Merdeka Cabe
"Apa perlu khusus Menteri urusan Cabe? Setelah harga 90 ribu per kilo gram lalu turun sampai 13 ribu per kilogram. Dan ini berulang tiap tahun."
"Geumeuesshh...."
Ini komentar seorang petani muda di laman media sosialnya. Yang kayaknya sudah tidak tahan dengan permainan harga cabe setiap musim panen.
Untung saja, cabe sudah dicopot dari indikator perhitungan inflasi. Sejak beberapa tahun lalu. Sehingga gejolak harga cabe tak lagi jadi isu publik.
Pencopotan harga cabe dari indikator inflasi ini jelas menguntungkan pemerintah. Sebab inflasi menjadi salah satu ukuran kinerja tim ekonomi.
Tapi menjadikan petani tak lagi punya suara. Setidaknya yang ikut menekan pemerintah untuk memberi perhatian terhadap gejolak harga cabe.
Di Blitar ada seorang petani musa yang bersemangat setiap tahun menanam cabe. Di sela-sela tanam padi saat musim hujan.
Ia tak hanya sekadar menanam cabe. Tapi terus berinovasi menanam cabe dengan pola baru. Untuk menguber hasil lebih baik.
Juga menggarap lahan dengan tanpa pupuk kimia. Sehingga menghasilkan cabe yang lebih sehat. Menuju cabe organik.
Bahkan karena inovasinya itu, ia selalu menjadi jujugan petugas Dinas Pertanian Pemda setempat. Jadi percontohan dan jadi kebanggaan.
Tapi perhatian pemerintah itu hanya sampai disitu. Memeriksa proses budi dayanya. Tidak sampai mengawal hasil akhirnya.
Akhirnya setiap tahun ia berinovasi. Tapi setiap tahun pula ia merugi. Meski hasil panenannya berlimpah. Karena harga cabe jatuh menjadi murah.
Siapa penentu harga untuk komoditas cabe? Mengapa bertahun-tahun naik turunnya harga yang merugikan petani tak pernah menjadi isu utama.
Sebetulnya, nilai tawar petani yang lemah tak hanya urusan cabe. Komoditas lainnya kurang lebih sama. Jagung, kedelai, padi, bawang putih dan bawang merah.
Juga untuk peternakan. Mulai ternak atam, ikan dan sebagainya. Hanya komoditas ternak yang komoditas ekspor seperti udang yang sering aman.
Ini pun bukan menjadi mainan para petani kecil. Tapi mainan petani berdasi. Atau petani kota yang melihat manisnya harga udang.
Ini memang ironi. Petani yang menjadi andalan kedaulatan pangan tapi sering terabaikan dalam hal kebijakan.
Menteri pertanian telah berganti-ganti. Tapi belum pernah ada kebijakan yang betul-betul mengangkat petani dari keterpurukan.
Kementerian ini seringkali mencuat justru di kebijakan impor komoditas pertanian. Juga kasus-kasus penyimpangan yang sering menyertainya.
Paska reformasi, dunia petani terkesan menjadi anak tiri. Beum pernah ada kebijakan yang berkelanjutan untuk mengangkat mereka.
Saya pernah mendampingi wakil gubernur Jatim kunjungan ke Swedia. Bertemu dengan petinggi koperasi pertanian di sana.
Dari mereka, saya menyaksikan kebijakan jelas dari pemerintahnya. Komoditas petani mendapat prioritas proteksi dari pemerintahnya.
Selain ada subsidi, mereka menjadikan komoditas unggulannya sebagai bagian dari tawar-menawar perdagangan antar negara. Dengan demikian, nasib petaninya tetap terjaga.
Saya bersyukur, dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi tanggal 16 Agustus 2021 kemarij, ia menyinggung tentang kedaulatan pangan. Menjadikan masalah ini sebagai prioritas.
Tentu pidato presiden ini baru sebuah political will pemerintah. Pelaksanaannya masih perlu strategi kebijakan yang benar-benar nyata. Tidak hanya menjaga produktifitas. Tapi juga nilai tawar petaninya.
Perlu ada kebijakan sampai pada tataran off farm. Paska panen. Yang menjaga bagaimana harga komoditas pertanian menjadi stabil. Tidak harus selalu mahal.
Negara saatnya hadir dalam menata tata niaga pertanian. Agar nasib petani tidak berada dalam permainan para kartel. Yang sebagian sahamnya sudah bukan milik bangsa sendiri.
Ada banyak pekerjaan rumah pemerintah untuk merdeka dalam hal pangan. Menjaga luasan lahan, mendorong produktifitas petani terus tumbuh, dan melindungi mereka dari permainan kartel setiap tahunnya.
Kita telah merdeka 76 tahun. Tapi bagi petani kemerdekaan itu belum sepenuhnya bisa dirasakan. Karena masih selalu menjadi korban dari tata niaga pertanian yang sangat timpang.
Yang menyesakkan, mereka masih sering menjadi korban pemburu rente yang mengorbankan nasib petani kita. Yang mendompleng parpol yang selalu mendapat jatah kementerian pertanian.
Mungkinkan kelak menteri pertanian dipegang para petani sendiri? Setidaknya yang betul-betul hatinya untuk petani. Bukan menjadikan petani sekadar dulangan suara setiap 5 tahun sekali.
Advertisement