Merah Putih Berkibar di Jembatan Wonokromo
Surabaya: Setiap menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, hati pedagang bendera Merah Putih berbunga-bunga. Seperti pedagang seragam sekolah menjelang tahun ajaran baru. Seperti pedagang kambing jelang Idul Adha.
Di Surabaya, pusat pedagang bendera dan asesorisnya ada di Jembatan Wonokromo. Empat tahun yang lalu lapak penjual bendera juga ada di sebelah barat sisi jembatan, tetapi lapak-lapak itu sudah dibersihkan.
Kini tinggal di sisi timur, tepatnya di tikungan hingga belok ke kiri ke Jalan Jagir Wonokromo. Sedikitnya ada 15 pedagang bendera dan asesorisnya seperti tiang bendera baik dari bambu maupun pipa, umbul-umbul, syal dan lain sebagainya.
Di ujung selatan Jl. Darmo Kali sebelum naik ke Jembatan Wonokromo itu, sekarang juga banyak pedagang bendera dan asesorisnya. Bagi yang sudah lama tidak lewat jalan ini pasti akan terkejut, sebab dari pertigaan Jl. Marmoyo hingga Jembatan Wonokromo hampir semua rumah di kanan dan kiri jalan dipakai untuk jual bendera.
Jumlahnya lebih dari 30 pedagang. Beberapa diantaranya memproduksi sendiri bendera Merah Putih berbagai ukuran. Inilah mungkin pusat Sang Saka terbesar di Jawa Timur. Para pedagang di ujung selatan Jl. Darmo Kali ini terbilang baru, belum genap 4 tahun.
Melewati sepotong Jl. Darmo Kali ini bagaikan melewati arena perayaan. Umbul-umbul warna merah putih dan warna lainnya dengan tiang-tiangnya berdiri berjajar di kanan kiri jalan hingga ke Jembatan Wonokromo. Suasananya mirip pesta atau perayaan, padahal semua yang dipasang iitu adalah dagangan.
Tetapi untuk pedagang yang ada di sisi timur Jembatan Wonokromo, 3 pedagang diantaranya sudah membuka lapak bendera sejak Indonesia merdeka.
Siti Ngaisah, 43 tahun, meneruskan usaha orang tuanya yang membuka lapak bendera sejak tahun 1945. “Begitu Indonesia merdeka, ibu saya jual bendera merah putih di sini. Akhirnya usaha ini jadi usaha keluarga sebagai warisan dari orang tua,” katanya.
Menjelang peringatan kemerdekaan seperti hari-hari ini, dagangan keluarga Siti Ngaisah cukup laris. “Pembeli ada saja yang datang, tidak kenal waktu. Jadi kami ya gantian jaga toko selama 24 jam. Dalam sehari bisa terjual 100 sampai 120 bendera berbagai ukuran. Terbanyak ya ukuran 80 x 120 cm, harganya Rp 20 sampai Rp 25 ribu,” tambahnya.
Untuk ukuran yang lebih kecil, 40 x 90 cm harganya Rp 15 ribu. Sedang umbul-umbul merah putih harganya antara Rp 35 sampai Rp 110 ribu, tergantung kwalitas bahan. Tiang bendera yang dari bamboo biasa Rp 25 ribu. Tetapi yang dari bambo dicat puutih Rp 50 ribu. Sedang tiang dari pipa Rp 150 ribu.
Agus Budiantoro, pedagang bendera lainnya yang membuka lapak menempel sisi utara jembatan, juga mengatakan hal yang sama, menjelang hari kemerdekaan adalah masa panen bagi pedagang bendera. “Omsetnya lumayan, sehari bisa terjual hingga 200 bendera. Tapi setelah hari kemerdekaan, dalam sehari belum tentu laku lima lembar,” katanya.
Harus diakui, pengibaran Merah Putih pada hari kemerdekaan 17 Agustus tidak sesemarak dahulu. Dahulu, tiap rumah hingga ke kampung-kampung semuanya mengibarkan Sang Saka. Tetapi sekarang, hanya di ujung kampung yang dihiasi bendera, sedang rumah-rumah di dalam kampung taka da yang mengibarkan bendera.
Cara rakyat memperingati hari kemerdekaan sudah tidak sesemarak dahulu, apakah karena masyarakat sudah terlalu sibuk dengan urusan masing-masing? Atau, apakah ikut menyemarakkan hari kemerdekaan cukup melalui WhatsApp? (m. anis)
Siti Ngaisah, pedagang bendera di sisi timur Jembatan Wonokromo Surabaya, meneruskan usaha orang tuanya yang membuka lapak sejak tahun 1945. (foto: anis)