Meraih Ilmu yang Bermanfaat, Ini Jalan Harus Ditempuh
Semua orang suka pada ilmu dan semua orang senang mencari ilmu. Itu fitrah. Tapi, dalam Islam, kita hanya diperintahkan untuk mencari dan memiliki ilmu yang bermanfaat saja.
Doanya pun: "Allahumma innii as-aluka 'ilman nafi'an"
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat).
Dan sebaliknya, "Allahumma inni a'udzubika min ilmin la yanfa'
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).
Ilmu yang tidak bermanfaat, tak perlu dicari dan dipelajari.
Moeflich H. Hart, juru dakwah, mengatakan, ilmu yang bermanfaat tak ada hubungannya dengan sekolah dan gelar-gelar yang feodalistik. Sekolah adalah proses formal administrasi belajar dan jenjang pendidikan. Dari sekolah bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bisa juga bahkan mungkin kebanyakan tidak.
Dari sekolah bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bila niatnya mencari ilmu, cara dan prosesnya tidak melanggar etika, norma, syariat dan akhlak ilmu dan tujuanya juga ilmu, bukan gelar atau pekerjaan. Bila tidak begitu, sekolah hanya akan melahirkan lulusanĀ² yang ilmunya tidak bermanfaat.
Ilmu yang bermanfaat akan merubah kesadaran dan meningkatkan kualitas diri, akan berpengaruh kepada orang lain, dirasakan oleh orang banyak dan dikenang dalam sejarah. Bahkan, bukan hanya di dunia ini, ilmu yang bermanfaat akan menembus ke akhirat. Kebermanfaatan hidup seseorang di dunia dan keselamatan hidupnya di akhirat ditentukan oleh kebermanfaatan ilmunya.
Ilmu yang bermanfaat itu yang bagaimana? Ada dua. Di wilayah teknis dan di wilayah substansi, nilai dan ruh.
Di wilayah teknis, ilmu atau pengetahuannya membuat urusan-urusan hidup jadi mudah, lancar karena tahu ilmunya. Artinya, ilmunya bermanfaat, fungsional. Banyak orang yang merasa dan disebut pintar, sekolahnya tinggi bahkan gelarnya banyak tapi hidupnya ribet, banyak masalah, urusan-urusannya tidak lancar, tak berintegritas, gelarnya tak menambah hormat orang padanya.
Di depan hormat formalitas, di belakang melecehkan. Ketika gagal atau ada kesalahan, bukannya introspeksi tapi orang lain yang jadi sasaran. Amarah mudah keluar, mudah tersinggung. Artinya, dia bukan orang yang berilmu atau "ilmunya" tidak bermanfaat.
Di wilayah substansi, nilai dan ruh, ilmu yang bermanfaat itu membawa kesadaran, sering menegur diri dan menyadarkan, makin banyak tahu makin merasa bodoh, makin banyak ilmu makin tawadhu, makin banyak ilmu makin ingin berbakti, makin banyak tahu makin takut tidak teramalkan, makin tinggi ilmu makin takut jadi kesombongan. Senang pada nasehat dan sangat membutuhkan.
Pikiran dan sikap makin bijak, jauh dari merasa paling benar sendiri. Terasa ke orang lain menenangkan, membawa keteduhan dan memberikan optimisme. Mendorong dan membangkitkan, bukan menghambat dan melemahkan.
Semakin bermanfaat ilmu seseorang, semakin banyak yang teramalkan, semakin barokah, semakin membawa kesadaran, akan makin menemukan rahasia-rahasia kehidupan. Di puncaknya akan semakin merasa dekat dengan Tuhan. Semakin rindu dan selalu ingin berada didekat-Nya untuk menggapai ridha dan cinta-Nya karena dia merasa bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa.
Ketika Tuhan membukakan pintu-pintu rahasia-Nya, rahasia ilmu dan kehidupan, itulah menemukan diri, itulah mengenal diri, itulah enlightenmemt, itulah tersibak, itulah pencerahan, itulah kasyaf, itulah makrifat!!
Demikian pesan Moeflich H. Hart. Wallahu a'lam.
Advertisement