Merauke Rasa Jawa
Papua….Ya Papua tanah yang banyak diperbincangkan dengan sejuta hal-hal miring yang menimbulkan ketakutan kepada warga luar Papua yang akan datang di provinsi paling timur Indonesia. Mulai dari kabar perkembangan Organisasi Papua Merdeka (OPM), pergerakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang selalu baku tembak dengan aparat keamanan, kemudian harga-harga yang relatif lebih mahal dibanding dengan harga-harga di Jawa.
Itu pun yang kami rasakan ketika hendak ke Papua, sudah terhegemoni oleh pemberitaan yang ada. Ditambah lagi respon dari teman-teman yang untuk meminta kami hati-hati ketika berada di Papua.
Namun, itu semua tak tampak ketika pertama kali menginjakkan kaki di Papua, tepatnya di wilayah Merauke titik terujung Indonesia bagian Timur.
Daerah yang berencana untuk melakukan pemekaran sebagai provinsi tersendiri ini ternyata menghancurkan segala ketakutan banyak orang. Kota kecil, tak sampai satu jam kita sudah habis memutari wilayah kota, jalanan tampak sepi tidak seperti kota-kota besar, dan suasananya yang sejuk walau panas terik namun selalu ada angin yang mendinginkan.
Justru pertama mendarat tampak kota ini begitu tenang, tentram, dan penuh persaudaraan.
Ya penuh persaudaraan…Merauke menjadi salah satu tempat para transmigran dari luar pulau ketika era Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto sejak tahun 1970-an. Terutama yang paling banyak warga dari Jawa Timur hidup dan bekerja di Merauke.
Jadi, rasanya ibarat bukan di Papua, namun berasa seperti di Jawa Timur. Mulai pedagang, masyarakat yang berjalan, karyawan kantor bisa berbahasa Jawa. Orang-orangnya pun sangat humble.
Termasuk salah satu sopir yang kami sewa untuk pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2020 di Papua. Mayoritas berasal dari Jawa Timur yang tergabung dalam Perkumpulan Keluarga Jember (PKJ) yang ada di Merauke.
Hampir setiap hari berjalan selalu menggunakan bahasa Jawa karena lebih mudah dan membuat lebih nyambung. Sehingga, rasa persaudaraan itu ada.
Beberapa rekan wartawan yang datang dari Jatim dijamu dengan begitu luar biasa dan mendapat penginapan spesial di rumah pimpinan PKJ, Agus Sunarya yang terletak di perkampungan transmigran di SP2 Distrik Tanah Miring.
Kampung ini berada jauh dari Pusat Kota Merauke, jaraknya sekitar 30km yang membutuhkan waktu perjalanan 30-45 menit. Jalannya sudah aspal, meskipun ada beberapa jalanan yang berlubang, namun suasananya sangat memanjakan mata dengan pemandangan khas pedesaan.
Di SP2 Distrik Tanah Miring, ternyata mayoritas penduduk merupakan warga yang berasal dari Jember, Lamongan, Magetan dan Banyuwangi. Sehingga, kami makin merasa seakan bukan di Papua tapi di Jawa. Bahasa Jawa jadi bahasa utama yang digunakan warga, bahkan warga pun tampak humble karena sering nongkrong ngopi bareng di basecamp wartawan Jatim.
“Saya di sini baru 30 tahun. Hahaha. Insya Allah Mas, di sini aman, nyaman, tenang, suasananya enak gak ada kejadian apapun. Enak lah,” kata Karman salah satu warga Jember.
Karena itu, keluarganya pun selama ini sangat betah untuk tinggal di Merauke. Sesekali saja mereka akan pulang kampung ke Jawa.
Tak hanya itu, mereka pun saling menjaga satu sama lain karena jarang sekali penerangan jalan umum (PJU) yang dimanfaatkan oleh oknum untuk mencuri.
"Kita sudah ada jadwal untuk jaga kampung," kata Suwardi, warga Magetan yang memutuskan menikah dengan orang Merauke.