Menyongsong Pemimpin Baru NU
Hanya tiga hari jelang Muktamar ke 34 NU di Lampung, gairah baru akan kepemimpinan baru muncul di publik. Khususnya menyangkut calon terkuat Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Ada tiga seminar maupun webinar yang berlangsung hampir bersamaan. Digelar lembaga yang berbeda. Tidak hanya dari lingkungan NU. Tapi juga dari lembaga di luar Ormas Islam terbesar ini.
Pertama Diskusi Buku Menghidupkan Gus Dur, Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf. Kedua, peluncuran buku Biografi KH Yahya Cholil Staquf; Derap Langkah dan Gagasan. Ketiga, Webinar Pra Muktamar ke 34 NU.
Penyelenggara ketiga acara itu berbeda. Mulai dari penerbitnya sendiri, PSKP UGM, sampai Yayasan Paramadina. Pembicaranya pun beragam. Mulai penulis buku sampai para pengamat dari luar negeri.
Ketiga kegiatan seminar dan webinar itu mencerminkan gairah baru. Gairah perubahan di lingkungan NU. Gairah dari dalam dan gairah dari luar. Tidak hanya kalangan Nahdliyin yang punya harapan itu. Pihak luar pun punya harapan yang sama.
Kegiatan itu juga mencerminkan posisi penting NU dalam percaturan peradaban saat ini. Kepemimpinan NU dianggap akan memberikan makna bagi masa depan bangsa. Sekaligus menjadi bagian penting yang ikut menentukan arah peradaban manusia.
Tak selalu kehadiran sosok baru dalam perhelatan besar NU mendapat sambutan gegap gempita. Salah satunya ketika tampilnya KH Abdurrahman Wahid dalam Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo. Ia menggantikan KH Idham Chalid yang politisi.
Apakah KH Yahya Cholil Staquf ini menjadi harapan munculnya kepemimpinan NU seperti ketika tampilnya Gus Dur --panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid?
Dalam derajat yang berbeda ada nuansa seperti itu. Ada harapan menghidupkan kembali Gus Dur melalui Yahya Staquf. Dan itu terungkap lewat bedah Buku Menghidupkan Gus Dur yang dihadiri berbagai kalangan.
Buku itu berisi tentang penggalan kenangan Yahya Staquf bersama Gus Dur. Putra KH Cholil Bisri yang kini menjabat sebagai Katib Aam PBNU ini merupakan salah satu kader cucu pendiri NU KH Hasyim Asyari.
Saat Gus Dur menjadi Presiden RI, Yahya Staquf menjadi salah satu juru bicara kepresidenan. Ia pula yang membacakan Dekrit Presiden Gus Dur yang berujung pelengseran oleh MPR RI dari kepresidenan.
“Gus Yahya ini pewaris keberanian Gus Dur yang paling top. Juru bicara lain tak ada tang berani bacakan dekrit presiden, Gus Yahya berani,” kata keponakan Gus Dur yang Ketum PKB A Muhaimin Iskandar.
Menurutnya, Gus Yahya mewarisi keberanian Gus Dur karena tahu kesehariannya, tahu fiqhnya, tahu akidahnya, bahkan tahu latar belakang sosiologisnya. Keberanian itu yang juga tercermin hingga sekarang.
Kedua, lanjut Cak Imin --demikian ia biasa dipanggil-- Gus Yahya mewarisi kepercayaan diri Gus Dur. “Jauh hari dia sudah penuh kepercayaan diri akan terpilih jadi Ketum PBNU. Kepercayaan diri seperti itu hanya ada pada Gus Dur,” tambahnya.
Gus Yahya memang salah satu orang yang beruntung pernah dikader langsung Gus Dur. Bahkan, sebelum ia kenal dan bertemu dengannya. Ia suka sekali diajak ngobrol soal Gus Dur oleh pamannya KH A Mustofa Bisri.
Gus Dur mengenal Gus Yahya sebelum bertemu langsung. Karena sering mendapat cerita dari Gus Mus --panggilan akrab KH A Mustofa Bisri-- tentang keponakannya itu. Gus Yahya baru bertemu kali pertama dengan Gus Dur tahun 1987, saat dia masih jadi mahasiswa UGM.
Selain belajar agama di Pondok Pesantren Krapyak, Gus Yahya adalah mahasiswa jurusan sosiologi UGM. Sebelumnya, ia menjadi siswa SMAN Teladan Jogjakarta. Inilah SMA yang dikenal berisi anak-anak pintar di Kota gudeg ini.
Keresahannya tentang berbagai hal sudah muncul sejak mahasiswa. Tentang ketidakadilan politik, tentang masa depan Islam, bahkan tentang NU yang kini ia telah menjadi salah satu tokohnya. Keresahan-keresahan itu yang menyeret dia menjadi aktivis kampus.
Gus Yahya muda adalah mahasiswa yang pintar. Penguasaan ilmu dan teori-teori sosial yang digelutinya di kampus kuat. Bahkan, seperti juga pamannya, ia juga merambah bacaan ke berbagai referensi sastra. Ia adalah tokoh sejak mahasiswa.
Sayang, ia tidak mau menyelesaikan kuliahnya secara formal. Tak mau menggarap tugas akhirnya. Bukan karena tidak bisa. Tapi tidak mau. Merasa tidak ada gunanya menyelesaikan kesarjanaan secara tuntas.
Ia begitu patuh kepada orang tuanya yang menjadi pengasuh Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang. Ia pun kembali ke kampung setelah sempat belajar di Makkah, beberapa tahun. Gus Yahya sepenuhnya menggantikan posisi ayahnya setelah beliau wafat.
Pergulatannya tentang NU sejak muda itulah yang kemudian ia tuangkan dalam buku yang ia tulis sendiri. Judulnya PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. Inilah buku yang ditulis berdasarkan hasil perenungannya bertahun-tahun tentang NU.
Dalam buku itu, ia meyakini NU didirikan oleh para pendirinya bukan untuk membangun firqah baru dalam Islam. Ia didirikan sebagai ladang baru untuk merespon keruntuhan peradaban Islam yang hidup selama 1300 tahun dengan puncaknya kekhalifahan Usmaniyah.
“Kenapa dinamakan NU? Padahal sebelumnya sudah berdiri Nahdlatul Tujjar dan Nahdlatul Wathon. Ini karena para muasis (pendiri) membayangkan NU untuk membangun peradaban baru. Dan yang harus membangun peradaban itu dalam Islam ya ulama,” kata Gus Yahya yakin.
Baginya, untuk bisa mewujudkan cita-cita para pendiri itu, NU harus kuat secara jamiyah. Artinya, keberadaan organisasi NU harus bermakna bagi warganya. Jangan sampai warga NU hanya terikat secara kultural, tapi juga secara organisasi.
Karena keanggotaan NU bersifat terbuka, ia membayangkan NU sebagai jamiyah harus berfungsi seperti negara. Mampu melayani kebutuhan warganya untuk bersama dalam gerbong membangun peradaban baru yang sekarang masih sedang dalam pembentukan.
Rasanya belum pernah pemimpin NU yang berpikir sejauh itu selain para pendiri dan Gus Dur. Gus Yahya menjadi harapan banyak orang yang menginginkan peradaban dunia yang lebih baik. Rasanya juga menjadi harapan sebagian besar warga NU.
Hanya mereka yang merasa terancam kehilangan terhadap sumberdaya di peradaban yang bermasalah ini yang tak menghendakinya. Yang sekadar membayangkan peran ecek-ecek NU. Bukan menjadi pembawa gerbong, tapi sekadar taksi tumpangan.
Muktamar NU di Lampung akan menjadi tonggak peran NU ke depan: Tetap menjadi taksi tumpangan atau pembawa gerbong ummat. Menjadi ladang persemaian hadirnya peradaban baru atau bagian dari peradaban yang telah runtuh sekarang ini?