Menyimak Puisi Politik Yudhis
Oleh: Yusuf Susilo Hartono
Mengiringi proses pelaksanaan Pemilu 2024, yang akan berpuncak pada 14 Februari 2024 mendatang, Yudhistira ANM Massardi sejak tahun lalu telah keliling daerah dan kampus di Jawa dan luar Jawa untuk "berkampanye" -- mewakili dirinya sendiri-- membacakan puisi-puisi politiknya. Masalahnya apakah para politisi mau mendengar?
Penyair, sekaligus jurnalis dan penulis novel hingga lirik lagu yang kondang itu, telah menggunakan hak pribadinya untuk menugaskan puisi-puisi(nya) sebagai alat mengekspresikan kegelisahannya atas situasi politik Tanah Air yang memprihatinkan. Terutama dalam pelaksanaan pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara da dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Agar negara dan masa depan bangsa Indonesia tetap terjaga kewarasan lahir batin, nalar, budi pekerti, hingga budayanya.
Untuk menciptakan perubahan lewat puisi itu, menurut cendekiawan sastra Dr. Maman Mahayana, Dosen Sastra FIB Universitas Indonesia, baru akan efektif bila upaya Yudhis ini dibarengi oleh penyair-penyair lain se-Indonesia, sehingga terjadi sebuah gerakan puisi masif untuk perbaikan politik Tanah Air. Seperti yang pernah dilakukan para penyair di negara tetangga Malaysia.
Dalam penampilannya terbaru bertajuk Safari Satra ke-5 "Puisi Gugat Politisi" di Aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, lt.4 Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki (TIM), 15 Januari 2024, Yudis tidak sendiri. Dalam membacakan puisi-puisinya ia ditemani aktris Renny Djajoesman, Yuka Mandiri. Juga dari komunitas sastra Jakarta, yakni Kurnia Effendi, Nanang R. Supriyatin, Yogi Karmas dan Jack Gozali.
Dalam usianya yang mendekati 70 tahun, Yudhis masih bisa bersuara lantang di panggung, meski beberapa kali harus dibantu dengan jeda untuk minum air mineral. Meskipun aksi panggungnya belum bisa mengalahkan aksi panggung si burung merak Rendra (almarhum), secara umum penampilan Yudhis masih enak ditonton dan perlu. Dalam arti, dengan gaya personalnya itu, ia mampu menyampaikan larik-larik puisi-puisinya kepada audiensi, sehingga makna konotatif maupun denotatifnya bisa ditangkap dengan telinga pikiran maupun telinga batin penonton.
Puisi-puisi politik Yudhis, yang beririsan dengan puisi esai dan jurnalistik, secara umum membongkar berbagai realitas yang ada di depan mata, bahkan telah banyak diungkap oleh media massa maupun media sosial. Dengan kecerdikan dan pengalamannya, ia meracik
realitas empiris menjadi realitas imajinatif. Di titik itu, Yudhis membawa penontonnya untuk sama-sama membayangkan adanya kebenaran dan perubahan.
Pesimis, Optimis dan Perubahan
Yudhis bukan penyair pertama yang menulis dan membacakan puisi-puisi politik di panggung. Lebih dulu sudah ada Rendra dan Taufiq Ismail, untuk menunjuk sedikit contohnya. Tapi dalam konteks Pemilu 2024, ia penyair pertama yang secara sadar bersafari "kampanye" menggugat dunia politik Tanah Air.
Puisi-puisi politik Yudhis, sebagai puisi panggung, diliputi suasana campur aduk antara pesimisme, optimisme, ironi, dan harapan adanya perubahan yang lebih baik. Hal itu dinyatakan dengan pilihan diksi-diksi maupun frasa "yang mudah dicerna", maupun melalui simbol dan lambang yang tidak terlalu rumit.
Pada puisi "Kemerdekaan Itu#77" (2017) misalnya, Yudhis melihat sesungguhnya kita belum merdeka. Sebab, bagi dia, "Kemerdekaan adalah pesta perampokan anggaran melalui undang-undang". "Untuk Indonesia Raya...Indonesia MEREKA!
Siapakah "Mereka" yang dimaksud di situ? Dalam puisi lain, yang berjudul "Goronik" (2023) Yudhis dengan jelas menyebut naga berkepala tiga (goronik), yaitu konglomerat, pejabat, dan wakil rakyat. Mereka itu "Monster pemangsa segala/Giginya tajam, lehernya panjang, sayapnya lebar"...."Mereka bersatu menghancurkan bangsa".
Puisi-puisi Yudhis, yang lain menyoal tentang "Politik Adalah" (2023), "Anatomi Kekuasaan" (2024), Pemilu: dari Pilu ke Pilu" (2023),"Garuda Diruda"(2023), "Balada Seorang Calon"(5 Bagian) (2023), "Drakom Petruk & Pinokio"(2023), "Kawan, Buka Mata Hatimu"(2023), dan Hiphop Kena Gemoy (2023), "Selamatkan Indonesia"(2022).
Dari judul-judulnya saja, pembaca yang tidak sempat menonton pertunjukan Yudhis, dapat membayangkan lebarnya wilayah gugatan puisinya yang disertai kecemasan. Sebab politik ia artikan sebagai "cara berkuasa dengan pembodohan masa". Adapun kekuasaan dengan kekejaman telah "berkomplot sejak purba'. Pemilu yang diharapkan bisa memberbaiki demokrasi, ternyata hanya menghasilkan pilu demi pilu. Seperti apa pilu demi pilu dimaksud, bacalah selengkapnya:
Pemilu : dari Pilu ke Pilu
Dari pemilu ke pemilu
Dari pilu ke pilu
Jalanan dan pohonan
Memajang Beribu tampang
Dusta-dusta tersenyum
Kerakusan yang bersalaman
Kepal tangan kemunafikan
Hingga jutaan rakyat sekarat
Berbondong-bondong
Menyerahkan kedaulatan
Dengan cuan murahan
Hingga tuan-tuan duduk di Dewan
Melepas kulit domba sewaan
Serigala berkawan-kawan
Memangsa hukum, bancakan anggaran!
Kamu bilang, main politik
Tidak mengutamakan cuan?
Kamu bilang, partai politik
Tidak berkoalisi dengan setan?
Kamu bilang dinasti politik
Tidak menghalalkan cuan, kekuasaan & keturunan?
Bekasi, Oktober 2023
Akhirul kata, meskipun puisi-puisi Yudhis kali ini penuh mendung, petir, dan kegelapan, ternyata masih ada cahaya optimisme, yang dipancarkan oleh puisinya "Aku, Masih Melihat Indonesia" (2019). "//Dalam gulita/Aku masih melihat Indonesia/Melangkah, belum sudah/Darahnya meleleh/Seperti air mata/Tetap Indonesia//... Juga dalam puisinya : "Ya,ya, Perubahan" (2023), dan mengajak kita bersama bangkit mengambil kesempatan melakukan perubahan. "Ya,ya, aku suka perubahan/Hari ini adalah kesempatan/Ayo, ambil bagian".