Menyoal Waktu Subuh, Penjelasan Komisi Fatwa MUI dan Pakar LAN
Soal pergeseran waktu Subuh bukan yang pertama kali. Sebelumnya, Prof. Ahmad Zahro berpendapat waktu Azan Subuh lebih mundur sekitar 20 menit. Saat ini Ormas Islam Muhammadiyah berpendapat lebih mundur 8 menit.
"Para pakar ilmu astronomi baik dari NU atau Kemenag juga sudah melakukan observasi dan jadwal Azan Subuh tetap tidak berubah," tutur Ust Muhammad Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, dalam keterangan Senin, 15 Maret 2021.
Menurutnya, dari Ormas Islam Muhammadiyah tentu memiliki hasil penelitian tersendiri.
"Bagi warga jamaah Muhammadiyah yang makmum di masjid NU in sya Allah tetap aman. Sebab ketika Azan Subuh mengikuti jam Kemenag/NU, lalu masih ada Salat Sunah Fajar, lanjut puji-pujian dan doa, begitu Salat Subuh sudah 'pas' dengan Waktu Subuh menurut Muhammadiyah," tutur Ketua PW Lembaga Aswaja NU Center Jawa Timur.
Menurut Ustaz Ma'ruf Khozin, umat Islam secara luas patut mempertimbangkan informasi dari pakar. Seperti ulasan Prof Thomas Djamaluddin, Ketua LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)
Berikut ulasan Prof Thomas Djamaluddin, yang juga Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama.
Pada 23-25 April 2018 dilaksanakan Temu Kerja Hisab Rukyat Kementerian Agama RI di Labuan Bajo, sekaligus dimanfaatkan untuk pengamatan fajar untuk penentuan waktu shubuh. Beberapa waktu sebelumnya ada kalangan yang meragukan waktu shubuh yang ada di jadwal shalat yang berlaku di Indonesia saat ini.
Oleh karenanya Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI melakukan pengamatan fajar di daerah yang minim polusi cahaya. Labuan Bajo tergolong minim polusi cahaya karena cahaya lampu kota belum terlalu banyak, sehingga galaksi Bima Sakti (Milky Way) pun terlihat dengan jelas dengan mata telanjang.
Tim melakukan pengukuran dengan menggunakan SQM (Sky Quality Meter), kamera, dan secara visual sebelum fajar sampai matahari terbit. Pengukuran SQM dilakukan oleh Hendro Setyanto (astronom pengelola Imah Nong) pada 24 April 2018 dan Rukman Nugraha (astronom BMKG) pada 25 April 2018.
Pemotretan dengan kamera DSLR dilakukan AR Sugeng Riyadi (astronom amatir, Kepala Observatorium Assalam) dan diolah oleh Dr. Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM, Pengajar Falak di UIN Semarang). Saya melakukan pengamatan visual dan mendokumenasikan dengan kamera HP. Hasilnya, munculnya fajar pada saat ketinggian matahari -20 derajat mempunyai dukungan data pengamatan, jadi jadwal shalat yang dikeluarkan Kementerian Agama tidak terlalu cepat. Berikut rinciannya.
Pengukuran SQM oleh Hendro Setyanto (kurva biru) dan Rukman Nugraha (kurva coklat). Sumbu mendatar adalah waktu (WITa) dan sumbu tegak adalah ukuran kecerlangan langit dalam satuan MPSAS (Magnitude per Square Arc Second).
Kurva cahaya yang terukur dengan SQM menunjukkan bahwa penurunan magnitudo terjadi mulai pada pukul 04.46 WITa dan 04.44 WITa. Penurunan magnitudo mengindikasikan mulai munculnya cahaya fajar astronomi. Waktu tersebut bersesuaian dengan posisi matahari -19,5 dan -20 derajat.
Pemotretan dengan kamera DSLR yang disajikan mulai pukul 04.36 WITa (bersesuaian dengan ketinggian matahari -22 derajat) sampai pukul 05.00 WITa (bersesuaian dengan ketinggian matahari -16 derajat) dengan sudut pandang yang tetap dan waktu ekspos 25 detik.
Citra foto kemudian diolah untuk menghilangkan gangguan polusi cahaya. Caranya, setiap citra dikurangi (proses substraksi) dengan citra pada posisi matahari -22 derajat saat sebelum fajar. Hasilnya kemudian ditingkatkan kontrasnya (enhanced). Hasilnya sebagai berikut:
Fajar belum tampak pada pukul 04.40 WITa ketika posisi matahari -21 derajat.
Cahaya mulai tampak pada pukul 04.44 WITa ketika posisi matahari -20 derajat (untuk melihat cahaya fajar secara jelas, klik gambar di atas untuk membesarkannya). Posisi pusat fajar bersesuaian dengan posisi titik matahari terbit. Cahaya ini benar fajar shadiq (fajar sesungguhnya), bukan fajar kadzib (fajar semu) karena melebar di ufuk.
Citra fajar pada pukul 04.48 WITa (posisi matahari -19 derajat).
Citra fajar pada pukul 04.52 WITa (posisi matahari -18 derajat).
Citra fajar pada pukul 04.56 WITa (posisi matahari -17 derajat).
Citra fajar pada pukul 05.00 WITa (posisi matahari -16 derajat).
Tiga foto asli oleh AR Sugeng Riyadi (sebelum diolah) yang menggambarkan kondisi polusi cahaya (ada cahaya lampu di ufuk Timur), fajar yang sudah cukup terang, dan titik posisi matahari terbit.
Pengamatan visual yang saya lakukan secara umum menggambarkan karakteristik fajar astronomi sebagai awal shubuh, fajar nautika, dan fajar sipil.
1. Fajar astronomi tampak di ufuk Timur dalam kondisi masih gelap. Galaksi Bima Sakti di atas kepala masih terlihat dan kita belum bisa mengenali orang di sekitar kita. Itu sesuai dengan ungkapan dalam hadits Aisyah, bahwa sesudah shalat bersama Rasul para wanita pulang tidak saling mengenal. Juga sesuai dengan isyarat di dalam QS Ath-Thur (52):49 “Dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian malam dan ketika bintang-bintang meredup”. Munculnya fajar shadiq (fajar sesungguhnya, fajar astronomi) ditandai dengan meredupnya bintang-bintang di ufuk timur karena mulai munculnya cahaya akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer. Itulah awal waktu shubuh.
2. Fajar nautika ditandainya dengan mulai makin terangnya ufuk timur. Itu ditandainya dengan garis batas ufuk mulai terlihat dengan jelas. Di Labuan Bajo ufuk timur ada bukit. Cahaya fajar di latar belakang yang makin terang mulai menampakkan bentuk bukit yang lebih jelas. Orang di samping kita masih terlihat remang-remang, wajahnya belum tampak jelas.
Fajar nautika saya foto dengan kamera hp. Bukit di ufuk timur mulai terlihat jelas batasnya.
3. Fajar sipil ditandai dengan makin terangnya kondisi di sekitar kita, sebelum matahari terbit. Warna fajar mulai agak memerah di bagian bawahnya. Wajah orang sudah bisa kita kenali dengan baik.
Fajar sipil ditandai dengan fajar yang mulai memerah. Akhir fajar adalah terbitnya matahari.