Mengenang Kejayaan Tinju Surabaya yang Mati Suri
Sore itu Sasana Sawunggaling yang berlokasi di Jalan Kali Kepiting 123 Surabaya tampak tak bertuan. Bangunan yang dahulu menjadi salah satu primadona bagi olahraga tinju di Kawasan Surabaya Timur tersebut kini sudah tak berpenghuni.
Pagar besi berwarna coklat dengan tinggi 2,5 meter dan lebar 4 meter yang dulu tampak kuat, kini dimakan karat. Masuk ke dalam, rumput serta tanaman liar tumbuh subur. Di sana juga berserakan ranting pohon, serta lumut yang menghampar di sepanjang jalan masuk menuju ke dalam sasana.
Tak jauh dari pintu masuk, di sisi kiri tampak bekas sebuah ruangan yang dulu berfungsi sebagai kantor sekretariat Sawunggaling Boxing Camp. Ruangan ini bersebelahan dengan tempat latihan Hengky Gun dkk.
Di tempat latihan berukuran 5x10 meter persegi itu tak ada lagi yang tersisa. Jangankan ring tinju, sarung tinju saja hanya bisa ditemukan dalam bentuk grafiti yang menempel di dinding, terletak persis di depan kamar mandi atlet.
Cat pada dindingnya pun sebagian mengelupas, di sisi lain sudah mulai ditumbuhi alga. Beberapa bongkahan dinding dan atap yang rusak menghiasi beberapa sudutnya. Ini sekaligus penanda bangunan tersebut sudah cukup lama tak lagi beroperasi.
Melangkah lebih ke dalam, terdapat bangunan memanjang, sekitar 15 meter persegi. Bangunan berpetak-petak dengan luas masing-masing 2x3 meter yang menyerupai kos-kosan ini dulu adalah bekas mes para petinju Sawunggaling.
Karena lama tak dihuni, kayu penyangga atapnya menjadi lapuk lantaran digerogoti rayap. Di bawahnya, terdapay kasur yang sudah menjamur bersandar di dinding kamar. Di sudut lain terdapat beberapa kursi yang dulu menjadi tempat favorit para petinju untuk bertukar pikiran, atau sekadar nongkrong melepas lelah. Tampak pula lantainya yang dulu putih saat ini sudah menguning.
Di sisi lain, toilet yang digunakan para atlit masih berdiri kokoh di sudut tanah dengan luas sekitar 10x200 meter ini. Ditemani sumur tua yang ada di sampingnya, mes ini menjadi saksi bisu kejayaan para petinju Sawunggaling BC.
Selain fasilitas itu, mes ini juga dilengkapi ruangan khusus dengan meja pingpong yang menjadi tempat atlet mengalihkan keboasanan akibat rutinitas latihan. “Sasana ini sudah ada sejak 1970-an. Saya masuk sini di tahun 1980-an.” ungkap Hengky Gun, salah satu legenda Sawunggaling.
Di tempat inilah almarhum Setijadi Laksono yang juga mantan petinju profesional mendidik dan membesarkan para petinju andal di eranya masing-masing. Sebut saja Hengky Gun, Wongso Suseno, Wongso Indrajit, Junai Ramayana hingga Suwarno Perico yang meraih banyak gelar nasional maupun internasional. Kepiawaiannya sebagai manajer sekaligus pelatih membuat sasana ini menjadi salah satu yang disegani kala itu.
Gelar juara OPBF, IBF Intercontinental, WBC menjadi gelar yang menjadi langganan para petinju Sawunggaling. Maklum, mendiang Setijadi memang memiliki kiat khusus dalam membina para petinjunya.
Ia mengajarkan anak didiknya disiplin, tidak mudah menyerah, juga selalu berpesan agar tetap low profile. Inilah yang membuat Sasana Sawunggaling tidak pernah kering prestasi.
Di mata para mantan atletnya, sosok Setijadi bukan sekadar manajer dan pelatih, tapi juga ayah yang baik bagi mereka. Maklum, Setijadi memperlakukan semua petinjunya seperti keluarga sendiri.
Maka tak heran bila salah satu petinju andalannya, Hengky Gun, yang ditemui di lokasi mengutarakan betapa besar cintanya pada sasana yang telah berjasa membesarkan namanya itu. Hengky pun mengakui, kerinduannya pada suasana Sasana Sawunggaling saat masih aktif sebagai petinju masih kerap muncul di benaknya.
“Saya punya memori indah di sini, saat dulu berlatih dan bertanding dengan rekan. Dulu almarhum Setijadi sangat baik ke kita, kita dianggap seperti keluarganya sendiri, kita dirawat dan dididik sampai menjadi petinju hebat,” kenang Hengky sambil menghela napas dalam-dalam.
Bagi Hengky, walau bangunannya hancur sekali pun, dia akan selalu mengingat ketika pertama kali menginjakkan kaki di sasana ini.
Memang, sepeninggal tokoh-tokoh besar tinju di Surabaya macam Setijadi Laksono, Herry Sugiarto alias Aseng, dan Eddy pirih, dunia tinju di Surabaya benar-benar meredup. Tidak ada lagi tokoh-tokoh tinju yang memiliki kepedulian sebesar mereka.
Hengky pun menyesalkan tidak adanya promotor tinju di Surabaya maupun Indonesia yang benar-benar serius menangani olahraga adu pukul ini. “Mereka yang jadi promotor tinju saat ini cuma memikirkan keuntungan, padahal zaman dahulu menjadi promotor tinju itu pasti rugi, susah untung. Bahkan almarhum Setijadi seringkali menjual barang-barang pribadinya demi kebutuhan tinju,” ungkap pemilik juara WBC Intercontinental dan OPBF tersebut.
Memang melaksanakan pertandingan tinju yang rutin membutuhkan banyak biaya, namun menurut Hengky, mendiang Setijadi Laksono, Aseng, dan Eddy Pirih pintar mencari sponsor yang bersedia mengucurkan banyak uang, sehingga gelaran tinju bisa terlaksana secara rutin.
Bukan hanya itu, Hengky melihat ada pergeseran orientasi para petinju sekarang dengan saat ia masih aktif bertinju. “Atlet tinju sekarang ini banyak yang mikir duit dulu ketimbang berlatih dan bertanding, dulu zaman saya pokoknya tanding, kalau gak tinju, sama seperti kita makan lauk tanpa nasi, gak kenyang," tuturnya.
Hengky pun menceritakan kisahnya yang pernah ditipu promotor saat bertanding di Jepang. “Harusnya nerima 3500 dollar Amerika, tapi saya dapatnya cuma 250 dollar,” Kenangnya.
Namun, bagi dia membanggakan nama sasana dan negara sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Ia juga mengaku ikhlas atas apa yang dia alami. Menurut Hengky, maraknya kasus-kasus promotor yang menipu juga membuat remaja-remaja saat malas berlatih tinju, selain pertandingan yang minim, uangnya juga gak seberapa dibanding olahraga lain.
Hengky juga meminta agar pemerintah memperhatikan sektor olahraga tinju yang sudah tidak populer lagi, agar ke depan olahraga ini bisa mengharumkan nama bangsa seperti di era kejayaan tinju tanah air, khususnya di Surabaya.
“Jangan hanya karena ada even baru diadakan sparing, harusnya minimal tiap sebulan 2 kali diadakan kejuaran tinju walau tingkat amatir, toh tinju kan sama berprestasinya dengan olahraga bulu tangkis, kita juga banyak mengumandangkan lagu Indonesia Raya di ajang internasional,” harapnya.
Faktor lain yang diyakini membuat tinju di Surabaya mati suri seperti saat ini dinilai Hengky lantaran banyaknya kabar di media nasional yang memberitakan mantan atlet tinju yang masa tuanya menderita karena kondisi ekonominya buruk.
Baginya, pemberitaan semacam ini membuat minat tinju di kalangan remaja sepi. Padahal jika berkaca pada penghasilan Manny Pacquio (Pacman) sebagai juara dunia tinju tahun 2011, sebesar 260 Miliar, seharusnya bisa memotivasi munculnya bibit-bibit berbakat di olahraga tinju.
“Sebenarnya perkara masa tua itu tergantung atletnya. Gaya hidup mereka saat mempunyai uang dan di masa jayanya. Sama saja dengan olahraga lain macam sepak bola atau badminton,” ujar Hengky.
Memang acap kali kita melihat atlet lupa bahwa olahraga apa pun, termasuk tinju tidak menjamin hidup mereka di masa tua. Menurut Hengky, kemampuan mengelola penghasilan di masa jaya merupakan kunci keberhasilan seorang atlet setelah pensiun. (bersambung...)
Advertisement