Cerita Nurul yang Hilang di Hutan Banyuwangi, Merasa Baru Semalam
Wajah pria ini masih tampak lelah. Namun dia tetap bersemangat menceritakan pengalaman gaibnya.
Dia "ditanggap" oleh beberapa orang yang tertarik dengan pengalaman gaibnya itu. Pria yang menjadi pusat perhatian itu adalah Nurul Machrus, 39 tahun, warga Lingkungan Sumbernanas, Kelurahan/Kecamatan Kalipuro Banyuwangi. Dia adalah pria yang sempat dilaporkan menghilang selama empat hari. Dia baru ditemukan ditemukan pada Rabu, 24 Februari 2021 dinihari tadi.
Perbincangan itu dilakukan di ruang belakang sebuah rumah sederhana di dekat hutan petak 67 A RPH Gombeng, KPH Banyuwangi Utara. Perbincangan mereka terhenti sejenak saat Sumarno, 54 tahun, seorang pegawai Perhutani mengenalkan Ngopibareng.id
“Ini ada wartawan mau berbicang tentang cerita tadi malam,” terang Sumarno kepada seorang pria yang mengenakan jaket berwarna abu-abu.
Pria itu pun berdiri lalu mempersilakan duduk. Wajah Nurul Machrus masih tampak lusuh dan penat. Maklum, dia dinyatakan hilang di hutan petak 67 A RPH Gombeng, KPH Banyuwangi Utara sejak Sabtu, 20 Februari 2021 lalu. Meski lelah, dia tetap memberikan sambutan hangat.
Sambil membetulkan posisi duduknya, Nurul mulai menceritakan peristiwa yang dialaminya. Meski lelah, namun suara Nurul masih lantang mengisahkan pengalamannya menghilang ke dimensi lain selama empat hari ini.
“Saya berangkat hari Sabtu, dari sini jam 06.30 berangkatnyari bibit porang. Saya berangkat ke tempat naruh motor,” katanya.
Hari itu, dia hanya mendapatkan sedikit bibit porang. Sekitar pukul sekitar 08.30 WIB, Nurul membawa Porang yang didapatkan ke motor.
Karena hanya sedikit bibit yang berhasil dia dapatkan, dia pun memutuskan kembali mencari bibit porang. Kali ini Nurul memilih ke wilayah yang dikenal dengan sebutan Jeding Mati. Di sana ada semacam surau dan sungai kecil. Setelah membersihkan sepatunya, dia melanjutkan perjalanan ke atas ke gunung.
Setelah berjalan cukup lama ayah dua anak ini mulai merasa lapar. Dia pun mengambil rebung bambu untuk dimakan. Kebetulan tak jauh dari lokasnya terdapat pohon bambu. Setelah kenyang makan sebatang rebung dalam hati dia berdoa.
“Buyut, putune riko iki mrene golek pangan, wenono pangan riko, isun iki mrene golek lor kong (porang) sing niat nyalah, duduhono (mbah buyut, cucumu ini ke sini untuk mencari makan, berilah makananmu, saya ke sini mencari Porang. Tidak ada niat buruk, tunjukkanlah),” katanya.
Sesaat kemudian, di arah timur dan utara, dilihatnya banyak tanaman porang. Spontan dia mengambil lalu mengikatnya. Ketiga kalinya mengikat porang yang ada di tempat itu, dia menyadari hari sudah memasuki malam dan beranjak gelap. Karena sudah gelap, dia tidak mungkin lagi pulang. Karena medan di Jeding Mati sangat terjal sehingga sangat berbahaya jika sampai terperosok ke jurang.
Saat inilah tiba-tiba dia mendengar suara orang tua sedang batuk. Nurul pun memalingkan muka ke arah pria yang menurutnya berumur sekitar 70 tahun itu. Nurul menggambarkan sosok pria itu adalah orang yang gagah. Yang dia ingat, kakek itu menggunakan ikat kepala. Pada bagian depan ikat kepala tersebut terdapat dua bulu yang menyerupai bulu landak.
“Saya mau pulang Dik, adik kok belum pulang. Ini kan sudah malam. Saya jawab kalau saya pulang saya pasti mati kalau jatuh ke jurang pasti mati,” tuturnya.
Mendengar jawaban Nurul, kakek tersebut menyampaikan bahwa Nurul tidak akan mati di tempat itu. Kakek itu kemudian mengajak Nurul ke rumahnya yang lokasinya masih lebih ke puncak lagi. Setiba di lokasi yang dituju, Nurul melihat rumah kakek tersebut. Di tempat itu ada dua rumah lain menghadap timur dan dua menghadap ke utara.
Rumah kakek itu tidak seperti rumah pada umumnya. Bentuknya bulat dengan atap dan dinding barbahan ijuk. Di hadapan rumah itu, terdapat danau luas yang sangat indah. Sementara di bagian tepi danau terdapat bunga-bunga yang indah.
Nurul pun duduk teras. Tak lama kemudian sang kakek datang menyuguhkan kopi. Kali ini Nurul menolak. Karena dia tidak biasa minum kopi karena punya penyakit lambung kronis.
“Akhirnya saya dibawakan air putih kemudian diajak makan. Enak sekali makannya. Padahal cuma sayur saja, tidak pakai lauk, sayur simbukan. Padahal biasanya baunya simbukan saya tidak mau,” katanya.
Setelah makan, Nurul diminta tidur di atas kayu yang ada di depan rumah si kakek. Saat hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara harimau. Seketika itu juga dia melihat empat ekor harimau di sekelilingnya. Tiga harimau berwana kuning. Satunya berwarna hitam dan memiliki tubuh paling besar. Harimau hitam ini terus mengaum-ngaum. Nurul kemudian mendekati harimau hitam ini sambil mengelus kepalanya seolah sudah akrab dengan harimau tersebut.
“Lalu saya bilang cul-cul, ojo rame isun arep turu. Kesok baen isuk-isuk gugahen (Cul-cul jangan ramai, saya mau tidur besok saja pagi-pagi bangunkan saya),” katanya sambil membelai kepala harimau hitam.
Keesokan paginya, begitu bangun Nurul tak lagi melihat empat harimau yang menjaganya. Dia langsung mencari si kakek untuk menanyakan kapan dirinya diantar pulang. Kakek tersebut menjanjikan Nurul akan diantar pulang oleh empat orang perempuan yang sudah setengah baya namun masih terlihat cantik. Setelah makan diapun diantar pulang oleh empat perempuan itu.
“Waktu saya mau pulang, kakek itu berpesan, tolong kalau main ke sini lagi bawakan saya ketan hitam satu takir sama wewangian berupa bunga. Begitu dia bilang ke saya,” ujarnya.
Setelah itu dia pun pulang dengan diantar empat perempuan itu. Nurul mengatakan, dia diantar dengan mengendarai kereta. Dia duduk di kursi belakang. Selama dalam perjalanan, dia terus berbincang dengan dua perempuan yang mengantarnya. Tiba-tiba kereta berhenti. Salah seorang perempuan itu berpesan kepadanya.
“Kamu jalan saja ke selatan terus. Di situlah kamu ketemu kampungmu,” ujarnya menirukan ucapan perempuan itu.
Dalam benak Nurul, arah yang disebut perempuan itu adalah utara. Dia pun menyampaikan hal itu si perempuan. Karena dirinya yakin rumahnya berada di arah selatan. Perempuan itu pun menegaskan agar Nurul menuruti pesannya bukan menuruti kata hati Nurul sendiri.
Akhirnya Nurul mengikuti pesan perempuan tersebut. Dia terus berjalan ke arah selatan meski cuaca saat itu sedang turun hujan. Namun hingga siang dia tak kunjung sampai ke Sumbernanas. Dia pun memutuskan untuk beristirahat dan melaksanakan salat dhuhur.
Setelah salat, dia memotong bambu. Bambu itu digunakan untuk memanjat pohon besar untuk mencari arah menuju rumahnya. Namun dia tidak melihat tanda-tanda wilayah itu sudah dekat rumahnya.
“Saya naik ke atas, lihat kok tidak ada laut. Mana pohon jati, mana pohon rosidi, mana pohon pinus, tidak saya temukan. Karena pohon itu ciri khas kampung saya,” katanya.
Diapun kembali mengingat pesan perempuan tadi. Dia kembali berjalan ke arah selatan meski arah itu pada pandangannya adalah arah utara. Dia terus berjalan hingga sore dan menemukan pipa saluran air. Saat itulah dirinya sadar kalau dirinya sudah kembali ke wilayah Jeding Mati. Karena dirinya sudah sering lewat di tempat itu.
Nurul pun meneruskan perjalanan menuju ke arah selatan hingga maghrib. Sambil berjalan dia terus meneriakkan kata ‘ough’. Kata ini semacam kode bagi warga Sumbernanas yang bekerja di hutan. Biasanya jika mendengar kata ini maka orang yang mendengar akan membalasnya dengan teriakan yang sama. Tapi saat itu tidak ada yang menjawab. Padahal biasanya selalu banyak orang kampungnya di sekitar tempat itu.
“Saat matahari sudah terbenam, barulah saya mendengar suara sahutan. Dan Sahutan itu ternyata dri Bapak (mertua) saya,” katanya.
Setelah pertemuan dengan Namo dan warga yang lain dia mendapatkan informasi kalau dirinya sudah hilang selama empat hari. Padahal dirinya merasa hanya menginap satu malam di rumah kakek tersebut dan pulang pada Minggu paginya.
“Ternyata yang saya pikir baru terbenam matahari, di sini sudah jam 12 malam. Ternyata Saya sudah empat hari. Saya masih tidak percaya kalau hari ini hari Rabu. Yang saya ingat saya nginap satu malam,” ungkapnya.
Suara Perempuan Minta Tolong
Warga Sumbernanas berhasil menemukan Nurul Machrus setelah mendengar teriakan minta tolong dari arah hutan tempat Nurul menghilang. Hampir semua warga mendengar suara teriakan itu. Termasuk Bapak Mertua Nurul, Namo, 68 tahun. Pria ini mendengar suara teriakan sekitar pukul 23.00 WIB.
“Selesai salat saya mendengar suara teriakan minta tolong. Tapi suaranya wanita bukan suara Nurul anak saya,” kata Namo.
Meski demikian diapun memutuskan keluar rumah dan mencari sumber suara tersebut. Bersama puluhan warga yang lain, Namo menuju ke arah hutan yang berada di sebelah utara perkampungan. Saat itu yang ada di benaknya hanya ingin membantu orang yang meminta tolong tersebut.
“Begitu dekat, barulah suara teriakan itu berubah menjadi suara Nurul. Saya dan warga terus berusaha mencarinya,” ungkap Namo sambil menghapus air mata.
Semakin didekati, sosok Nurul semakin jauh. Menurutnya, Nurul terlihat berjalan dengan lancar meski berada di tengah rimba dan pepohonan yang penuh duri. Sampai akhirnya dia bersama warga tidak bisa menemukan jalan untuk mengejar Nurul.
“Saat itu saya bilang saya ini Bapaknya Nurul. Bapaknya Nurul. Alhamdulillah dia langsung berhenti,” akunya.
Saat itu dia langsung mengelap wajah Nurul yang penuh lumpur dengan sarung yang dipakainya. Setelah itu isak tangis pun pecah. Semua orang yang ada di tempat itu seakan tidak percaya kalau Nurul bisa ditemukan kembali.
Saat akan meninggalkan lokasi tersebut, keanehan kembali terjadi. Puluhan warga yang menjemput Nurul kehilangan arah menuju pulang. Semak belukar yang sebelumnya dilewati menuju ke tempat itu telah kembali seperti semula. Seolah tidak pernah terjamah.
“Akhirnya kami pulang membuka jalan dengan memotong semak belukar,” pungkasnya.