Merdeka dari Surabaya
Proklamasi Kemerdekaan RI memang dilantangkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Jalan itu itu kini berubah nama menjadi Jalan Proklamasi. Oleh Insinyur Sukarno dan Doktorandus Mohamad Hatta.
Namun penentu kemerdekaan negeri ini sebenarnya Surabaya. Setelah para santri dan rakyat dari Surabaya dan sekitarnya melakukan perlawanan rakyat terhadap tentara sekutu yang diboncengi Belanda.
Bayangkan jika tidak ada perlawanan rakyat yang puncaknya 10 Nopember 1945 ini. Bisa jadi proklamasi kemerdekaan itu tak ada artinya. Sebab, negeri ini bisa dalam kekuasaan tentara sekutu atau Belanda.
Kenyataan sejarah ini yang suka saya sampaikan berulang-ulang. Baik saat masih menjadi sesuatu di Pemerintah Kota Surabaya dulu maupun saat menjadi warga biasa kota ini sekarang. Termasuk ketika ikut tirakatan di kampung kawasan Surabaya Selatan.
Itu pula kenapa pada periode 2005-2010 peringatan Peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus dan Hari Pahlawan RI 10 Nopember selalu menjadi satu kesatuan. Terutama antara kemerdekaan RI dan Hari Pahlawan. Antara proklamasi dengan mempertahankan kedaulatan yang telah dinyatakan.
Mengapa kedua peristiwa tersebut harus dikaitkan? Ada kecenderungan kita hanya melihat sejarah dari melalui tonggak besarnya. Tidak pernah melihat proses dan rangkaian yang mengikutinya. Akibatnya, seringkali sejarah cenderung membuat glorifikasi sepihak dan figural.
Kemerdekaan RI tak hanya bisa dilihat dari peristiwa proklamasi. Tapi juga berbagai peristiwa sebelum dan sesudahnya. Semuanya perlu ditelusuri derajat kontribusinya dalam perjalanan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan RI. Sehingga tak terjadi monopoli peran dalam sejarah.
Pendekatan sejarah seperti ini sempat mewarnai penulisan sejarah di masa Orde Baru. Orde ketika kekuasaan otoriter bersemi dan mewarnai negeri ini selama 32 tahun lamanya. Sejarah sebagai bagian untuk mengjapus beberapa jejak sejrah negeri ini.
Padahal, kalau menggunakan pendekatan mata rantai sejarah, Surabaya menjadi sangat penting bagi kemerdekaan RI. Mulai dari lahirnya sejarah pergerakan yang dipelopori HOS Tjokroaminoto dengan dua anak didiknya Ir Sukarno dan Kartosuwiryo.
Tjokroaminoto bisa disebut sebagai tokoh embrio gerakan nasional kemerdekaan Indonesia. Gerakan Boedi Oetomo 1908 memang dideklarasikan pertama di Batavia. Namun, di tahun yang sama juga berkembang di Surabaya.
Surabaya seperti menjadi kancah mendidik para pemimpin bangsa ini. Di masa lalu. Di masa perjuangan. Tak hanya menjadi wadah mendidik para pemimpin, tapi juga melahirkan para pejuang rakyat. Yang digerakkan oleh spirit gotong royong.
Perlawanan rakyat Surabaya tak bisa dijelaskan dengan teori peperangan apa pun. Ini lebih seperti kerusuhan dengan lawan yang tak seimbang. Kerusuhan melawan kehadiran tentara asing yang tak diketahui anatomi kekuatannya.
Saya pernah mendapat cerita dari KH Muwafiq. Mubaligh gondrong asal Lamongan yang kini tinggal di Jogjakarta. Menceritakan pengalaman kakeknya yang ikut dijemput truk dari arah barat untuk melawan sekutu di Surabaya.
Berdasarkan cerita kakeknya, perlawanan rakyat terhadap tentara sekutu itu tak terorganisir dengan baik. Bahkan, banyak relawan yang tidak tahu wilayah Surabaya. “Juga belum pernah pegang senjata. Tidak tahu yang namanya tank. Dikira jenis binatang,” katanya.
Karena itu, kalau pada saat itu banyak sekali korban, karena perlawanan itu tidak dilakukan tentara. Tapi dilakukan oleh rakyat. Mereka yang dari kalangan santri digerakkan oleh resolusi jihad yang dikeluarkan para kiai. Resolusi yang kini diperingati sebagai Hari Santri.
Sejaran keteribatan kiai dan santri ini sempat hilang dari khasanah sejarah sekitar pertempuran Surabaya. Sempat yang menonjol adalah komando takbir dari siaran radio yang diteriakkan seorang Bung Tomo. Tanpa ada narasi tentang resolusi jihad dari para kiai.
Tak hanya mengeluarkan resolusi. Tapi para kiai menggerakkan para santri untuk melakukan perlawanan. Mereka berdatangan dari berbagai daeraj di sekitar Surabaya. Mulai Mojokerto, Jombang, sampai dengan Lamongan.
Kabar tentang banyaknya santri yang tewas dalam pertempuran di Surabaya itu sampai membuat KH Hasyim Asy’ari sakit. Beliau merasa sedih dan menanggung beban karena menggerakkan santri lewat resolusi jihad maupun memberangkatkan santri secara langsung.
“Beliau mendapat kabar tentang banyaknya santri yang tewas saat beliau ngaji. Begitu mendapat kabar itu beliau langsung masuk kamar dan sakit hingga meninggalnya,” cerita KH Abdul Hakim Mahfudz, pimpinan Ponpes Tebuireng yang terkenal dengan panggilan Gus Kikin.
Di Surabaya, para santri tersebut bergabung dengan arek-arek Suroboyo. Jangan bayangkan negara yang baru diproklamasikan itu telah memiliki pasukan tentara yang telah terorganisir dengan baik. Jadi, perlawanan yang puncaknya di 10 Nopember 1945 itu betul-betul perlawanan rakyat.
Inilah perlawanan rakyat yang memastikan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus menjadi tetap relevan. Tanpa perlawanan rakyat di Surabaya, kemerdekaan yang telah diproklamasikan menjadi mempunyai makna. Menjadikan Indonesia seperti seperti sekarang. Seperti yang bisa kita nikmati saat ini.
Seharusnya, Surabaya tercatat dalam buku sejarah lebih besar dari yang tertulis seperti sekarang. Bahkan, bisa dikatakan bangsa Indonesia dulu merdeka dari Surabaya. Tentu tanpa harus menghilangkan jejak sejarah para pejuang dari kota dan daerah lainnya.
Advertisement