Meresahkan Permen Ristekdikti Uji Kompetensi Kesehatan Dicabut
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No 12 Tahun 2016 tentang uji kompetensi nasional tenaga kesehatan (nakes) yang mengundang kintroversi akhirnya dicabut. Peraturan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa prodi kesehatan.
“Benar, kami sudah mencabut Permenristekdikti No 12 Tahun 2016 sejak 19 Maret 2019 lalu,” kata Menristekdikti Mohammad Nasir disela acara BUMN Goes To Campus di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Rabu 20 Maret 2019
Menurut Nasir, pihaknya akan melakukan kajian akademik untuk mencari model lain pengganti dari uji kompetensi nasional nakes yang dilakukan sebelumnya. Sebuah tes yang tak hanya menguji pengetahuan mahasiswa, tetapi keterampilan dan bidang lainnya sebagai nakes.
Ditanyakan penyelenggara uji kompetensi nasional bagi nakes itu akan dikembalikan ke kampus atau lembaga lain, Menristekdikti belum dapat memberi jawaban secara detil. Karena masih akan dibahas di lingkup kementerian.
“Belum tahu seperti apa bentuknya. Nanti ada penjelasan jika sudah pasti,” ucap Nasir menandaskan.
Keberadaan Permenristekdikti No 12 Tahun 2016 sebelumnya dipertanyakan Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes). Pasalnya, tes itu hanya menguji pengetahuan, bukan keterampilannya sebagai nakes.
“Bagaimana bisa masa depan orang yang akan praktik sebagai tenaga kesehatan ditentukan oleh sebuah tes pengetahuan yang dikerjakan di depan komputer,” kata Sekjen HPTKes, Gunarmi Solikhin, saat audiensi dengan Komisi IX di Gedung DPR, Senayan Jakarta, pada Senin (18/3) lalu.
Menurut Gunarmi, uji kompetensi seharusnya mengukur capaian mahasiswa tak hanya dari pengetahuan, tetapi juga sikap dan keterampilan. Karena itu, pelaksanaan uji kompetensi nasional seharusnya di tempat kerja dengan pasien langsung, bukan lewat ujian tulis berbasis komputer (Computer Based Test (CBT).
Akibat sulitnya uji kompetensi nasional itu, Gunarmi menambahkan, hingga saat ini tercatat ada 357.028 lulusan kesehatan yang nasibnya terkatung-katung, karena tak punya sertifikat kompetensi untuk mencari pekerjaan sesuai pendidikannya.
Mereka dianggap tidak memenuhi syarat untuk bekerja di layanan kesehatan karena tidak memiliki sertifikat kompetensi (Serkom) sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan ijin praktek profesi
“Terpaksa mereka bekerja yang tak sesuai dengan pendidikannya. Ada yang bekerja di mini market, salon, percetakan atau restoran. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut,” ucapnya.
Uji kompetensi seperti itu, lanjut Gunarmi, akan menurunkan minat masyarakat untuk kuliah di bidang kesehatan. Bahkan ada beberapa perguruan tinggi bidang kesehatan yang terancam tutup lantaran makin minimnya mahasiswa yang mendaftar.
“Kami khawatir, kondisi ini membuat Indonesia kekurangan tenaga kesehatan di masa depan,” katanya.
Selain itu, pelaksanaan uji kompetensi nasional nakes yang dikelola panitia pusat yang beranggotakan wakil dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemkes), perguruan tinggi dan asosiasi profesi memungut biaya yang besar. Untuk tingkat diplomasi Rp225 ribu, sementara sarjana Rp275 ribu.
Gunarmi menyebut, perputaran uang dalam uji kompetensi nasional terbilang sangat besar. Dalam satu tahun, tes digelar sebanyak 3 kali putaran. Dalam satu putaran, mahasiswa yang ikut bekisar 42-50 ribu orang.
“Mahasiswa bisa ikut ujian berkali-kali sampai lulus, asalkan mendaftar dan membayar sesuai dengan biaya yang ditetapkan,” kata Gurnami seraya mempertanyakan dana uji kompetensi yang mencapai Rp150 miliar per tahun hanya dikelola oleh sebuah panitia nasional.
Gunarmi berharap pada pemerintah untuk melakukan perbaikan atas pelaksanaan uji kompetensi nasional nakes. Sebaiknya, tes tersebut dikembalikan ke perguruan tinggi atau lembaga independen.( asm ).