Menyepi Bagi Eko Adalah Kebutuhan
Orang kalau sudah pada taraf mengidap workaholic atau gila kerja, maka yang diperlukan adalah menyepi. Dengan menyepi, dia akan memperoleh udara segar. Sudah pasti dia akan kembali menjadi gila kerja. Penyakitnya ini memang tidak akan hilang, tetapi dia sudah berhenti untuk menghirup udara segar, tidak hanya untuk paru-parunya saja, tetapi untuk semua organ terutama otak dan hatinya.
Berdasarkan studi yang dilakukan salah satu lembaga di The University of Utah, Amerika Serikat, menyepi bisa membantu menjernihkan pikiran, sehingga emosi menjadi lebih stabil, tingkat fokus bertambah, dan rasa bahagia lebih terasa. Sekalipun dia seorang workaholic.
Eko Yudhi Irawan, 58 tahun, tinggal di Malang, termasuk orang gila kerja. Bagusnya, ia menyadari kondisinya itu, sehingga dia tahu apa yang dibutuhkan agar kehidupannya jadi agak berimbang, yaitu menyepi.
Eko memiliki tanah sekitar 2.500 meter persegi di Desa Tirtomoyo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Dia bangun sebuah rumah berbentuk pendopo, dengan tiang dan dinding-dindingnya dari kayu jati. Lengkap dengan gebyok dan lampu gantungnya. Dengan luas kira-kira 30 X 30 meter, rumah pendoponya yang serasa berdiri di tengah hutan ini dia jadikan untuk tempat menyepi.
Di depan pendopo ada sebuah telaga yang dikelilingi hutan heterogen. Di sisi barat telaga itu ada sumber air kuno yang oleh penduduk setempat disebut Sumber Genthong. Air dari sumber itu dimanfaatkan penduduk untuk mandi, mencuci pakaian dan untuk minum serta kebutuhan sehari-hari.
Air Sumber Genthong mengalir melalui sungai kecil yang mengelilingi sisi barat telaga. Di sebelah baratnya ada tanah berkontur penuh tanaman, kemudian lereng yang bagian atasnya dilelilingi pagar batu milik pengembang PT Araya, untuk membatasi areal tanahnya yang amat luas. PT Araya sangat berhasrat untuk menguasai Sumber Genthong dan telaga beserta kawasan di sekitarnya ini. Tetapi rakyat menolak.
View yang terhampar di depan pendopo milik Eko Yudho Irawan ini, Pemkab Malang, sangat indah. Telaga, kali kecil, bukit, lereng, pepohonan, mirip sebuah lukisan lanskap, sebut saja karya pelukis realis Basoeki Abdullah.
Di pendopo yang dijadikan kafe inilah Eko menyepi, menghindarkan diri kesibukan sehari-hari yang tidak jarang membuat kepalanya pening.
“Saya perlu menyepi, dan disinilah tempat yang menurut saya cocok untuk saya,” kata Eko, yang beragam bisnisnya terbilang sukses. “Tempat ini saya jadikan kafe bukan untuk mencari keuntungan, tetapi lebih untuk mencari teman ngobrol saja pada saat saya menyepi ke sini,” kata Eko pada Ngopibareng, beberapa hari lalu.
Eko memiliki beberapa usaha, dengan koor bisnis adalah bidang properti. Saat ini dia sedang membangun resort dengan nilai investasi sangat besar di kawasan Gunung Bromo. Dia juga memiliki bisnis kuliner, salah satunya yang dianggap sudah jadi dan berjalan adalah Cafe Jeep, di Jl. Ki Ageng Gribig, Kedungkandang, Malang.
Tetapi ada bisnis lain yang tak kalah menarik, yang sudah lama ditekuninya meskipun berawal dari sekadar hobi, yaitu ‘bermain’ mobil jenis jip. Secara nasional, Eko jadi rujukan bagi siapapun yang ingin lebih mengenal tentang jip. Banyak pejabat dari Jakarta yang konsultasi dulu ke Eko sebelum mereka mencari atau membeli jip. Merk apapun.
“Saat ini saya memiliki lebih dari 60 mobil jenis, segala merk dari Willis sampai Cherokee termasuk 27 Toyota hardtop dan 11 Willis. Saya memang hobi jip sejak masih kuliah, sekarang jadi kolektor. Tapi kalau ada yang berminat ya silakan, saya akan cari koleksi lainnya,” jelas Eko.
Meskipun tinggal di Malang, tetapi Eko selalu bergerak. Dari kota yang satu ke kota lainnya. Ibarat burung, dia memiliki sarang di banyak tempat. Tetapi kini, sekitar setahun ini, dia merasa punya satu tempat untuk benar-benar menikmati hidup, dengan menyepi di pendoponya di Desa Tirtomoyo ini.
Tapi pendopo milik Eko di tepi telaga ini juga dibuka untuk siapapun. Dia menyediakan sound system. Teman-temannya seusia yang pemusik, sering datang dan bermain musik. Demikian juga teman-temannya dari komunitas lain, misalnya komunitas pelestari kebudayaan. Mereka secara berkala juga datang bertemu untuk berdiskusi sekaligus untuk nguri-uri kabudayan.
Menyepi sambil menikmati alam, memang bukan monopoli kebutuhan Eko Yudhi Irawan, tapi juga dibutuhkan siapapun. (m.anis)