Menyongsong Peradaban Baru Surabaya dengan Kearifan Lokal
Kota Surabaya kian tahun kian berkembang. Kini Surabaya sudah berjuluk sebagai kota metropolitan. Bahkan ada yang menganggap Surabaya sebagai kota kosmopolitan.
Karenanya, Surabaya tidak hanya dihuni oleh warga lokal atau pun nasional, tapi sudah menjadi rumah bagi komunitas global. Di kawasan perumahan elit Surabaya Barat, misalnya, sudah terdapat kluster-kluster yang tidak berbau lokal. Bahkan yang berbau lokal sudah terpental.
Bahasa, yang dipakai oleh sebagian warga Surabaya, sudah tidak bahasa Suroboyoan atau bahasa Jawa sub dialeg Surabaya. Mereka sudah terbiasa dan bahkan bangga dengan menggunakan bahasa asing. Akibatnya, bahasa Suroboyoan semakin terpinggirkan dan bahkan seolah terkubur di lahan sendiri.
Makanan-makanan khas Surabaya semakin langka. Semanggi Surabaya, Lontong balap Surabaya dan Rujak Cinggur hanya dijual di tempat-tempat tertentu. Tidak lagi tersedia secara masal dan sporadis seperti makanan roti bakar Bandung, cilok yang merajalela di sekolah sekolah termasuk makanan siap saji asal manca seperti KFC, McDonald, serta Pizza.
Belum lagi bicara tentang arsitektur hunian, yang tidak lagi limasan dengan sosoran pada teras bangunan. Klaster-klaster hunian di Surabaya sudah bergaya eropa, kontemporer, modern atau apalah namanya, yang semuanya sudah tidak mengekspresikan cita rasa lokal.
Kata Prabu Jayabaya melalui jangkanya, Surabaya bagaikan "Kali kelangan kedunge" (sungai kehilangan sumber mata airnya). Surabaya bagaikan kota yang semakin kehilangan jati dirinya.
Surabaya, di antara jajaran Kota Kota besar lain di Indonesia, adalah kota yang berkembang dengan pesat. Tidak hanya dalam perkembangan fisik perkotaan, namun juga dalam segi non-fisik. Masyarakat Surabaya menjadi masyarakat yang berfikir secara praktis, pragmatis dan instant. Tidak banyak warga kota, yang berfikir secara estetis dan apalagi filosofis.
Dulu, ketika Indonesia masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda, warga Surabaya juga warga Nusantara lainnya, dalam membangun rumah, misalnya, baik secara tradional maupun "modern", setiap unit rumah yang dibangun masih memperhatikan nilai-nilai seni dan budaya sehingga pada sudut-sudut bangunan diberi penyelesaian yang artistik. Dengan demikian penghuninya bisa menikmati sentuhan nilai-nilai seni, filosofi yang dibutuhkan manusia sebagai keseimbangan hidup.
Bahkan, di perkampungan tradisional Madura, hingga kini, masih terselip nilai-nilai agamis yang mengingatkan manusia pada kematian. Perumahan tradisional di Madura ini dikenal dengan nama "Tanian Lanjeng" atau halaman panjang.
Jadi orang dulu tidak hanya mendapati rumah sebagi tempat untuk berteduh dan tidur, tapi juga merupakan tempat untuk menghayati arti hidup dan kehidupan.
Sekarang, jika kita melihat apa yang berangsur hadir di Surabaya, adalah wujud terjadinya proses degradasi nilai-nilai kearifan lokal. Cepat atau lambat, nilai nilai lokal itu akan hilang dari Surabaya. Nilai-nilai lokal itu kian bergeser ke nilai-nilai kontemporer, nasional dan bahkan international. Bukan berarti mempertahankan nilai-nilai kedaerahan ini adalah ekpresi ego kedaerahan.
Surabaya memang tidak menutup terjadinya perkembangan jaman. Namun, jangan sampai perkembangan kota ini menenggelamkan kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai ruh harus tetap bersemayam pada diri warga kota Surabaya dan bertengger di Surabaya.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat, yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat.
Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempatkota Surabaya. Kearifan lokal juga merupakan pola pikir suatu masyarakat.
Karenanya, Surabaya dalam berkreasi, berinovasi dan berinspirasi dalam pembangunan hendaknya terhiasi dengan kearifan lokalnya. Sejarah kota, peradaban kota, nilai-nilai kepahlawanan kota, semangat perjuangan, seni dan budaya kota, sifat egaliter warga kota Surabaya adalah kearifan lokal. Dari sekarang dan ke depan, apapun pembangunan kota Surabaya, baik fisik maupun non-fisik, akan lebih bijak kalau terhiasi oleh kearifan kearifan itu.
Selama ini banyak kegiatan baik oleh pemerintah kota maupun oleh kelompok-kelompok komunitas telah menghiasi kota Surabaya. Misalnya serangkaian kegiatan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, Hari Jadi Kota Surabaya atau Peringatan Hari Kemerdekaan. Sayang, rangkaian kegiatan ini bersifat musiman, hanya pada hari hari tertentu saja. Semangat kearifan lokal Surabaya kurang diekspresikan sepanjang tahun mulai Januari hingga Desember.
Ekspresi kearifan lokal tidak harus dalam bentuk rangkaian penyelenggaraan peringatan Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan, tapi bisa diwujudkan dalam kegiatan kurikulum sekolah (adanya muatan lokal) kegiatan pemerintahan dan kegiatan kesenian dan kebudayaan lainnya.
Atas kesadaran dan niatan untuk menjaga kearifan lokal, jati diri dan ruh kota Surabaya, tidak kurang dari 50 seniman, budayawan, akademisi, politisi, pemerhati dan pegiat sejarah kota Surabaya berkumpul dan menyampaikan kepedulian mereka kepada Wakil Ketua DPRD Surabaya, A.H. Thony, dalam sebuah agenda reses di kawasan Surabaya Selatan pada Minggu, 2 Februari 2020.
A.H. Thony menghargai beragam gagasan yang disampaikan dan menurutnya semua gagasan itu mengkristal pada suatu inti, yang bisa dijadikan sumber kebijakan hukum dan peraturan Walikota Surabaya dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang bercirikan kearifan lokal, kepahlawanan.
A.H. Thony menambahkan bahwa gagasan-gagasan dari para seniman, budayawan, pemerhati dan pegiat sejarah, akademisi dalam reses itu bisa dibawa ke Dewan untuk diusulkan sebagai Perda Inisiatif tentang Surabaya Kota Pahlawan. Menurut Thony, usulan para seniman dan budayawan ini bisa jadi sebuah Perda Inisiatif murni, bukan titipan dari eksekutif.
Jojon, salah seorang hadirin, menanyakan tentang siapa yang akan menjadi leading sector dalam menjalankan perda. Menyadari pentingnya perda inisiatif ini bagi Surabaya sebagai kota Pahlawan, maka Walikota Surabaya dan DPRD harus saling berkomitmen untuk mengemban Perda Surabaya Kota Pahlawan untuk mewujudkan Surabaya yang berkearifan lokal dan berjati diri sebagai Kota Pahlawan.
Sebagaimana terungkap dalam reses ini, Kuncarsono Prasetyo, penggerak Forum Begandring Soerabaia, mengatakan bahwa Surabaya yang berjuluk Kota Pahlawan bermula ketika Presiden RI pertama Ir Soekarno meresmikan Tugu Pahlawan pada 10 November 1950. Di sela sela peresmian itu, Bung Karno menitahkan bahwa selain meresmikan pembangunan Tugu Pahlawan, kota Surabaya juga layak disebut sebagai Kota Pahlawan.
Sejak itulah "titah" presiden menjadi keputusan, yang kemudian berlaku secara nasional dan Surabaya pun dikenal sebagai Kota Pahlawan. Maka, Perda Inisiatif ini nantinya juga menjadi sarana untuk menetapkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan secara resmi dan legal secara hukum.
Tidak hanya itu, Perda Surabaya Kota Pahlawan ini akan menjadi inti "atom" yang akan menggerakkan kreativitas, innovasi dan inspirasi yang akhirnya menjadi produk produk kegiatan di segala bidang yang mengandung ciri khas nilai-nilai kepahlawan sebagaimana predikat yang disandang Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Maka, kelak betapa majunya dan berkembangnya Surabaya, di sana masih tersematkan kekhasan kota baik yang dapat dilihat, didengar maupun dirasa. Surabaya siap berkembang dan maju tanpa harus meninggalkan kekhasan yang dimilikinya.