Menyucikan Jiwa dan Keadaan Orang-Orang Saleh, Kisah An-Nawadir
Alkisah penuh hikmah. Ibrahim bin Adham mengisahkan:
Suatu waktu, aku pergi menjalankan ibadah haji di Baitul Haram. Tidak kuduga, udara yang sangat dingin menyambutku. Tak kuasa atas hawa ini, aku pergi ke gua yang terdapat di sebuah gunung. Tiba-tiba, seekor harimau besar masuk ke dalam gua tersebut. Setelah mengetahui keberadaanku, harimau tersebut berkata, “Siapa yang memasukkan engkau ke dalam tempatku ini tanpa izinku?”
“Aku hanyalah seorang asing yang tersesat. Aku datang kepadamu sebagai tamu pada malam ini,” jawabku.
Maka, ia pun berpaling dariku, dan tidur di sampingku. Semalam suntuk, aku membaca al-Our'an hingga waktu subuh. Ketika aku hendak keluar, harimau berkata kepadaku “Wahai Ibrahim, jauhilah sifat ujub. Engkau berkata aku tidur di samping harimau, dan selamat darinya. Demi Allah, sudah tiga hari ini aku belum makan apa pun sama sekali. Seandainya, engkau bukan tamuku maka engkau pasti aku makan.”
Mendengar ucapan harimau itu, aku tertegun seolah tidak percaya. Setelah itu, aku memuji Allah Swt. dan berpaling darinya. Ketika selesai melaksanakan ibadah haji, dan menuju tempat ibadah di rumah, hasratku untuk memakan buah delima datang, selama beberapa waktu, sekitar dua puluh tahun. Sengaja, aku menundanya.
Suatu malam, jiwaku berkata, “Demi Allah, apabila engkau tidak memenuhi syahwatku, niscaya aku akan malas melaksanakan ibadah.”
Tempat Ramai Penuh Syahwat
Maka, aku berkata kepada jiwaku, “Wahai jiwa, berjuanglah! Ketika aku masuk ke suatu tempat ramai, aku akan memenuhi syahwatmu." Tiba-tiba, tergerak hatiku untuk singgah di suatu daratan. Di sana, aku menemukan pohon. Aku hendak memanfaatkannya. Ternyata, pohon yang aku temukan tersebut adalah pohon delima. Pada dahan-dahannya, bergelantungan buah delima. Aku mengambil satu buah delima dari pohon tersebut. Aneh, buah delima itu rasanya asam. Aku pun mencoba untuk kedua, ketiga, dan keempat. Pada saat itu, aku berkata dalam hati, “Engkau tidak akan tertarik, kecuali pada buah yang terasa manis.”
Maka, aku pergi ke suatu bangunan. Aku bertemu dengan seseorang di sana. Aku meminta buah delima darinya. Ia memberikan satu biji delima. Sama saja dengan sebelumnya, buah delima pemberian orang tersebut terasa asam. Aku menceritakan itu kepadanya.
“Wahai Ibrahim, engkau hanya mengikuti nafsumu sesuai dengan keinginanmu. Demi Allah, aku berada di kebun ini selama empat puluh tahun. Akan tetapi, aku tidak mengetahui manis atau kecut.”
Sikap orang asing tersebut membuat aku kaget. Kemudian, aku kembali berjalan. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan seorang pemuda yang tertimpa musibah, burung-burung mematuki tubuhnya, dan ulat-ulat bermunculan dari lekukan-lekukan tubuhnya.
“Alhamdulillah, Dia-lah Allah yang telah memberikan kesehatan kepadaku dari cobaan-cobaan yang ditimpakan kepada makhluk-makhluk lain.”
Sungguh, betapa terkejutnya aku mendengar ucapan orang ini.
“Wahai Kisanak, cobaan apa yang lebih besar dari yang menimpamu?” tanyaku.
la terkejut melihatku.
“Ibrahim, patukan burung-burung pada tubuhku lebih baik daripada keinginan memakan buah delima. Akan tetapi, Dia mengetahui engkau hanyalah hamba yang menentang. Maka, Dia menggantikan rasa manis dengan asam,” ucapnya.
Mendengar penjelasan orang itu, aku pingsan. Ketika sadar, aku berkata kepadanya, “Kisanak, sekiranya engkau berada di magam (derajat) ini, tidakkah engkau meminta Allah Swt. agar disembuhkan dari penyakit yang menimpamu tersebut?”
“Wahai Ibrahim, Dia-lah Dzat yang mengatur hamba, menghukumi mereka sekehendak-Nya, dan melakukan sesuatu untuk mereka sekehendak-Nya juga. Maka, berapa banyak hamba yang sabar atas cobaan-Nya dan ridha atas ketentuan-Nya? Demi Allah, wahai Ibrahim, seandainya Dia memotong tubuhku sepotongsepotong, maka semakin saja aku mencintai-Nya.”
Dengan penuh takjub, aku pergi darinya.
Wallaahu a'lam.
Demikian kisah yang termuat dalam Kitab An-Nawadir.