang hijau.
Menurut Hatta, jalur yang saya lewati itu memang dikenal jalur yang tidak disarankan untuk perjalanan keluarga. ''Seharusnya dari Suroloyo turun dulu baru menuju Purworejo,'' tuturnya setelah membaca tulisan saya di Ngopibareng (ngopibareng.id) Senin (26/12/2017).
Ia pun menceritakan kalau pernah melewati jalur tersebut di sore hari bersama tiga orang temannya. Saat itu, ia menggunakan mobil yang bisa dipakai offroad. Nah, saat di puncak dekat Bukit Widosari, ia sempat keliru arah menuju ke Borobudur.
Saat itu, lanjut Hatta, dari depan terlihat seorang ibu tua sedang menggendong anak berjalan sendirian. Mereka lantas berhenti dan menanyakan jalan menuju Purworejo. Si ibu menunjukkan arah sebaliknya. ''Mestinya, sampeyan tadi ke kiri, bukan ke kanan,'' ujar Hatta menirukan petunjuk ibu tersebut.
Si Ibu tersebut menyuruh memutar mobilnya di tempat mereka bertanya, Padahal, jalanan itu sempit. Samping kanan tebing, samping kirinya jurang yang dalam. Namun, masih ada space sedikit untuk memutar mobil offroadnya yang kecil.
''Nah, setelah berhasil memutar arah mobil, saya berniat untuk mengucapkan terima kasih kepada ibu yang barusan ditanya. Namun, begitu ditoleh, ternyata si ibu yang menggendong anak itu sudah tidak ada,'' katanya sambil mengatakan sampai kini masih selalu merinding setiap ingat peristiwa tersebut.
Hatta bilang jalur yang saya lewati itu memang dikenal tidak berpenghuni manusia. Siang hari pun sangat jarang orang lewat. Apalagi di sore hari. Kawasan tersebut juga selama ini dikenal sebagai kawasan mistis. Banyak cerita yang tak masuk akal muncul dari kawasan tersebut.
Dia sendiri sempat tiga kali menghadapi hal aneh saat melewati kawasan puncak Bukit Menoreh tersebut. Ia pernah melewati jalan yang arahnya tidak masuk akal untuk sampai ke Puncak Suroloyo dari Purworejo. Beberapa kali menemui jalan buntu.
Puncak Suroloyo yang terletak di kecamatan Samigaluh, Kulonprogo, ini memang dikenal menyimpan banyak mitos. Kawasan yang berjarak 48 kilometer dari Kota Yogyakarta ini diyakini sebagai pusat dari empat penjuru (kiblat pancering bumi) tanah Jawa.
Masyarakat setempat meyakini puncak ini adalah pertemuan dua garis utara-selatan dan timur=barat pulau Jawa. Sebagai pusat mitos, kawasan ini banyak dikunjungi setiap tahun baru penanggalan Jawa alias 1 Suro. Di tempat ini ada pertapaan kerajaan Yogyakarta dan tempat membersihkan senjata keraton.
Secara alam, dari Puncak Suroloyo bisa dilihat empat gunung besar di Pulau Jawa. Yakni, Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro. Dari puncak ini pula bisa dilihat stupa Candi Borobudur yang tampak hitam menyembul diantara gelombang kabut putih yang menyelimuti puncak tersebut.
Puncak Suroloyo juga mempunya kaitan erat dengan Kerajaan Mataram Islam. Dikisahkan, Sultan Agung Hanyokrokusumo saat muda mendapat wangsit untuk berjalan ke arah barat dari Kotagede. Sampai di Puncak Suroloyo ia kermbali mendapat wangsit untuk membangun tempat pertapa.
Dalam dunia pewayangan, kawasan perbukitan Suroloyo ini diyakini sebagai tempatnya Ki Semar Bodronoyo mengasuh Petruk, Gareng, Bagong dan para ksatria Pandawa. Inilah juga tempat Bathara Guru, pimpinan para dewa.
SH Mintarja, penulis novel asal Yogyakarta, pernah menulis serial Api di Bukit Menoreh. Novel silat berlatar belakang kerajaan dan kawasan Bukit Menoreh itu juga menjadi cerita bersambung bertahun-tahun di koran lokal Yogyakarta sampai penulisnya meninggal dunia.
Cerita mistis Bukit Menoreh terus beredar sampai sekarang di seputaran Puncak Suroloyo. Baik itu berupa mitos, maupun cerita-cerita mistis yang muncul dari mulut ke mulut.
Untung saya tidak mendengar berbagai cerita mistis itu sebelumnya. Jika tahu, bisa jadi saya tidak akan punya pengalaman eksotis perjalanan bersama keluarga menyusuri puncak bukit Menoreh di saat senja.
Tidak merasakan petualangan menyusuri jalan ekstrem antara tebing dan jurang di ketinggian pusat pulau Jawa. Dan saya pun ikut merinding ketika mendengar cerita mistis kawan saya Hatta. (Arifafandi)