Menyikapi Perbedaan, Memahami Toleransi di Mata Ulama
Fârûq Abû Zaid dalam bukunya “Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn” (Syari’ah Islam antara tradisionalis dan modern) mengatakan :
أن مذاهب الفقه الاسلامى ليست سوى إنعكاس لتطور الحياة الاجتماعية فى العالم الاسلامى
“mazhab-mazhab (aliran-aliran) keagamaan dalam fiqh Islam sejatinya adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”. (h. 16)
Menyikapi Perbedaan
Bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya?. Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, paling rendah hati dan saling menghargai. Imam Abu Hanifah misalnya dengan rendah hati mengatakan : “Inilah yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasiku atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi (Hadits). Jika ada temuan yang lebih baik, aku akan menghargainya”. Begitu juga para Imam mujtahid yang lain, menyampaikan hal yang senada. Imam al-Syafi'i mengatakan :
راينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب
"Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan keliru. Pendapat orang lain keliru, tapi mengandung kemungkinan benar".
Perbedaan pemaknaan atas teks keagamaan atau bahkan teks-teks yang lain pada akhirnya perlu dicari jalan keluarnya melalui mekanisme yang paling baik dan sejalan dengan perintah al-Qur’ân, yakni dialog, ‘musyawarah’, dan cara-cara lain yang demokratis, mencari titik temu untuk kebaikan bersama, mencari kebenaran, bukan mencari-cari pembenaran diri, atau bukan dengan mengklaim pendapatnyalah yang paling benar sendiri sambil mencaci pendapat yang lain, apalagi dengan menggunakan kekerasan, termasuk membunuh karakter seseorang atau kelompok.
Tak ada yang paling dirugikan dan paling disengsarakan dari perseteruan, kesombongan diri dan tindakan kekerasan ini, kecuali warga dan bangsa muslim sendiri. Sebaliknya tak ada sikap dan cara yang paling memajukan, menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat muslim, kecuali kebersamaan, saling menghargai dan rendah hati di antara mereka, sebagaimana diajarkan Tuhan dan Nabi serta para ulama generasi awal.
Mengapa Intoleran ?
Aku ditanya santri mengapa ada orang intoleran?. Aku menjawab spontan saja.
Intoleransi dan anti pluralisme selalu terkait dengan kehendak memaksakan pikiran, ideologi, agama, tindakan dll. Ini muncul karena dia menganggap bahwa pikiran dirinya adalah kebenaran satu-satunya. Sementara pikiran, ideologi, agama, keyakinan, budaya, persepsi, dan perasaan “yang lain”/“the other” tidak masuk dalam kesadarannya sebagai subyek yang juga memiliki kebenaran.
Orang yang hanya mengetahui satu, dia niscaya menyalahkan selain yang satu itu. Jadi intoleran lebih karena keterbatasan pengetahuan.
Demikian catatan KH Husein Muhammad. Semoga bermanfaat. (07.08.21/HM)