Merah putih di rumah tua
Oleh: Ichwan Arifin
Kundi nama panggilannya. Usia sekitar setengah baya. Rambutnya yang memutih, dibiarkan panjang tanpa disisir rapi. Wajah berkeriput dipahat waktu dan beban yang dipikul.
Tubuh kurusnya dibalut kaos yang mulai pudar warnanya. Nada bicaranya berat, kadang diselingi batuk. Nampak jelas tubuhnya melemah dan dikuasai rasa sakit. Meski begitu, sorot matanya masih memancarkan semangat. Rokok dan kopi hitam kental tak pernah terpisah darinya.
Lelaki setengah baya itu tinggal sebuah rumah tua di pinggiran Kota Bengawan. Rumah itu kecil, dihuninya sendirian. Dindingnya tampak retak dan sebagian catnya terkelupas. Tidak banyak perabotan. Hanya ada rak dengan beragam buku dan meja kursi yang sudah tua. Di meja kayu yang usang, terdapat asbak penuh dengan puntung rokok. Bau samar tembakau menggantung di udara, sebagian lainnya melekat ke dinding rumah.
Aku mengenalnya waktu di kampus. Kundi mahasiswa senior yang disegani. Pengetahuannya sangat luas. Filsafat dan ragam ideologi dunia dikuasainya. Daya analisisnya mumpuni dan tajam. Ia selalu memberikan pandangan dalam perspektif beragam di setiap diskusi. Cara bertuturnya sistematis, menarik dan mudah dipahami.
Dari Kundilah aku mengenal dunia aktivis mahasiswa, bahkan kemudian menjadi bagian dari pegiatnya. Dalam setiap forum diskusi kaderisasi, Kundi selalu memberikan materi tentang ideologi. Caranya menjelaskan ragam ideologi dunia seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme dan sebagainya sangat mudah dipahami bagi aktivis pemula.
Saat itu kekuasaan rejim Orde Baru begitu “powerfull”. Kundi menjadi bagian dari penentangnya. Saat itu, semua organisasi tunduk dalam kooptasi rejim. Hanya makhluk langka yang berani memilih jalan berseberangan dan mengobarkan perlawanan. Kundi salah satunya. “Sebuah rejim dapat menutupi kebenaran dalam satu waktu. Namun tidak dalam keseluruhan waktu!” ungkapnya berapi-api di depan anak-anak muda yang tengah merasakan gairah pergerakan.
Depolitisasi membuahkan generasi yang apatis terhadap politik, ideologi dan pergulatan pemikiran lainnya. Menurut Kundi, pendidikan kepada rakyat menjadi satu cara melakukan perlawanan. Apalagi pendidikan formal telah bermetamorfosis menjadi bagian dari instrumen menciptakan keadaan yang disebut Paolo Freire sebagai “kebudayaan bisu”.
Kundi menjelaskan, dalam struktur masyarakat seperti itu, tidak muncul kesadaran kritis. Kaum tertindas menerima penindasan sebagai nasib. Bahkan, dalam benak mereka muncul ketakutan kan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka.
*
Narasi itu membuatku semakin tertarik menggeluti organisasi pergerakan. Interaksiku dengan Kundi semakin intensif. Hasil diskusi itu kutuliskan di beragam media massa. Artikelku juga banyak mewarnai media “bawah tanah”. Pilihan kata, diksi lebih agitatif dan tentu dengan nama samaran.
Lambat laun, aku makin dikenal dan berhasil membangun jejaring secara luas. Menjadi bagian dari elite organisasi.
Kundi tidak pernah mau masuk ke dalam struktur organisasi. “Wo, aku gak mau terbelenggu dalam struktur. Gak bisa bergerak bebas. Kita berbagi peran saja,” jawabnya saat kuminta masuk ke dalam kepengurusan. Ia memilih bekerja di balik layar. Mendampingi anak-anak muda yang tengah haus dengan ilmu pengetahuan. “Aku punya kewajiban moral mengawal mereka supaya tidak sesat pikir,” ungkapnya sambil bercanda.
Aku sibuk dengan jejaring pergerakan dan juga fokus pada kampus, sedangkan Kundi terus mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk mewartakan ide-ide perubahan. Kuliah pun ditinggalkan sebagai kritiknya pada dunia pendidikan. Mendekati kejatuhan rejim orde baru, Kundi sibuk mengorganisasi buruh, pemuda dan kaum miskin kota. Menjadikannya sebagai garda terdepan dalam melawan rejim.
Saat itu aku sudah jarang bertemu dengannya. Pada saat tangan-tangan kekuasaan “menciduk” para aktivis yang dianggap kiri, anti pemerintah atau di cap subversif, aku pun sempat khawatir keberadaannya. Sebelumnya, aku sudah mendapatkan informasi akan adanya gerakan “pembersihan” tersebut. Aku pun “tiarap” dari pergerakan untuk sementara waktu. Dikemudian hari, aku baru tahu kalau Kundi selamat dari pencidukan.
Reformasi 1998 membuahkan banyak hal. Keran demokratisasi dibuka lebar. Banyak aktivis mahasiswa dan pro-demokrasi kemudian masuk dunia politik. Sebagian di antaranya berhasil duduk di parlemen. Sebagian lainnya menjadi pejabat, komisaris perusahaan dan sebagainya. Di luar itu, banyak juga orang-orang yang bermetamorfosis secara cepat. Dulu komprador, sekarang berwajah reformis.
**
Saat itu, aku sudah menjauh dari hingar bingar politik, memilih menekuni bisnis warisan orang tua. Sesekali berkomunikasi dengan teman-teman lama sesama aktivis. Sekedar merawat jejaring dan mengobati kerinduan perdebatan ide dan gagasan-gagasan besar.
Aku tak pernah mendengar kabar Kundi. Hingga pada satu saat, dapat kabar kalau dia sakit parah. Ternyata selama ini, Kundi pindah ke Kota Bengawan. Menempati rumah kontrak dekat pinggiran Bengawan Solo. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tidak punya penghasilan tetap dan hidup sendiri.
Wulan, istrinya memutuskan berpisah. Perempuan yang dulu mengagumi Kundi itu, tidak kuat dengan gaya hidup suaminya yang “anti kemapanan”. Akhirnya, Kundi hidup dalam kesendirian. Meski semangatnya tak pernah sendirian.
Kundi juga banyak menelan kekecewaan terhadap teman-temannya sesama aktivis. Dianggap lupa dengan cita-cita yang diperjuangkan dan nilai-nilai yang diyakini, setelah merasakan nikmatnya kekuasaan. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” dalil klasik ilmuwan politik Lord Acton itu tidak pernah usang.
*
Saat aku tiba di rumahnya kulihat Kundi tergolek lemah di ranjang reot dengan kasur busa tipis. Tubuhnya kurus dan ringkih. Tak tersisa kegagahannya semasa muda. Fisiknya melemah, namun matanya masih memancarkan api semangat yang membara.
“Wo… sampai juga kau di rumah ini…. Makasih kunjungannya…. Meski kau udah jadi bagian borjuasi..masih ingat ma aku..hehehe,” sapanya bercanda saat kuulurkan tanganku.
Bicaranya sudah susah dan daya ingatannya pun mulai menurun. Tidak banyak yang kubicarakan. Kundi menolak saat kutawarkan ke rumah sakit. Baginya sakit adalah proses dialektika dalam hidupnya yang harus dijalani dan dinikmati.
Di kamar kecilnya itu, beragam buku menjadi teman setianya. Kertas-kertas catatan diskusi dan sebuah laptop tua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Di sudut kamar terpajang kain merah putih. Warnanya pudar dan terlihat lusuh.
Kain itu sama dengan kain yang dulu selalu dibawa dalam forum-forum diskusi dan aktivitas lainnya. Bukan sekadar selembar kain, namun membawa kenangan terhadap perjalanan intelektual dan dinamika pergerakan yang telah dijalani.
Selamat jalan kawan!
Advertisement