Meraih Makrifat, Memahami Konsep Al-Ghazali dan Ibnu `Arabi (1)
Manusia adalah bagian dari alam yang dipandang sebagai satu kesatuan dari totalitas serta mempunyai kedudukan yang unik dan istimewa dalam alam ini, karena ia mempunyai akal yang dapat berfungsi melakukan interpretasi atau mengungkapkan arti simbol-simbol dalam proses kehidupan.
Dalam pandangan klasik dan rasional, fenomena ini masih tetap berlangsung sejak masa Yunani dan Romawi sampai zaman Renaissance. Yang membedakan manusia dari makhluk lain adalah fakta bahwa manusia itu makhluk yang berakal.
Bagi Aristoteles (384 – 322 SM) dan Plato (429 – 347 SM) akal berfungsi untuk mengarahkan budi pekerti, dan akal itu merdeka dan abadi dalam wataknya yang esensial, sementara bagi Aristoteles akal adalah kekuatan tertinggi dari jiwa yang membedakan dari watak manusia.
Eksistensi keduanya, akal dan watak manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dibicarakan dalam tasawuf.
Demikian pengantar A. Zaini Dahlan, dalam tinjauan dari Buku kumpulan disertasi S3 Kajian Timur Tengah UGM, berjudul "Menggagas Formulasi Baru Tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab". Berikut uraiannya:
Bapak Paham Makrifat
Dalam tasawuf Dzunnun al-Misry (W. 860 H), yang dianggap sebagai bapak paham Makrifat dijelaskan bahwa pengetahuan manusia tentang Tuhan ada tiga macam.
Pertama, pengetahuan orang awam bahwa Tuhan itu satu yaitu dengan melalui ucapan syahadat, kedua, pengetahuan ulama bahwa Tuhan itu satu menurut logika akal, dan ketiga, pengetahuan sufi bahwa Tuhan itu satu dengan perantaraan hati sanubari.
Al-Ghazali (1058 –1111 M) adalah seorang tokoh yang berawal sebagai seorang ahli hukum Islam dengan karyanya al-Mustashfa (berisi tentang yurisprudensi hukum Islam), lalu sebagai teolog, kemudian sebagai filosof dan terakhir menjadi sufi. Ia pernah belajar pada Imam al- Haramain al-Juwaini (W: 478 H) di Madrasah Nidhamiyah di Naisabur.
Al-Juwaini adalah guru besar di Madrasah Nidhamiyah yang paham ilmu Kalamnya beraliran Asy’ariyah (Ahlus-sunnah). Ciri khas aliran ini adalah bahwa akal tidak begitu besar kekuatannya sehingga banyak bergantung kepada wahyu, kemudian memberi argumen-argumen rasional terhadap teks wahyu tersebut.
Orang arif menurut para sufi adalah orang yang telah sampai pada tingkat makrifat wihdatul-wujud dengan daya rasa musyahadah. Maksudnya orang arif adalah orang yang menyatakan bahwa Allah itu adalah alam semesta ini sendiri. Menurut mereka, apa yang kita rasakan, apa yang kita lihat, dan apa yang kita dengar maka semuanya itu adalah dzat Allah sendiri.
Pandangan Ibnu Arabi
Dari pengertian tentang makrifat ini, ternyata di kalangan para sufi sendiri masih kontroversial. Ibnu Arabi menjelaskan, orang arif adalah orang yang menyaksikan Allah dalam segala sesuatu, bahkan melihat Allah adalah sumber inti dari segala sesuatu. Melihat dari arti arif tersebut, Ibnu Arabi ternyata sudah melewati jauh dari definisi makrifat al-Ghazali, bahkan sudah menempati paham Wihdatul-Wujud yang diajarkannya. Hal ini tampak lebih jelas dalam ungkapannya: Orang arif yang sempurna adalah orang yang melihat segala sesuatu yang disembah menjadi tempat terwujudnya Yang Maha Benar.
Oleh karena itu, mereka meyakini segala sesuatu yang disembah sebagai Tuhan walaupun dengan nama-nama yang tertentu, seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang, atau malaikat.
Paham makrifat Ibnu Arabi seperti ini tentu berbeda dengan paham makrifat al-Ghazali. Dan orang pertama yang mengingkari paham ini bahkan menetapkan kekafiran dan kebohongan Ibnu Arabi adalah Izzuddin Abd as-Salam (577-660 H).
Pengingkaran Kaum Wahabi
Di samping Izzuddin Abd al-Salam, Ibnu Taimiyyah dan tokoh-tokoh Islam di Saudi Arabia, – pada umumnya mereka di bidang ilmu kalamnya beraliran Wahabiyah (dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab) (1703-1787 M), – juga turut mengecam ajaran Ibnu ‘Arabi tersebut, seperti Syaikh Badran al-Khalili, Shaikh Abd al-Latif Ibn Abdillah as-Su’udi dan Syaikh Sayyid ‘Arif.
Komentar mereka, keyakinan yang mereka ( al Bustami, al Hallaj dan Ibnu Arabi ) temukan pertama kali adalah paham Ittihad, wihdatul-wujud dan hulul. Kemudian semakin tampaklah perbedaan dan penyimpangannya serta perlawanan mereka terhadap Islam seperti yang tercantum dalam buku fushus al-hikam. Sesungguhnya dalam buku itu telah terjadi penipuan dan penyebaran ajaran-ajaran iblis.
Makrifat Ajaran Tasawuf
Makrifat adalah satu ajaran dalam tasawuf yang untuk pertama kalinya dibangun oleh Dzunnun al-Misry. Menurutnya, makrifat adalah cahaya yang dilontarkan Tuhan kedalam hati Sufi. Jadi orang yang tahu (‘Arif) tidak memiliki wujud tersendiri tetapi berwujud melalui Wujud Tuhan.
Makrifat biasanya diiringi dengan mahabbah,maka muncul ucapan-ucapan ganjil dari Dzunnun al-Misry: “Di depan orang aku berkata: “Tuhanku”, tetapi ketika aku menyendiri aku berbisik: “Kekasihku”. Dan yang dimaksud kekasihku di sini adalah Tuhan. Karena terdapat keengganan menerima tasawuf di kalangan ahli hadits dari Madzhab Maliki di Afrika Utara dan Mesir atas pada akhirnya ia dihukum mati oleh ahli hukum Madzhab Maliki Mesir, Abdullah bin Abdul Hakam.
Kajian terhadap kitab Ihyā’ ‘Ulum al-Dīn dan al-Munqidz Minad Dhalal, dibandingkan dengan al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian makrifat dan mengungkapkan ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan konsep makrifat.
Karya yang membahas tentang makrifat secara perbandingan – seperti penelitian ini – sepengetahuan penulis belum ada, akan tetapi karya yang membahas tentang wihdatul wujud menurut ibnu ’Arabi sudah ditulis oleh Kautsar Azari Nur dalam disertasinya pada tahun 1995.
Begitu pun konsep insan kamil Ibnu ‘Arabi oleh al-Jilli telah ditulis oleh Yunasril Ali dalam disertasinya pada tahun 1997. Dengan demikian penelitian ini bersifat original. (bersambung)
Advertisement