Menyoal Usulan Pencalonan Pilkades Lewat Partai Politik: Tinjauan Zachman Framework
Oleh: Muntiara Rambe
Kemajuan suatu negara sangat bergantung pada kualitas pembangunan di tingkat desa. Desa, sebagai unit pemerintahan terkecil, memainkan peran krusial dalam membentuk kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pembangunan yang baik di desa tidak hanya meningkatkan taraf hidup penduduk, tetapi juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. Oleh karena itu, fokus pada pengembangan desa yang berkelanjutan dan inklusif menjadi kunci untuk mencapai kemajuan yang lebih luas dalam suatu negara.
Penting untuk dicatat bahwa usulan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) Republik Indonesia mengenai pencalonan kepala desa (Pilkades) melalui partai politik telah memicu perdebatan yang hangat dalam konteks desentralisasi dan demokrasi lokal. Desa, sebagai unit pemerintahan terkecil, memiliki peran krusial dalam pembangunan serta pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, usulan mengenai perubahan mekanisme pencalonan kepala desa perlu pengkajian serius dan dievaluasi dari berbagai sudut pandang, termasuk dampaknya terhadap demokrasi, partisipasi masyarakat, dan struktur pemerintahan daerah.
Asumsi masyarakat tentu menjadi penanda bahwa usulan tersebut memiliki dampak positif dan negatif setelah ditambahnya masa jabatan kepala desa. Di satu sisi, pencalonan melalui partai politik dapat meningkatkan akuntabilitas dan profesionalisme kepala desa, karena pimpinan desa akan lebih terikat dengan partai dan program-program yang telah disepakati. Selain itu, adanya upaya implementasi demokrasi yang sehat tanpa menghadirkan pertikaian antar masyarakat desa. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, menyatakan bahwa, “Dalam konteks pemilihan, jumlah korban jiwa lebih banyak terjadi pada pemilihan di tingkat desa dibandingkan dengan pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah.” Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bersama bahwa hal ini dapat mengurangi independensi desa dan mengedepankan kepentingan politik dibandingkan kebutuhan lokal. Ada apa di balik semua ini? Pertanyaan ini mengundang diskusi lebih lanjut tentang motivasi di balik usulan tersebut dan bagaimana implementasinya dapat memengaruhi dinamika pemerintahan desa serta keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi lokal.
Sebagai upaya menelaah dampak usulan ini, penulis menggunakan tinjauan dari Zachman Framework, Kerangka kerja ini, yang biasa dipakai dalam analisis struktur organisasi, membantu kita memahami bagaimana berbagai komponen dalam suatu sistem akan terpengaruh oleh perubahan tersebut. Beberapa poin utama sebagai kunci yang relevan untuk membantu kita memahami implikasi dari pencalonan kepala desa melalui partai politik dalam hal regulasi, proses, dan dampak sosial. Tinjauan Zachman Framework melihat dampak kehadiran partai politik dalam pilkades antara lain:
Pertama, keterlibatan partai politik sebagai pengusung calon kepala desa akan membawa perubahan peran yang signifikan, di mana partai bertindak sebagai penyaring kandidat. Hal ini kemungkinan besar akan membatasi kesempatan bagi individu tanpa afiliasi politik untuk maju, sehingga peluang bagi calon independen yang umumnya lebih dekat dengan masyarakat desa menjadi semakin kecil. Kedua, proses pencalonan akan mengikuti prosedur formal yang serupa dengan pemilihan legislatif, sehingga calon kepala desa harus mendapatkan dukungan partai. Kondisi ini dapat mendorong calon untuk lebih loyal pada partai dibandingkan masyarakat yang mereka wakili. Ketiga, jika diterapkan secara nasional, perubahan ini akan memperkuat kehadiran partai di seluruh desa Indonesia, yang dapat memicu perpecahan dan polarisasi dalam masyarakat karena struktur sosial desa umumnya homogen dan memiliki ikatan sosial yang kuat.
Keempat, implementasi perubahan ini membutuhkan waktu serta kesiapan administratif dan sosial, termasuk adaptasi struktur desa yang mungkin menghadapi peningkatan kompleksitas, beban anggaran, dan potensi resistensi dari masyarakat. Kelima, usulan ini mungkin bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan desa melalui seleksi yang lebih ketat, namun mengingat karakter masyarakat desa yang sangat menjunjung gotong royong, tujuan ini perlu ditelaah lebih mendalam agar tidak merusak nilai-nilai demokrasi partisipatif di tingkat desa. Terakhir, penerapan usulan ini akan menuntut pembaruan regulasi yang memungkinkan peran partai di tingkat desa, tetapi juga berisiko meningkatkan biaya politik dan mendorong terjadinya politik uang, berbeda dari sistem pilkades saat ini yang berjalan lebih langsung dan transparan dengan keterlibatan aktif masyarakat.
Pada kesimpulannya dalam menggunakan pendekatan sistematis ini, langkah alternatif berupa peningkatan kapabilitas calon kepala desa dapat dipertimbangkan. Melalui pelatihan kepemimpinan atau dukungan administrasi yang lebih baik, kualitas kepala desa dapat ditingkatkan tanpa harus melibatkan partai politik.
Penulis adalah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
E-mail: muntiararambe@gmail.com